RINGKASAN JURNAL
SPARATISME DI ASIA TENGGARA
(ANTARA PENGUASA DAN GERAKAN
NASIONALIS KELOMPOK MINORITAS)
Tulisan ini
menganalisis dan menjelaskan gerakan-gerakan separatisme di Asia Tenggara,
khususnya gerakan separatisme di Thailand, Filipina, dan Indonesia. Argumen
penelitian ini adalah bahwa dinamika dan separatisme di Asia Tenggara merupakan
hasil dari proses dinamika hubungan ketiga gerakan separatisme ini dengan
penguasa (para kolonialis dan pemerintah nasional di ketiga negara tersebut).
Oleh karena itu, dinamika gerakan separatisme di Asia Tenggara ini terjadi karena
adanya interaksi antarapenguasa dan gerakan separatisme yang mana penguasa
lebih banyak menggunakan pendekatan negara terhadap mereka. Para penguasa
menggunakan pendekatan yang berbeda-beda dengan tujuan untuk mempertahankan
keutuhan wilayahnya ke dalam satu negara-bangsa. Pemerintah Filipina, Thailand,
dan Indonesia menggunakan pendekatan militeristik dalam mengatasi permasalahan
gerakan-gerakan separatisme ini. Namun, pada akhirnya, pemerintah Filipina,
Thailand dan Indonesia ini hanya menemukan jalan buntu. Anehnya, ketiga
pemerintah nasional ini masih berpikir bahwa tindakan-tindakan militerisitik
masih dianggap sebagai cara yang efektif untuk berhadapan dengan
gerakan-gerakan separatisme yang ada dalam negaranya. Tindakan ini sangatlah
mirip dengan apa yang terjadi pada perjalanan sejarah gerakan nasionalis
tersebut ketika para penguasa kolonialis yang juga sering menggunakan aparat
negara untuk mematikan gerakan-gerakan pemberontakan. Pendekatan negara dengan
menggunakan militer sebagai aparat negara terus dilanjutkan oleh pemerintah di
negara-negara Asia Tenggara tersebut. Sebagai contoh, gerakan separatisme Moro
yang digeneralisir dan diidentifikasi oleh pemerintah Filipina sebagai gerakan
teroris seperti kelompok Abu Sayyaf yang dengan mudah disederhanakan
permasalahannya, sehingga pemerintah Filipina menggunakan pendekatan militer
atas nama kemananan negara (Dangzlan, 2006).
Ø
Problematika
Politik Identitas
Akhir-akhir ini tampaknya
persoalan identitas menjadi suatu hal yang penting baik bagi individu ataupun
berbagai kelompok. Secara sosiologis, identitas didefinisikan sebagai
pengalaman manusia melalui sejarah secara geografis, ingatan kolektif,
imajinasi personal, instrumen kekuasaaan, dan wahyu religius. Identitas
menciptakan pengertian melalui pengalaman-pengalaman kolektif. Pada konteks
ini, Manuel Castells berpendapat ada bermacam-macam atribut budaya dari
identitas sehingga mendorong orang membuat prioritas atas atribut budaya di
sekitar mereka. Ketika orang membuat prioritas berbeda, mereka cenderung untuk
berkonflik satu sama lainnya (Castells, 1997: 6-7).
V. K. Korostelina berpendapat
bahwa adanya identitas sosial mencegah orang dari ancaman konflik interpersonal
dengan menyediakan perlindungan bagi sebuah kelompok dengan ruang yang sama.
Pembentukan identitas merupakan hasil dari identifikasi yang melibatkan proses
sosialisasi, nilai bersama, kepercayaan, harapan, norma, dan sebagainya.
Identitas adalah sebuah struktur dengan interelasi kompleks diantara
sub-identitas yang berbeda-beda. Ada empat komponen yang mencirikan identitas
sistemik, yaitu:
(1) sebagai bagian dari kelas atau tipe yang
mendefinisikan kerutinitasan dari fungsi dan perkembangannya.
(2) sebagai sebuah sistem yang mempunyai karakteristik
khusus.
(3) sebagai seperangkat sub-sistem yang
berpengaruh kepada fungsi-fungsinya.
(4) dengan interaksi eksternalnya dalam proses
mengembangkan dan menyelesaikan konflik sosial (2007: 31-32).
Secara spesifik, Korostelina
menunjuk identitas dalam konteks untuk menjelaskan hubungan antara identitas
dan konflik yang utamanya terjadi karena adanya prasangka antar kelompok.
Prasangka diukur dengan menggunakan skala yang terstandarisasi yang berisikan
pernyataan mengenai atribut kelompok, perasaan terhadap kelompok, dan dukungan
terhadap kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi mereka. Dalam konteks ini,
stereotipe merupakan bagian dari prasangka yang digunakan untuk menciptakan
anggapan terhadap kelompok luar yang biasanya sebagai musuh. Oleh karena itu,
prasangka merupakan atribut negatif, antipati berdasarkan kesalahan, dan
kekakuan dari generalisasi (2007: 127-131). Identitas dapat menciptakan konflik
dalam keadaan adanya prasangka antar kelompok dari satu kelompok terhadap
kelompok lainnya. Prasangka dapat dengan sangat mudah muncul karena kurangnya
informasi, komitmen yang dapat dipercaya, dan dilema keamanan dengan
kelompok-kelompok lain.
