KEKUATAN TIONGKOK (CINA) SEBAGAI ANCAMAN BAGI NEGARA-NEGARA ASIA TENGGARA
Dalam beberapa
bulan ini kita banyak melihat pembahasan di beberapa media nasional dan
internasional tentang kekuatan dan pengaruh cina sebagai Negara yang sudah
meranjak kejenjang superpower di Asia. Tiongkok atau yang lebih di kenal dengan
cina ini merupakan sebuah Negara yang terbentuk dari kerajaan yang ada di
dataran cina sendiri, Negara tengkok saat ini sudah menjadi Negara yang besar
baik socaity atau pun kekuatan ekonomi yang mulai tumbuh di atas rata-rata Negara
lain yang ada didunia. Pengaruh cina selaku Negara yang kekuatan politiknya
cukup di perhitungkan ini mulai menjadi sebuah ancaman tersendiri untuk
beberapa kawasanya, Negara tetangga seperti Negara-negara di asia tenggara
mulai terusik akibat agresifnya militer Negara tingkok tersebuat di tambah lagi
dengan klam wilayah yang di lakukan oleh pemerintah tiongkok terhadap
pulau-pulau yang berada di laut cina selatan menanbah tengangnya politik
kawasan, saling klaem kepemilikan pulau membuat kisruh mangkin menjadi-jadi di
tambah dengan keikut sertaan Amerika dalam konflik wilayah membuat kawasan
seolah tidak aman lagi.
Pada dasarnya
kekuatan politik yang tidak seimbang membuat Negara-negara di asia tenggara
tidak memiliki nyali untuk melawan pemerintahan tingkok namun Negara-negara
seperti Vietnam, Thailand, Malaisyia dan Brunai Darussalam telah melakukan
gugatan di mahkamah internasional tentang batas wilayah dan kepemilikan pulau
yang di klaem oleh pemerintah tiongkok, dalam penentuan kawasan seharunya
tiongkok tidak melakukan kaem wilayah secara sepihak namun karena kekuatan yang
di miliki Negara itu membuat mereka berani mengklaem wiyah secara sepihak. Kekuatan
ekonomi yang besar di tambah dengan militer yang kuat membuat Negara ini
mendapatkan legitimasi secara tidak langsung
namun sebenarnya mereka tidak memiliki hak untuk mengklaem wilayah tersebut
secara sepihak, dan Negara asia tengarapun menilai tiongkok tidak memiliki
landasan yang jelas atas klaem tersebuat. Proses perundinga terus di galakan
oleh Negara-negara yang tidak terkena caplokan tiongkok namun proses yang di
lalui cukup sulit di karenakan teongkok tidak mau menyelesaikan masalah
sengketa wilayah di meja hijau tetapi dengan diplomasi antar Negara. Tiongkok menghendaki
konfresi tertutup mengenai pembahasan laut cina selatan, namun tiongkok juga
yang sering melakukan hal-hal yang meprovokasi Negara tetanggaseperti pelanggaran
kedaulatan Indonesia di Laut China Selatan oleh kapal nelayan China yang
dilindung kapal penjaga keamanan China, merupakan persoalan yang perlu dianggap
serius oleh seluruh komponen bangsa. Upaya intervensi yang dilakukan oleh kapal
laut keamanan China terhadap kapal patroli Indonesia yang menangkap kapal
nelayan China, adalah hal yang tidak dapat dibernarkan secara hukum.
Persoalan Laut China Selatan Intervensi
kapal patroli keamanan Tiongkok yang berusaha melindungi kapal nelayannya dari
tangkapan kapal patroli Indonesia, sebenarnya tidak terlepas dari upaya negeri
tersebut untuk kembali menegaskan klaimnya atas Laut China Selatan. Selain
kembali memanaskan situasi hubungan antarnegara yang juga memiliki batas di
wilayah laut tersebut, klaim ini juga kembali membuka peluang atas munculnya
konflik antarnegara. Memanasnya kembali kisruh Laut China Selatan telah dimulai
kembali sejak 2015, dimana pada saat itu China menentukan kembali peta
perbatasan lautnya yang meluas sampai pada beberapa titik wilayah baru. Dalam
titik baru tersebut, terdapat titik yang meliputi wilayah di kepulauan Natuna. Tindakan
pemerintah Tiongkok itu juga sebelumnya telah memunculkan reaksi keras dari
negara-negara lain, seperti Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, dan Malaysia.
