PERDAMAIAN ACEH TANPA KEADILAN
Akibat
bencana besar yang terjadi di Aceh pada tanggal 24 Desember 2004 membuat semua
mata tertuju kepada Indonesia khususnya Aceh pada masa itu. Goncangan Gempa 8,7
skalarigter di susul hantaman tsunami mengakibatkan Aceh hancur lebur, hampir
seluruh wilayah Aceh terkena tsunami dengan korban terbanyak membuat Aceh
menjadi perhatian yang cukup besar. Bantuan dari seluruh dunia datang namun
tidak sertamerta bantuan dapat masuk kala itu. Akibat konflik yang terjadi di
Aceh membuat bantuan terhenti, kekerasan dan keganasan militer Indonesia membuat
para relawan dunia takut masuk keAceh karena tekanan yang luar biasa membuat Indonesia
dan Gerakan Aceh Merdeka yang kala itu menjadi pemberontak di Aceh kedua belah
pihak paksa untuk melakukan genjatan senjata demi misi kemanusiaan. Akibat desakan
seluruh dunia akhirnya pada tangal 15 agustus 2005 terjadilah kesepakatan dengan sebutan Memorandum of Understanding (Mou) antara
Gerakan Aceh Merdeka dengan pemerintah Republik Indonesia.
Dalam perdamaian ini terjadilah beberapa kesepakantan antara
Gerakan Aceh Merdeka yang kemudian di tuangkan kedalam UU No 11 tentang kekhususan
Aceh, perjanjian yang membuat cukup banyak kesepakatan ini membuat Aceh menjadi
satu-satunya provinsi yang paling banyak mendapatkan tuntutan, dari sekian
banyak perjanjian terjadi maka kita akan membahas beberapa pokok perjanjian
yang saat ini mulai memicu kejangalan atas perdamaian Aceh. Tentunya sebuah
perdamaian yang terbentuk merupakan kesepakatan dua belah pihak yang seharusnya
sudah saling mengerti antara dua belah pihak, pembentukan partai local telah
terujud dan pelaksanaan syariat islam sebagaimana telah menjadi banyak tuntutan
dari masyarakat aceh telah terselengarakan walaupun masih dalam veto pemerintah
pusat dan penerimaan dana Otsus telah di selengarakan namun masih banyak
tuntutan yang seharusnya di jalankan.
Dalam pandangan
penulis proses perjanjian telah melahirkan tuntutan yang cukup besar dari kubu
GAM namun hal ini menjadi lazim ketika yang tergugat menyetujui setiap butir
yang di perjanjiakan. Logikanya sebuah proses hukum, jika yang tergugat telah
menyetujui setiap tututan dari yang tergugat maka semua putusan harus di
jalankan sesuai dengan perjanjian yang di putuskan. Maka perjanjian GAM dengan
RI semua harus di wujudkan melalui UU No 11 tentang kekhususan Aceh, namun dalam
perjalanan perdamaian penulis mulai melihat bagaimana proses perjanjian terus
di selewengkan bahkan terkadang di lupakan oleh pemerintah pusat hal ini
membuat seolah Aceh tanpa taring di karenakan proses pelaksanaan tuntutan tidak
berjalan mulus akibat bencana yang menghantam Aceh pada masa itu, setelah
pembentukan UU No 11 pada tahun 2006 maka tutuplah semua tuntutan, seolah
pemerintah pusat telah mengujudkan semua perjanjian dengan UU No 11 dan
mengabaikan semua tuntutan lain. Sebenarnya UU No 11 merupakan sebuah pegangan
bagi masyarakat Aceh, namun ketika pembentukan Qanun (Perda) tentang semua
perjanjian seolah pemerintah terkesan berat untuk memberi semua tuntutan yang
telah di perjanjikan. Penulis tidak mempungkiri bahwa ada yang telah terujud
namun tuntutan yang besar belum pernah terujudkan sampai sekarang, seperti
pembentukan qanun lambang dan bendera sampai saat ini masih masih terjadi
koling don’t karena tidak tercapai kesepakatan antara pemerintah derah dan
pemerintah pusat.
Lebih spesifik lagi jika kita lihat perjanjian tentang
pembagian migas, dan perda perda KKR sampai saat ini belun terselengarakan. Hal
ini tentunya membuat kita semakin yakin bahwa pemerintah pusat masih berat
untuk mengujudkan setiap perjanjian yang telah tertuang dalam naskah MOU
helsinski, seharunsnya pembentukan qanun bagi hasil migas dan KKR telah di
selengarakan agar tercapai semua tujuan yang telah di perjanjikan, jika kita
merujuk pada pembentukan dan penyelengaraan perda KKR sudah harus di jalankan
di karenakan cukup banyak korban kekerasan masa konflik yang masih menuntuk hak
mereka, pembunuhan secara membabi buta, pemerkosaan, pemukulan, indimidasi dan
teror lainnya telah membuat trauma konflik yang mendalam. Seharusnya untuk
memulihkan luka konflik di hati Rakyat Aceh maka pemerintah telah harus
membentuk tim kerja agar bisa mengungkapkan kasus-kasus pelangaran Hak Asasi
Manusia yang pernah di alami oleh masyarakat aceh.
Demi mengujudkan keadilan maka sayogiyaanya semua elmen
pemerintah harus segera mengujukan setiap butir perjanjian yang pernah di
tuangakan dalam naskah MOU dan pada dasarnya pelaksanaan hukum yang adil telah
menjadi tuntutan bagi setiap masyarakat aceh di tambah lagi dengan tidak
baiknya peneglolah pengembalian mantan kombatan membuat peluang konflik iternal
semakin terbuka, hal ini selayaknya telah menjadi tugas pemerintah pusat dan
pemerintah daerah agar A ceh tidak kembali menjadi konflik. Keterbuakaan semua
pihak yang di anggap bertangung jawab menjadi pokok permasalahan agar Aceh bisa
terus damai.
0 Komentar untuk "PERDAMAIAN ACEH TANPA KEADILAN"