Korostlina
menyebutkan bahwa identitas yang dominan ada dalam bentuk identitas kolektif
yang dimobilisasi dan mempunyai ideologi. Karena itu, kelompok sendiri (in-group)
mengartikan mereka sendiri sebagai pihak yang positif dan kelompok luar (out-group)
sebagai pihak yang negatif. Lebih jauh, bertarung dengan kelompok luar dilihat
sebagai sesuatu yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup kelompok sendiri (in-group)
(2007:146-153). Institusi dominan dapat dan seringkali mengkonstruksi
identitas. Orang Spanyol, sebagai kolonialis yang menguasai Filipina,
menggunakan kata ‘Moro’ secara negatif dengan tujuan untuk mengingatkan pada
bangsa Moor yang muslim di Eropa. Orang Spanyol memiliki pengalaman pahit
perang salib Iberian melawan bangsa Moor yang membawa orang Spanyol
mengidentifikasikan orang muslim di daerah ini sebagai musuh (Man, 1990: 22).
Sebagai institusi
dominan, para penguasa kolonialis atau bekas kolonialis, menggunakan identitas
untuk memperluas dominasi mereka dalam berhadapan dengan aktor-aktor lainnya.
Misalnya, orang Aceh diidentifikasikan sebagai pemberontak oleh pemerintah
pusat Indonesia dengan tujuan untuk memperluas dominasi kekuasaan atas nama
satu negara-bangsa Republik Indonesia. Gagasan negara-bangsa Republik Indonesia
menjustifikasi kebijakan pemerintah pusat Indonesia melalui militer sebagai
aparat negara untuk menghilangkan bangsa orang Aceh.
Pada poin ini,
Castells menemukan bahwa konstruksi identitas selalu dalam konteks hubungan
kekuasaan. Dia mengajukan tiga bentuk identitas, ketiga bentuk identitas ini
sangatlah tergantung pada konteks sosialnya, yaitu:
(1) legitimizing identity,
(2) resistance
identity.
(3) the project identity (1997: 7-10).
Legitimizing identity
adalah
identitas yang dibentuk oleh institusi-institusimasyarakat dominan dengan
tujuan untuk memperluas dan merasionalisasi dominasi mereka dalam menghadapi
aktor-aktor sosial lainnya. Pendek kata, identitas merupakan bentuk perlawanan
yang dapat menyokong rencana, melalui perjalanan sejarah, menjadi identitas
dominan dalam institusi masyarakat, sehingga terbentuklah legitimizing
identity untuk merasionalisasi dominasi mereka. Tipe kedua adalah resistance
identity. Resistance identity adalah identitas kolektif untuk
melawan penindasan. Sejarah, geografi, dan biologi merupakan landasan
fundamental dari perlawanan. Contohnya, Orang Aceh menggunakan nasionalisme
etnis untuk menginternalisasi nilai-nilai dalam masyarakat Aceh. Bagi orang
Aceh, batasan perlawanan menjadi penting, yaitu melalui sejarah dan geografi
yang berbeda dengan sebagian besar wilayah geografis dan sejarah Indonesia. Karena
itu, politik perbedaan ini digunakan oleh penguasa untuk memberikan label
identitas orang Aceh yang sangat berbeda dari identitas nasional Indonesia
sehingga muncul klaim bahwa pembetukan label ini merupakan bentuk penyingkiran
orang Aceh dari identitas nasional Indonesia. Sebagai contoh, gambaran
identitas orang Aceh, pada masa rejim Soeharto khususnya, berada dalam
kungkungan pihak yang dominan yaitu pemerintahan nasional yang didominasi orang
Jawa dan militernya (Aspinall, 2007: 258). Oleh karena itu, dominasi
pemerintahan nasional tersebut menjustifikasi gerakan orang Aceh untuk
meyakinkan komunitas orang Aceh bahwa mereka harus memberontak pemerintah
nasional yang didominasi orang Jawa.
Tipe identitas ketiga
adalah project identity. Castells menyatakan, “… ketika aktor-aktor
sosial, atas dasar materi kultural yang manapun itu tersedia bagi mereka,
membangun identitas baru yang mendefinisikan ulang posisi mereka dalam
masyarakat dan dengan melakukan itu, mereka mencari perubahan struktur sosial
secara keseluruhan” (Castells, 1997: 8). Misalnya saja, Manuel Castells
menganalisis mengenai perlawanan feminisme dari identitas perempuan dan hak
perempuan dalam melawan nilai-nilai keluarga yang patriarkis. Identitas ini
telah merubah nilai-nilai dan kepercayaaanya dalam masyarakat secara
keseluruhan dalam melihat pentingnya identitas perempuan dan persamaan hak
perempuan dengan laki-laki dalam masyarakat.