Penyebarluasan wilayah baru ini terjadi
karena Tiongkok berpatokan pada klaim atas Kepulauan Spratly, yang sebenarnya
masih dalam status sengketa dengan Filipina serta Vietnam. Klaim sepihak
Tiongkok atas Pulau Spratly merugikan banyak negara yang memiliki batas di Laut
China Selatan, ini juga yang kemudian memunculkan reaksi keras Amerika Serikat
dengan mengerahkan kapal perang ke kawasan sengketa pada Oktober 2015. Amerika
mempunyai kepentingan atas teritori Laut China Selatan karena memiliki
pangkalan militer di Filipina, sehingga klaim sepihak China akan dapat
merugikan AS dalam memobilisasi armada perangnya. Secara geopolitik posisi
Pulau Spratly bagi Tiongkok memang sangat strategis karena dapat memberikan
banyak keuntungan, baik dari aspek politik dan pertahanan maupun dari segi
ekonomi. Jika pulau itu berhasil dikuasai Tiongkok maka secara legal batas
wilayah mereka akan bertambah, namun menjadi kerugian bagi negara-negara lain.
Bagi kebanyakan negara di Asia Tenggara, klaim atas dominasi Tiongkok di Laut
China Selatan sudah dirasakan dengan mulai banyaknya kapal-kapal laut China
yang melanggar batas wilayah negara.
Dampak Perairan Natuna bagi Indonesia
memiliki arti sangat penting dan strategis, sebab perairan dan kepulauannya
merupakan batas terluar dari NKRI yang menjadi penentu keberdaulatan negara.
Apabila kemudian wilayah ini menjadi objek sengketa atau dilanggar batas
wilayahnya maka kedaulatan NKRI kembali dipertaruhkan, dan tentunya kita tidak
ingin kembali mengulangi kesalahan beberapa tahun lalu ketika harus kehilangan
Sipadan dan Ligitan. Masuknya kapal-kapal Tiongkok ke wilayah perairan
Indonesia dan adanya perlindungan dari kapal patroli mereka, telah menunjukkan
adanya upaya untuk menentang hukum laut internasional, khususnya terkait dengan
Zona Ekonomi Eksklusif milik Indonesia. Atas dasar kondisi itu memang sudah
sewajarnya pemerintah Indonesia kemudian memberikan teguran yang keras kepada
pemerintah Tiongkok. Sensitivitas persoalan Laut China Selatan kini dengan kata
lain tidak lagi menyangkut persoalan Tiongkok dengan negara-negara seperti
Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, dan Malaysia.
Keikutsertaan Indonesia secara aktif
dalam mengatasi persoalan di Laut China Selatan seharusnya juga tidak lagi
hanya sebatas sebagai penengah, namun juga aktif menjadi aktor yang mencegah
negeri tirai bambu untuk memperluas wilayah kekuasaannya secara
sewenang-wenang. Untuk mengatasi persoalan itu maka upaya diplomasi melalui
komunikasi dengan negara-negara lain di Asia Tenggara, termasuk dengan negara
peng-klaim yaitu Tiongkok, mutlak segera dihidupkan kembali. Upaya ini
merupakan cara awal yang dapat ditempuh untuk menghindari adanya gesekan yang lebih
parah di wilayah perairan.
