PEMIKIRAN POLITIK ISLAM


Politik Dalam Islam
Sebagai agama yang sempurna, islam mengatur semua asfek kehidupan manusia, mulai urusan sederhana seperti adab makan, tidur, ke kamar mandi dan seterusnya, sampai urusan keumatan, bertetangga, bermasyarakat, dan bernegara. Sayangnya, selama ini banyak yang memahami islam dalam pengertian sangat sempit, yaitu sebatas ritual ibadah saja. Seorang yang rajin sholat ke masjid, mengerjakan puasa dan membayar zakat, atau mungkin dipanggil pak haji dengan jenggot yang panjang dan berpakaian sorban, maka dinilai sebagai orang yang sempurna keislamannya. Islam tidak dimaknai dalam pengertian yang lebih luas. Seakan mereka yang berada di kelompok ini meyakini bahwa dengan cara inilah salah satu jalan untuk masuk sorga. Mereka menganggap urusan selain itu adalah masalah duniawi, yang seakan tidak perlu terlalu diperhatikan. Akibatnya, islam dinilai sebagai agama yang tidak mampu mengikuti perkembangan jaman. Umat islam dikesankan dengan kelompok orang yang tradisional, bersarung, kotor, tidak berpendidikan, kasar, dan sekian banyak image tidak baik lainnya. Sebaliknya, menghadapi kondisi tersebut, sebagian umat islam justru secara membabi buta mengadopsi semua ajaran bahkan nilai yang berasal dari luar. Mereka begitu bangga dengan kemajuan dunia barat. Dan mereka menilai bahwa memang sudah saatnya bagi islam untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Biasanya kelompok inilah yang dikenal sebagai kaum liberalis.
Kedua sikap ekstrim tersebut tentu tidak menguntungkan. Dalam konsep politik, kelompok pertama menilai bahwa semua cukup hanya dengan Alqur’an dan Sunnah. Tentu umat islam setuju. Namun, penjelasan yang tidak rinci menjadi persoalan tersendiri. Bagaimana umat islam diminta untuk memahami Alqur’an dan Sunnah, dan bagaimana pula mereka bisa bersikap kritis terhadap sejarah masa lalu pemerintahan islam. Maksudnya bahwa kemunculan islamophobia yang berkembang di dunia barat, sangat mungkin karena kesalahan dalam menafsirkan sejarah. Oleh karena itu, upaya meluruskan sejarah perlu dilakukan. Dan umat islam, jika ternyata memang ada kesalahan sejarah harus berani mengakui dengan jujur. Tidak perlu ada yang ditakutkan. Bukankah kesalahan sejarah tidak berarti kesalahan ajaran. Hal ini justru menjadi kritik bagaimana pemahaman umat islam terhadap agama mereka yang masih sangat lemah.
Demikian juga sikap kelompok liberal. Pluralisme, demokrasi, hak asasi manusia, senantiasa menjadi senjata dan menyamakannya secara persis dengan nilai-nilai islam. Tentu hal ini membahayakan. Pemahaman yang salah dan tidak komprehensif sangat menyesatkan. Apalagi dengan melepaskan sama sekali simbol-simbol keagamaan dan syariat yang jelas. Perdebatan ini akan berlangsung terus tanpa mau kembali melihat sejarah. Yakni tidak memulai perdebatan dalam konteks isu kekinian, melainkan berusaha memahami dalil-dalil qoth’i tentang politik dari Alqur’an dan Sunnah. Dan kemudian berusaha melihat sejarah bagaimana Rasulullah dan generasi terdahulu memahami tafsir dalil-dalil tersebut. Asumsi dan keyakinan yang perlu ditumbuhkan adalah bahwa merekalah orang yang paling memahami islam. Perumpamaan dengan permainan pesan berantai merupakan contoh serupa. Yang terakhir menerima pesan, sangat mungkin berbeda dalam menangkap pesan yang disampaikan orang pertama.