Selain tiga bentuk di atas,
identitas juga berhubungan dengan ideologi. Dalam konteks ini, Malesevic mengemukakan
konsep identitarianisme yang diklaim sebagai payung istilah untuk semua yang
berhubungan dengan identitas. Identitas seringkali menjadi alat yang ampuh
untuk pembenaran ideologi ketidaksetaraan politik. Identitas hampir menjadi
sesuatu yang bersifat universal dan yang memperlihatkan popularitas,
memperlihatkan normalitas, dan penerimaan umum adalah isi yang berhubungan erat
dengan kekuatan ideologi. Ia berargumen bahwa identitas nasional yang
menggunakan ideologi tertentu tersebut seringkali dilembagakan oleh struktur
negara modern yang kuat, cenderung untuk memperkuat pandangan kelompok dominan
atas realitas sosial dan bentuk-bentuk diskriminatif dari dominasi (Malesevic,
2006: 23-36).
Radhakrishnanan (1993)
menambahkan bahwa identitas adalah merupakan ukuran normatif yang mentotalkan
keberagaman ‘diri’ dan ‘subjektifitas’ dan kewarganegaraan normatif dari
identitas manapun dengan legitimasi sejarah yang merupakan dampak ideologis
identitas utuh dan tidak terbagi dari rejim. Gerrymandering politik atas
heterogenitas masyarakat dengan menjadikan negara bangsa sebagai tujuan kontrol
dan dominasi yang sayangnya menciptakan gangguan-gangguan dalam jangka panjang
yang pada akhirnya menuju fase nasionalis atau post-kolonial. Lebih jauh, ia
menjelaskan bahwa identitas merupakan permasalahan pilihan, relevansi, dan
perasaan kebenaran. Pendek kata, persoalan identitas merupakan pilihan yang
terbentuk dan diterima oleh suatu komunitas tertentu karena adanya faktor
eksternal dan internal. Dengan dimilikinya identitas tertentu pada suatu
komunitas berimplikasi pada dianutnya suatu ideologi tertentu yang mempunyai
konsekuensi politik. Hal ini akan di elaborasi lebih jauh dalam pembahasan
artikel ini.
Ø Identitas Orang Pattani, Moro dan Aceh
1.
Orang
Pattani
Orang Muslim di
selatan Thailand secara mayoritas adalah etnis Melayu dan lebih sering
berbicara bahasa Melayu daripada bahasa Thai. Mereka dahulu merupakan dari
bagian tersendiri sebagai kesultanan Pattani yang independen, yang di masa
sekarang ini menjadi salah satu provinsi negara Thailand yang terdiri atas
komunitas Pattani, Yala, Narathiwat, dan merupakan bagian dari Songkhla barat
yang berkembang pada tahun 1390 sampai dengan 1902. Sejarah tersebut merupakan
entitas politik yang terpisah dan mereka berstatuskan kelas kedua dan merupakan
pengabaian secara politis atas kaum minoritas Melayu sejak berdirinya negara
Thailand yang terus menerus berkonflik dan melakukan berbagai tindakan
kekerasan. Pada tahun 1902, Siam, yang sekarang menjadi Thailand, secara formal
merupakan kesultanan yang berdasarkan perjanjian pada tahun 1909 yang membatasi
antara Pattani dan Kelantan, Perak, Kedah, dan Perlis (Malaysia) Melayu.
Perlakuan secara administratif paksaan negara Thailand melalui perubahan
reformasinya membuat penguasa Patani terbagi-bagi dalam tiga kesultanan yaitu
Patani, Yala, dan Narathiwat (Yegar, 2002). Aristokrasi lokal berlangsung di
daerah-daerah ini yang secara resmi mereka harus berbahasa Thai dan harus
melapor secara eksklusif dan secara langsung pada pusat Thailand, Bangkok. Selama hampir 20 abad, hubungan antara Bangkok
dan mayoritas muslim di propinsi bagian selatan bercirikan kebijakan asimilasi yangdipaksakan
dan bentuk penolakan, sehingga pengimplementasian kebijakan ini sering
menimbulkan ketegangan. Resistensi paling kuat muncul ketika pemerintah
berusaha melakukan penghancuran kekuatan struktur lokal dengan alasan kebijakan
asimilasi yang dianggap oleh komunitas lokal membahayakan dan mengancam Islam
dan budaya Melayu.
Salah satu sumber
resistensi terhadap pemerintah nasional Thailand adalah penghapusan
ponoh/pondok (sekolah keagamaan), institusi ini merupakan institusi yang sangat
penting yang mempertahankan identitas Muslim Melayu. Ketika penguasa Thai
mengganti elit tradisional dengan orang Budha beretniskan Thai, kepala guru
(Tok Guru) menjadi pemimpin komunitas secara faktual, penjaga keyakinan,
pengangkat identitas Melayu. Alhasil munculah gerakan perlawanan yang mengusung
identitas politik tandingan terhadap penguasa Budha Thailand dengan adanya
organisasi gerakan orang Pattani seperti PULO dan BRN.