Perkuat pertahanan Tidak dapat
dimungkiri bahwa upaya diplomasi merupakan cara yang paling bijaksana untuk
mengatasi konflik di Laut China Selatan, cara ini dapat menghindari terjadinya
benturan atau konflik fisik antar negara. Namun demikian, upaya untuk
memperkuat armada tempur di laut, darat dan udara dalam rangka menjaga
kedaulatan perairan dan pulau terluar juga adalah hal yang penting. Memperkuat
armada tempur dan menempatkannya pada wilayah perbatasan merupakan bagian dari
strategi pertahanan yang efektif, terutama untuk menghalau segala bentuk
ancaman yang datangnya dari luar. Sebaimana gangguan yang dilakukan oleh kapal
Patroli Tiongkok ketika menabrak kapal patroli milik aparat Kementerian
Kelautan dan Perikanan Indonesia, pada saat menggiring kapal nelayan China yang
melanggar batas wilayah perairan. Penempatan kapal dan pesawat patroli TNI
angkatan laut dan udara di perbatasan Laut China Selatan dan perairan Natuna,
juga diperlukan dalam rangka mengimbangi kekuatan patroli negara lain. Menurut
penulis adanya penempatan armada patroli TNI AL dan AU, tidak dapat disebut
sebagai provokasi selama tidak dikerahkan secara berlebihan dan tidak melanggar
batas wilayah negara lain. Penempatan kapal patroli TNI adalah sebuah kebutuhan
dalam rangka menegakkan kekuatan dan kedaulatan negara, dan ini menjadi bagian
yang tidak terpisahan dari upaya diplomasi pemerintah.
Dalam rangka memperkuat basis pertahanan
negara, ke depannya pemerintah bersama DPR juga perlu merancang kebijakan strategis
pertahanan negara. Salah satu langkah yang kemudian dapat dilakukan adalah
dengan menyediakan anggaran untuk menambah unit alat utama sistem senjata
(Alutsista) bagi TNI. Penguatan Alutsista bagi TNI adalah bagian dari upaya
yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan DPR dalam menunjang fungsi pertahanan Negara.
Laut Cina Selatan telah menjadi fokus
dari sengketa maritim di Asia. Dua dari negara penuntut adalah Cina dan Taiwan,
sementara empat lainnya Brunei, Malaysia, Filipina dan Vietnam adalah anggota
Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Meskipun ASEAN sendiri sebagai
organisasi bukan salah satu pihak yang bersengketa, organisasi inimemiliki
kepentingan agar sengketa di kawasannya diselesaikan dengan damai tanpa
memengaruhi kebebasan navigasi internasional. Indonesia juga memiliki posisi
yang sama. Kami bukan pihak yang menuntut dalam sengketa ini, namun negara kami
akan terkena imbas jika terjadi konflik di Laut Cina Selatan karena
interpretasi dari “nine-dash line”atau sembilan garis terputus di peta Cina,
yang mengklaim sekitar 90% dari perairan yang luasnya 3,5 juta kilometer
persegi (atau 1,35 juta mil persegi). Karena kepentingan strategis dan ekonomis
dari perairan tersebut, maka isu ini telah menjadi permasalahan internasional
yang juga melibatkan Amerika Serikat.
Oleh karena itu, Indonesia merasa
terganggu karena Cina telah memasukkan sebagian dari Kepulauan Natuna dalam
sembilan garis terputus tersebut, yang berarti menyatakan sebagian dari
provinsi Kepulauan Riau masuk ke wilayahnya. Garis terputus tersebut terlihat
di paspor warga negara Cina yang baru diterbitkan. Kepulauan yang termasuk di
sini terletak di pesisir barat laut Kalimantan.Tentara Nasional Indonesia telah
memutuskan untuk meningkatkan kekuatannya di Natuna. Kami juga perlu untuk
mempersiapkan pesawat tempur kami untuk menghadapi potensi meningkatnya
ketegangan di salah satu jalur perairan utama di dunia tersebut. Angkatan
bersenjata Indonesia maupun negara-negara lain mempersiapkan diri untuk
kemungkinan terburuk. Namun kami tetap berharap bahwa solusi dapat dicapai
lewat kemampuan politik dan kepemimpinan diplomatik negara-negara di kawasan
ini untuk mendapatkan solusi yang tidak menggunakan kekerasan. Dengan kata
lain, kami mendukung kebijakan non-perang bagi Laut Cina Selatan, dan bagi
kawasan Asia Pasifik yang lebih luas.
Kebijakan ini merefleksikan kepentingan
utama Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merancang visi kebijakan
luar negeri Indonesia berdasarkan semangat memiliki sejuta teman dan nol musuh.
Dalam semangat ini, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa telah merancang
doktrin“dynamic equilibrium” (keseimbangan dinamis) yang mengundang kekuatan
utama untuk berpartisipasi dalam kerangka kerjasama untuk membangun konstruksi
kawasan yang inklusif.