Filsafat Kehidupan Manusia
Konsep politik dalam Islam tidak terlepas dari posisi manusia dalam kehidupan. Manusia merupakan makhluk dijadikan sebagai khalifah oleh Allah di muka bumi. Allah telah menciptakan segalanya, kemudian manusia yang diminta untuk memakmurkan bumi. Tentu saja mereka harus menjalaninya sesuai dengan hukum alam dan undang-undang yang sudah disiapkan oleh Allah. Dalam hal ini, logika yang dipakai adalah ibarat barang elektronik yang sekarang berkembang. Seorang pembeli hendaknya menggunakan barang elektronik tadi sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh pabrik supaya tidak menyebabkan kerusakan yang tidak diinginkan. Manusia juga demikian, harus menggunakan hukum yang telah Allah turunkan. Jadi, peran manusia dalam politik bukan untuk membuat hukum yang baru.
Adapun, aturan yang berusaha untuk mengimbangi perkembangan zaman, pada hakikatnya harus tetap sesuai dengan hukum yang baku dari Allah. Perkembangan hukum dilakukan untuk hal-hal yang membawa kebaikan. Demikianlah posisi hubungan antara Allah dengan manusia dan alam ketika pertama kali nabi Adam dan Hawa diturunkan ke muka bumi. Hanya saja dalam perjalanannya, banyak manusia yang tidak taat dengan aturan tadi. Mereka melakukan berbagai kesalahan dan kemaksiatan. Intinya bahwa mereka terjauh dari tuntunan yang diinginkan oleh Allah. Semakin hari, kondisi ini bertambah para sehingga Allah mengutus kepada mereka para nabi yang mengingatkan manusia dari jalan yang benar. Nabi terakhir yang diutus adalah nabi Muhammad Salallahu’alaihi wassalam yang menyempurnakan ajaran-ajaran agama sebelumnya.
Ajaran Rasulullah sebagai agama sempurna mengatur semua aspek kehidupan termasuk urusan politik. Oleh karena itu, umat islam perlu mewujudkan suasana politik sesuai dengan prinsip-prinsip dan landasan berpolitik yang dicontohkan rasul. Point utama yang diinginkan dalam sistem politik islam adalah penegakan syariat. Dengan syariat ini, manusia diharapkan bisa hidup selalu dalam ma ‘rufat (kebaikan) dan jauh dari hal-hal yang munkarat (jelek).
Perdebatan Konsep Politik Islam Dan Barat
Pada dasarnya semua pemikiran politik sepakat bahwa pemerintahan dan politik dimaksudkan untuk mengatur masyarakat sehingga bisa hidup dalam kedamaian, keadilan, dan penjaminan terhadap berbagai kebutuhan hidup masyarakat lainnya.
Hampir semua pemimpin dunia sekarang ini merasa bangga jika disebut sebagai pemimpin yang demokratis, termasuk mereka yang memimpin secara diktator sekalipun. Saddam Hussein atau pak Harto misalnya yang dipersoalkan dengan beberapa pelanggaran HAM, kemungkinan akan marah jika ketika masih berkuasa disebut sebagai pemerintah yang tidak demokratis. Demokrasi begitu diagungkan dan menjadi mimpi semua negara.
Secara harfiah, demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang bermakna aturan atau pemerintah. Jadi, demokrasi adalah pemerintahan yang dipimpin dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam demokrasi, kekuatan tertinggi dalam hukum ada pada rakyat, bukan pada Tuhan sebagaimana dipahami oleh Negara-negara teologis.
Pemahaman demokrasi lahir ditengah kondisi sosial politik Yunani kuno yang diwarnai oleh perang antara negara kota Anthena dan Sparta, kemudian berkembang drastis setelah terjadi masa renaissance di Eropa. Menurut Aristoteles (384-322 SM), Allah hanyalah sebagai pencipta alam. Sementara proses yang berlaku di bumi selanjutnya berdasarkan hukum alam, tanpa campur tangan sedikit pun dari Allah. Allah menjadikan manusia sebagai makhluk yang diberikan kekuatan untuk mengatur kehidupan dan alam semesta. Untuk memimpin manusia, mereka boleh bersepakat menunjuk seorang kaesar yang menguasai hukum dalam mengatur masyarakat.
Dari konsep inilah pada awalnya sekularisme muncul. Aristoteles memahami bahwa Kaesar mengatur hukum sendiri, dan Allah mempunyai hukum yang lain. Keduanya sibuk dengan urusan masing-masing yang tidak saling berhubungan. Artinya bahwa antara urusan dunia dan agama tidak bisa disatukan.