2.
Identitas
Politik Orang Moro
Kata ‘Moro’
sebenarnya berkonotasi negatif yang ditujukan pada para penganut Muslim di
daerah Mindanao. Hal ini bisa ditelusuri dengan adanya Suku Moor yang menentang
Spanyol dengan orang Muslim di semenanjung Iberian Eropa (Man, 1990: 22).
Namun, pada masa kepemimpinan Nur Misuari dan kawan-kawannya, terminologi Moor
(Moro) sebenarnya merupakan perjuangan gerakan etno-nasionalis melawan orang
Filipina Kristen imperialis yang dipimpin oleh birokrasi pusat Manila dan para
elit militernya (McKenna, 1998). Para separatis yang berlindung dengan bendera
Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) mendapatkan dukungan secara popular oleh
orang-orang Muslim (Man, 1990: 77).
Terminologi Moro merupakan
konstruksi konfigurasi yang problematik, tetapi ini telah mendorong mereka yang
mempunyai ikatan yang sama menjadi lebih kuat dengan kekuatan militer dan
berperang dalam bentuk militer konvensional dengan Manila (McKenna, 1998).
Beberapa studi mengenai etno-nasionalisme berpendapat bahwa ‘Perang Moro’
(Yegar, 2002) merupakan pemanasan budaya dimana perbedaan budaya di antara
kelompok-kelompok Muslim diabaikan, membentuk sebuah identitas budaya yang
sama. Sedangkan studi lainnya berpendapat sebaliknya, di mana sebenarnya
kelompok-kelompok Muslim di Filipina mempunyai orientasi yang beragam dan sama
sekali tidak mempunyai kesamaan budaya. Dalam konteks ini, kita tidak
seharusnya tidak terjebak dalam reduksi historis dengan secara eksklusif melacak
Perang Moro sebagai sebuah pengalaman yang sama diantara kelompok-kelompok yang
berbeda. McKenna (1998) mempermasalahkan mitos nasionalisme Moro dengan
mengekspolorasi perbedaan pandangan tersebut dengan cara mengamati politik
keseharian dan doktrin perlawanan nasionalis oleh orang-orang biasa.
Secara historis,
orang-orang Spanyol Filipina Kristen melihat dengan rendahnya atas apa yang
mereka sebut tata cara memperlakukan Orang Moro dengan buruk. Hal ini diterima
oleh orang-orang Spayol tersebut bahwa perdamaian dan hubungan yang baik tidak
dapat dilakukan di antara mereka dan orang-orang Moro seperti kurangnya sistem
kodifikasi hukum, menyebut kaum Moro dengan standar hukum yang rendah. Hal ini
mengintensifkan panggilan keberadaan militer yang kuat di Mindanao sebagai
sebuah kebutuhan dalam rangka menurunkan ancaman-ancaman dari pembajakan yang
mengganggu di sekitar lautan Filipina (George, 1980; Yegar, 2002).
Setelah Penjajah
Spanyol, Orang Amerika Serikat datang mengkolonisasi dan para sejarawan memandang
kedatangan orang Amerika ini sebagai pemecah dalam pembentukan nasionalitas
orang Moro. Kekalahan kolonial Spanyol dalam perang antara Spanyol-Amerika yang
berakhir dengan penandatanganan perjanjian di Paris yang ditandai oleh
penyerahan daerah koloni Spanyol kepada pemerintah Amerika Serikat dengan
kompensasi yang relatif kecil. Kedatangan kolonial Amerika menandakan penurunan
‘kedaulatan’ Moro di daerah Mindanao. Ekspansi instrumen negara mensyaratkan
pengontrolan dengan sangat ketat kepada yang diperintahnya. Apa yang menarik
adalah adanya kesamaan kerangka pikir yang digunakan juga nantinya oleh mereka
yang berargumen untuk apa yang mereka sebut sebagai ‘Bangsa Moro’ (Man, 1990:
22).
Perdebatan mengenai
bangsa Moro tidak dapat dilakukan tanpa memperbincangkan sejarah nasionalisme
Filipina yang satu sama lain terkait dengan kompleks. Dengan semakin
membesarnya panggilan untuk merdeka, dan hal ini tidak bisa terhindarkan lagi,
Manila menjadi lebih percaya diri memerdekakan diri. Sebuah kemenangan telah dicetak
melalui Perjanjian (Jones Act), yang ‘memfilipinanisasi’ birokrasi dan
karena itu mendorong mesin-mesin nasionalisasi menuju pada jalan kemerdekaan.
Bersamaan dengan ini datanglah tuntutan dari Manuel Quezon dan para pengikutnya
untuk segera mengintegrasikan Tanah Moro (Moroland) kepada daerah Filipina yang
secara geopolitik lebih besar (George, 1980: 80-86).