Hanya
melalui kerangka kerjasama Indonesia dapat menjalankan kebijakan luar negeri
yang bebas dan aktif. Dengan tidak berpihak pada satu kekuatan strategis, yang
mungkin akan memberikan rasa keamanan bagi suatu negara namun juga membatasi
pilihan negara tersebut, Indonesia dapat menjaga kemandirian strategisnya. Kemandirian
memungkinkan kita untuk untuk berkontribusi dalam kekuatan internasional untuk
menjaga kedamaian, stabilitas dan kesejahteraan di kawasan.
Kami
tidak naïf. Kami memahami bahwa negara-negara berkekuatan besar perlu untuk
membantu menjaga kedamaian, dan hanya dengan ini maka kedamaian di dunia dapat
tercapai. Saya percaya bahwa bahwa Cina dan A.S. memiliki kepentingan nasional
untuk bekerja sama dalam memastikan ketentraman di Laut Cina Selatan dan
kawasan Asia Pasifik pada umumnya. Hubungan bilateral mereka sangat penting
bagi mereka sendiri dan bagi negara-negara Asia Tenggara, sehingga tidak masuk
akal untuk membiarkan isu Laut Cina Selatan mengganggu hubungan kedua negara
tersebut.
Bagi
Cina, tindakannya di Laut Cina Selatan akan menegaskan persepsi umum akan
intensinya sebagai kekuatan yang sedang tumbuh. Kebijakan non-perang yang
diadopsi Beijing akan membuat negara-negara tetangganya merasa yakin bahwa
Beijing menginginkan perkembangan yang damai. Negara Cina yang terlalu asertif,
yang merubah status quo lewat parade kekuatan militernya, akan memberi dampak
sebaliknya. Negara-negara Asia Tenggara tidak akan menyambut baik munculnya
lingkup kekuasaan di kawasan berdasarkan kebangkitan militer dan aspirasi
kepemimpinan satu negara. Bagi A.S., pendekatannya terhadap sengketa maritim
akan menentukan kredibilitasnya di mata negara-negara sahabat dan mitra
strategisnya. Namun, Indonesia tentu tidak ingin melihat evolusi dari kebijakan
Amerika yang memberikan alasan bagi Cina untuk mencurigai pembentukan diam-diam
koalisi negara-negara yang bertujuan mengepungnya secara militer. Sehingga
penting bagi A.S. untuk tidak menciptakan lingkup kekuasaan di kawasan
Indo-Pasifik tanpa menyertakan Cina.
Konsep-konsep
seperti penyeimbangan kekuatan, lingkup kekuasaan, dan daerah penyangga adalah
bagian dari model politik kekuatan besar Eropa di abad ke-19. Dua perang dunia,
perang dingin, dan munculnya negara-negara bersenjata nuklir adalah bukti yang
cukup bahwa konsep-konsep tersebut mengandung bibit-bibit kehancuran. Kebijakan
non-perang mungkin tampak terlalu optimistis, namun itu realistis. Kebijakan
ini mendukung kepentingan kekuatan utama Asia dengan menciptakan lingkungan
strategis yang ramah yang memungkinkan mereka untuk tumbuh bersama dan
menyelesaikan perbedaan lewat negosiasi dan kompromi. Indonesia akan memberikan
dukungan diplomatik terhadap penciptaan tata tertib Asia yang berdasarkan
penolakan terhadap penggunaan kekerasan.
DI KUTIP DARI
Jenderal Moeldoko dan dimuat di Wall Street Journal 28 April.
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=14&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjOwPk6ojNAhWFj5QKHd0JBZcQFghwMA0&url=http%3A%2F%2Fwww.pikiran-rakyat.com%2Fopini%2F2016%2F03%2F31%2Fpelanggaran-di-laut-china-selatan-365474&usg=AFQjCNG-xIGvvRRGZZrhXawpopBUjMEsQQ&sig2=P9EKxKabX5D-uznP3Srx-g
0 Komentar untuk "KEKUATAN TIONGKOK (CINA) SEBAGAI ANCAMAN BAGI NEGARA-NEGARA ASIA TENGGARA"