Konsekuensinya, kedatangan
migrasi orang Filipinos membanjiri Cotabato dan Davao yang mendorong
terdislokasinya para penduduk lokal di Mindanao (Abinales, 2000 dalam
Dangzalan, 2006). Ketika banyak yang berusaha untuk menjelaskan meletusnya
‘permasalahan Moro’ dalam konteks terbelahnya etnisitas dan perbedaan dengan
orang Kristen Filipinos (Abinales, 2000 dalam Dangzalan, 2006), memberikan pandangan
dari dalam dengan menarik tentang bagaimana penyesuaian institusional dan
rekonstruksi yang menuju pada munculnya krisis Moro ini. Abinales melakukan
penelitian dari dalam ini dengan menjelaskan konsesi mutual antara para
pemimpin Manila dan daerah pinggirannya. Setelah negosiasi dalam perjanjian
cukup
berimbang, Quezon dan
para pengikutnya merusak perjanjian ini, sehingga menghilangkan lebih jauh lagi
yang termarjinalisasi tersebut dengan jalan mensentralisasikan birokrasi
pemerintah (George, 1980; Man, 1990; Yegar, 2002).
Tentu saja, asumsi
yang digarisbawahi adalah bahwa adanya sebuah negara bangsa Filipinos yang
telah terbentuk melalui sejarah dengan berbagai macam aktor yang mengklaim
adanya nasionalitas. Pada intinya, kajian ini ingin menunjukkan pernyataan
sebagaimana yang sudah dinyatakan oleh banyak sejarawan di masa lalu berkaitan
dengan nasionalitas Filipina. Nasionalitas di Filipina merupakan konstruksi
yang sebagian besar berpijak kepada kerangka para kolonial yang telah
ditinggalkan para kolonialis, yaitu Filipina yang merupakan negara penerus
kedaulatan kolonial (George, 1980; Man, 1990; Yegar, 2002).
Lebih jauh lagi,
Samuel K. Tan (dalam Premdas et. al., ed., 1990) menyatakan bahwa dalam
literatur etnis, orang Moro berubah dari satu konfigurasi nilai kepada
konfigurasi nilai yang lainnya dan yang sama adalah berjalan melalui
keberagaman. Komunitas Moro mempunyai epik etnis yang memotret kepahlawanan
orang Moro dalam memerangi ketidakadilan para kolonialis. Nilai-nilai Islami
sangatlah terekspresikan dalam epik etnis ini. Dalam perang sabil (parang
sabil) Tausug membesarkan para sabilillah sebagai pahlawan karena mereka
memotretnya sebagai orang yang mau untuk berkorban diri mereka demi
keyakinannya atas nama Tuhan. Epik perang suci ini menyembah semua individu
yang terlibat dalam perang suci ini. Kemudian, orang Moro yang mau bertarung
sampai mati demi keyakinannya akan meninggal sebagai orang suci (sabillilah).
Epik kepahlawanan ini sangatlah penting untuk diketahui ketika orang Moro
sangat bersemangat bertarung melawan para kolonialis non-muslim seperti bangsa
Spanyol, orang Amerika, dan bahkan melawan pemerintah pusat Filipina. Orang
Moro berpandangan bahwa perjuangan dan pertarungan ini sebagai sebuah tanda
kepahlawanan dan budaya. Faktanya, tradisi mereka menunjukkan gambaran positif
orang Moro sebagai pencinta kebebasan dan pembenci berbagai bentuk intrusi
asing. Hal ini merupakan citra historis orang Moro dan kebesaran orang Moro
dalam sejarah kolonialis telah tertunjukkan dengan inspirasi hidup yang terlah
diberikan dari akar Islamnya. Sebagaimana orang Moro dalam memeluk
keyakinannya, mereka terpisah dari dunia yang lebih besar, Islam menawarkan
dalam bahasa ‘Darul Islam’ atau ‘ummah’. Dalam sekali waktu, kesadaran orang
Moro menembus batas-batas etnisitas, geografi, dan menunjukkan tanda rasa
sebagai komunitas. Mereka mencampuradukkan dua elemen dan menciptakan sebuah
tradisi masyarakat Islami (Tan dalam Premdas et. al., (ed.), 1990: 72-73).
Kombinasi nilai-nilai Islam dan
tradisional telah menciptakan institusi politik baru. ‘Kesultanan’ (sultanate)
sebagai institusi politik sebuah komunitas berdiri di atas ‘datu’ atau ‘rajah’
Moro. Struktur politik memperbesar visi politik orang Moro dan rasa kekuasaan
jauh diatas ‘ke-datuan’ ataupun ‘ke-rajah-an’. Datu atau rajah Moro dan para
pengikutnya pada saat itu tunduk pada kekuasaan Sultan yang lebih tinggi dan
memperlihatkan bahwa mereka telah menerima sistem kesultanan ini dianggap
membawa mandat dibawah payung Islam sebagai ‘representasi Tuhan’. Hal ini
merupakan sumbangan terbesar Islam pada pemikiran orang Moro. Otoritas
representasi Tuhan baru ini merupakan pemujaan atas apa yang telah mereka
miliki karena hal ini memberikan mereka komitmen di luar mereka sendiri. Mereka
menemukan ras keamanan yang lebih besar dalam sistem yang mempersatukan
kemerdekaan dan seringkali bertentangan dengan kepemimpinan lokal ke dalam
sebuah loyalitas yang sama. Lebih jauh lagi, identitas orang Moro yang baru ini
akan berhadap-hadapan dengan tantangan dari kolonialisme dalam bentuk negara
(George, 1980: 14-27; Tan in Premdas et. al., (ed.), 1990: 74). Oleh
karena itu, mereka melihat bahwa pemerintah Filipina merupakan keberlanjutan
dari kolonialis seperti bangsa Spanyol dan Amerika. Tema ini akan didiskusikan
nanti dalam sub-bab pendekatan negara terhadap gerakan Moro.
3.
Identitas
Orang Aceh
Aceh menunjuk pada
salah satu propinsi di Indonesia yang dikenal sebagai Nanggroe Aceh Darussalam
yang berlokasi di tepi paling utara dari pulau Sumatra Indonesia dan terkenal
dengan julukan Serambi Mekah. Ironisnya, kenyataan di Aceh selama sekitar 130 tahun
ditandai dengan perang yang hampir terus menerus, pemberontakan, dan represi.
Dengan melalui sejarah, Aceh telah berkembang mempunyai identitas yang unik dan
berjuang untuk mempertahankan status sejarahnya dalam kepulauan (Reid, 2006).
Pada masa lalu, Aceh
merupakan daerah berkekuatan besar dengan sejarah yang terpisah dari sejarah
Indonesia. Aceh merupakan titik masuk dalam daerah Islam di Asia Tenggara, dan
sekarang orang-orang Aceh tersebut lebih bersifat ortodok dibanding dengan
kebanyakan orang di Indonesia. Aceh diasumsikan lebih terkenal pada masa Sultan
Iskandar Muda yang hidup dari tahun 1581-1636. Zaman itu merupakan masa
keemasan Aceh pada abad ke-17, dengan dipimpin Sultan Iskandar Muda, Aceh
melakukan ekspansi territorial besar-besaran serta terlibat dalam perdagangan
rempah-rempah yang sangat penting, hampir sebanding dengan minyak pada masa
ekonomi global sekarang. (Crow, 2000; Riddell dalam Reid, (ed.), 2006: 38-49).
Reid (2006) berargumen bahwa
orang Aceh mempunyai pengalaman tersendiri dengan para kolonialis, mulai dari
Kolonial Portugis pada abad 16 dan Kolonial Belanda pada abad 17. Pembentukan
identitas orang Aceh dimulai lewat perjuangan bendera anti kolonial dengan
menggunakan nilai-nilai Islam sebagai inti dari budaya politik mereka. Pada
abad 16 dan 17, orang Aceh mengidentifikasi mereka sendiri sebagai ‘Serambi
Mekah’. Pada saat itu, orang Aceh terlibat dengan kekerasan yang merupakan
katalis efektif dalam pembentukan identitasnya. Kerajaan Aceh dan penguasa
Ottoman Turki mempunyai hubungan yang sangat baik dengan adanya fakta bahwa
mereka saling membantu satu sama lain atas nama solidaritas pan-Islamik Bahkan
Aceh mendapatkan bantuan dari Raja Sulayman di Constantine pada tahun 1563
untuk melawan orang Portugis. Reid memberikan fakta hubungan yang erat antara
kerajaan Turki dengan Aceh dibawah bendera solidaritas kelompok Islam.
The Sultan [of Aceh] says that he
is left alone to face the unbelievers. They have seized some islands, and have
taken Muslims captive. Merchants and pilgrim ships going from these islands
towards Mecca were captured one night by the Portuguese and the ships that were
not captured were fired upon and sunk, causing many Muslims to drown (Reid, 2006: 47).
Lebih jauh lagi orang
Aceh lebih kuat merasa sebagai orang Islam daripada mengedepankan sebagai
sesama orang Melayu. Kuatnya sentimen sebagai orang Islam dibanding dengan
sentimen sesama orang Melayu dikarenakan orang Aceh lebih merasa mempunyai
hubungan yang erat dengan pusat umat Muslim di Mekah yang ditandai hubungan
erat orang Aceh dengan kerajaan Ottoman Turki, sebagai pusat kerajaan Islam
saat itu, dalam sejarah mereka.
Pada masa kolonial,
pemerintah Hindia Belanda memanfaatkan kepala daerah dan uleebalang sebagai
pendukung utama dan telah menyulut konflik dengan para Ulama di Aceh. Para
ulama mulai menentang otoritas para ulebalang yang bersatu dengan kolonial
Belanda. Lebih jauh lagi, pada masa penjajahan kolonial Jepang, para ulama
didukung oleh Jepang karena mereka juga sama-sama melawan kolonial Belanda.
Pada saat yang sama, kolonial Jepang menekan kelompok ulebalang (Reid, 2006:
96-107).
Dibawah periode kolonial Belanda,
orang Aceh menulis literatur etnis melalui karya besar Hikayat Perang Sabil (HPS)
atau lebih sederhana literatur ini bercerita mengenai jihad atau perang suci.
HPS mempunyai lirik yang sangatlah penting yang digunakan oleh orang Aceh untuk
melawan kolonialisme Belanda. Ini menunjukkan keterikatan orang Aceh dengan
tradisi dan retorika perang suci yaitu sebuah kepercayaan yang telah sangat
berakar diantara orang-orang Aceh (Alfian dalam Reid, (ed.), 2006: 117-119).
Hal ini merupakan bahasa yang sama yang digunakan oleh komunitas Muslim Moro
yang mengagung-agungkan kepahlawanan dari sabilillah, yang diambil dari bahasa
Arab yang berarti orang yang berani mati demi agamanya. Orang Moro melihat hal
ini sebagai seorang pahlawan yang berani mati sebagai satu-satunya jalan
sebagai bentuk pengorbanan diri dalam mencapai keagungan tertinggi. Semangat
untuk membunuh musuh yang bukan Muslim membawa penghargaan secara sosial dan
spiritual. Dalam konteks ini, musuh-musuh yang dimaksud adalah para kolonialis
yang non-muslim.
Kolonialis Belanda
lambat laun namun pasti mengambil alih atas apa yang kemudian menjadi the Dutch
East Indies, Aceh merupakan tambahan terakhir, dan yang paling lambat, dari
kerajaan yang membentang besar itu. Pada tahun 1873, kolonialis Belanda mencoba
menaklukkan provinsi ini, namun terhambat oleh apa yang mereka sebut dengan perlawanan
yang paling terorganisir dan kuat yang pernah mereka tangani. Perang Aceh
berakhir sampai pada awal abad ke 20, dengan serangan gerilya yang sporadis
terus berlanjut setelah berakhirnya perang Aceh tersebut.
Invasi Jepang ke
daerah Pasifik pada akhirnya berhasil menyingkirkan keberadaan kolonialis
Belanda di Aceh, dan para tentara dan administrator Belanda masih belum juga
menyingkir sampai akhir perang dunia ke dua (Reid 2006: 96-107). Aceh
berpartisipasi sangat jauh dalam ikut membantu dalam kemerdekaan Indonesia
melawan kolonial Belanda dari tahun 1945- 1949. Namun begitu, kerusuhan dengan
cepat terjadi di Aceh setelah kegagalan Indonesia dalam mengakomodasi Aceh
untuk membuat provinsi tersendiri terpisah dari provinsi Sumatra Utara. Pada
tahun 1950-an, pemberontakan Darul Islam meletus di sebagian pulau Jawa dan di
Aceh. Darul Islam merupakan gerakan yang bertujuan membuat Indonesia menjadi
sebuah negara Islam, namun gerakan ini tidak pernah membantu kemerdekaan bagi
Aceh atupun juga bagi provinsi lainnya. Gerakan Darul Islam terpisah di Aceh
ketika para pemimpinnya terkooptasi ke dalam pemerintah dan ketika Aceh telah
diberi status sebagai Provinsi Istimewa (Aspinall, 2007). Hal ini sama dengan
apa yang terjadi dalam bahasa Moro dimana mereka juga menggunakan bahasa Darul
Islam sebagai sebuah bahasa untuk mempersatukan komunitas Muslim ke dalam
sebuah negara tersendiri.
Dari tahun 1960-an
Aceh memasuki sebuah periode yang relatif damai, namun pada tahun 1976 Hasan di
Tiro dan sekelompok kecil pendukungnya memproklamasikan kemerdekaan Aceh dari
Indonesia. Di Tiro, yang telah hidup lama dalam pengasingannya di Swedia yang
berprofesi sebagai seorang pengusaha sukses, merupakan keturunan sebuah
keluarga Ulama Muslim terkenal dan merupakan cucu dari salah satu dari banyak
pemimpin perang pada masa perlawanan terhadap kolonialis Belanda. Keluarga
besar di Tiro merupakan bagian dari Kesultanan Aceh. Hasan di Tiro merupakan
pendiri dari Front Pembebasan Nasional Sumatra/Aceh (Aceh/Sumatra National
Liberation Front, ASNLF), yang kemudian lebih dikenal dengan nama Gerakan
Aceh Merdeka (GAM, Free Aceh Movement) (Aspinall, 2007; Crow, 2000;
Sulaiman dalam Reid, (ed.), 2006: 133-139). GAM dengan cerdik memanfaatkan
strategi budaya politik dengan cara mengekslopitasi lirik Hikayat Perang Sabil
(HPS) atau perang suci untuk menarik para calon pengikut GAM. GAM menggunakan
lirik HPS dengan tujuan untuk mempengaruhi orang Aceh untuk mencitrakan
penguasa Indonesia sebagai sama dengan kolonialis, Edward Aspinaal menggunakan terminology ‘pemerintah kolonial Jawa’, dalam mendemonisasi pendekatan
Negara terhadap orang Aceh (Alfian dalam Reid, (ed.), 2006: 117-119). GAM, yang
sangat memaksimalkan kampanye propaganda, berhasil menarik perhatian pemerintah
pusat Indonesia.
Pada awal tahun 1980-an, sebagian
besar GAM terpaksa berada dalam keterasingan, dengan 250 pengikut berangkat ke
Libya untuk mendapatkan pelatihan. Libya dan GAM, akhir-akhir ini, telah
menurunkan hubungan diantara keduanya; GAM tidak ingin dihubung-hubungkan
kepada terorisme internasional, sementara itu Libya telah memutuskan untuk
mendukung integritas wilayah Indonesia. Pada tahun 1989, banyak dari anggota
GAM yang kembali ke Aceh, menyebarkan ancaman militer dan pada saat itu pula
Indonesia mendeklarasikan darurat Militer, yang untuk sementara itu
menghancurkan gerakan separatis ini. Namun, aktivitas militer dan polisi
Indonesia pada tahun 1990-an yang menekan secara besar-besaran telah merubah opini
publik-jika tidak untuk GAM, setidaknya untuk kemerdekaan mereka dari Indonesia
(Aspinall, 2007). Orang Aceh melakukan pembentukan identitas mereka melalui
proses-proses politik, sosial dan budaya, dengan nilai-nilai Islam di dalamnya
yang tetap merupakan identitas yang esensial sebagai norma, keyakinan, dan
nilai-nilai yang saling terbagi dalam komunitas orang Aceh.
4.
Pendekatan
Negara terhadap gerakan Pattani, Moro dan Aceh
Orang-orang Patani,
Moro, dan Aceh sekarang ini telah berada dalam negara yang sama sekali berbeda
tujuannya. Mungkin ada yang berpendapat bahwa perbedaan tujuan secara ideologi
politik antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara akan sama berbeda
kebijakannya terhadap orang Patani, Moro, dan Aceh dari negara mereka
masing-masing. Namun faktanya adalah bahwa orang Patani, Moro, dan Aceh telah
diperlakukan dengan cara dan kebijakan yang sama, dengan tujuan untuk
menghapuskan perbedaan identitas orang Aceh dan Moro dan cara hidup mereka.
Pemerintah Thailand Filipina dan Indonesia berbagi asumsi yang sama mengenai
karakter khusus dari negara bangsa. Adalah asumsi ini yang telah membentuk
kebijakan-kebijakan yang diadopsi oleh pemerintah Filipina dan Indonesia
terhadap orang-orang minoritas etno-nasionalis.
Dalam konteks ini,
Benedict Anderson (1983) menyatakan bahwa negara post-kolonial seperti
Indonesia dilihat seperti keberlanjutan dari para kolonialis dimana pemerintah
Indonesia sejak kemerdekaannya pada tahun 1945 sampai periode Orde Baru
menggunakan pendekatan negara dengan fungsi-fungsinya dalam menghadapi
masyarakatnya sendiri. Karena itu, pemerintah Indonesia menggunakan aparat
negara dan kebijakan-kebijakannya untuk mengamankan kepentingan negara dan
mengabaikan kepentingan sebagai sebuah bangsa. Birokrasi dan yang lebih
penting lagi adalah militer memainkan peranan yang sangat penting dalam
mengamankan kepentingan negara tersebut.
Pada konteks ini, jelaslah bahwa
pemerintah Indonesia sebagai negara yang multi-etnis berada dalam keadaan yang
berbahaya karena apabila pemerintah pusat Indonesia tetap menggunakan
pendekatan negara tanpa mempertimbangkan kepentingan bangsa, maka Indonesia
akan menghadapi lebih banyak lagi gerakan nasionalis yang menginginkan untuk
memisahkan diri. Orang Aceh (sebelum perjanjian Helsinki) dan gerakan Papua
Merdeka berada di persimpangan untuk memisahkan diri dari Indonesia atau tetap
berada di dalam Indonesia. Adalah Anderson yang memberikan alat analisis untuk
mengkaji negara-negara post-kolonial yang cenderung menggunakan kepentingan
negara untuk menyatukan negara bangsa mereka sebagai satu identitas yang sama.
Namun di sisi lain, negara-negara bangsa ini mengabaikan kepentingan sebagai
bangsa. Hasil dari kebijakan-kebijakan ini adalah adanya konflik berdasarkan
identitas yang dianut oleh masing-masing kelompok seperti gerakan Moro yang
berhadap-hadapan dengan pemerintah pusat Filipina dan gerakan Aceh yang
berhadap-hadapan dengan Pemerintah pusat Indonesia.
Tag :
aceh,
asia tengara,
konflik,
moro,
nasionalisme,
pemeberontakan,
Politik,
sparatisme,
thailand
0 Komentar untuk "SPARATISME DI ASIA TENGGARA"