Meskipun demikian, prinsip keadilan dan persamaan menurut Aristoteles tetap bisa diwujudkan. Kepentingan bersama haruslah merupakan karakter utama dalam sistem demokrasi. Setiap orang punya hak dan suara karena itulah yang dinamakan kebenaran. Dengan bahasa sederhana ia menyebut bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan.
Sebagai implementasinya, Yunani kuno menyelenggarakan demokrasi secara langsung. Rakyat berkumpul di satu tempat untuk menentukan siapa pemimpin mereka dan bagaimana kebijakan pemerintah harus diambil. Demokrasi langsung tidak mengalami masalah waktu itu karena jumlah masyarakat belum banyak dan wilayah negara hanya berupa kota.
Demokrasi langsung tidak bisa dipertahankan ketika wilayah negara cukup luas dan jumlah penduduk semakin banyak. Penduduk tidak mungkin dikumpulkan di satu tempat untuk dimintai pendapat tentang masalah kepemimpinan dan kenegaraan. Pada masa Renaissanse Eropa muncul konsep demokrasi perwakilan. Dalam demokrasi ini, penduduk menunjuk wakil mereka dan memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil tersebut untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Selanjutnya demokrasi berkembang pesat, bahkan meliputi berbagai dimensi dalam politik. Di Indonesia muncul istilah demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, demokrasi sosialis, dan seterusnya. Demokrasi mulai menggejala dan menjadi trend pada setiap warna kebijakan pemerintah. Meskipun demikian, secara lebih sederhana demokrasi sekarang lebih terlihat pada dua aspek, yaitu demokrasi substansif dan demokrasi prosedural.
Demokrasi substansif maknanya bahwa demokrasi merupakan alat dalam upaya mewujudkan kemakmuran masyarakat sehingga memiliki kebebasan, persamaan dan penghargaan terhadap hak-hak mereka. Sementara demokrasi prosedural, lebih menekankan kepada proses pembentukan sistem kenegaraan yang dibatasi oleh kegiatan dan birokrasi pemerintahan seperti pemilu. Persoalan apakah pemilu itu benar-benar akan mengapresiasi kepentingan masyarakat tidak menjadi masalah utama. Justru sekarang realita menunjukkan bahwa demokrasi lebih banyak dimaknai dalam artian prosedural. Semua pemimpin dengan warna kebijakan apapun selama terpilih melalui pemilu ingin disebut dirinya sebagai pemimpin yang demokratis.
Konsep Demokrasi yang menekankan kekuasaan dan proses pembuatan hukum kepada rakyat bertentangan dengan prinsip politik Islam. Masyarakat Islam yang ideal didasarkan pada kondisi sosial politik Madinah ketika Rasulullah Muhammad menjadi pemimpin. Pembentukan negara Madinah sejak Rasul hijrah pada tahun 622 M menurut para pemikir politik Islam merupakan sistem pemerintahan yang meletakkan hukum dari Allah. Manusia harus taat dengan hukum yang ditentukan Allah. Sebagai upaya untuk memahami hukum-hukum Allah tersebut, para ulama yang dinilai mempunyai otoritas.
Menurut Muhammad Abduh (1849-1905), manusia mempunyai keinginan, kebebasan dan kemampuan yang lebih dibandingkan makhluk yang lain sehingga dijadikan sebagai khalifah, akan tetapi manusia setiap melakukan perbuatan harus senantiasa sesuai dengan tuntunan agama samawi.
Perbedaan tentang sumber hukum tersebut, membuat konsep demokrasi dan Islam tidak bisa disatukan. Masing-masing pihak kukuh dengan pendapat dan pendiriannya. Hingga kemudian muncul beberapa pemikir yang mencoba menjembatani konsep demokrasi dan politik dalam Islam. Pandangan ini muncul dari kalangan yang mengeyam pendidikan dari Eropa dan Amerika. Menurut mereka demokrasi dan Islam mempunyai beberapa persamaan dan saling melengkapi dalam hal:
Konsep Bai’ah (oath)
Dalam Islam bai’ah berarti janji setia dari rakyat untuk menerima kepemimpinan seorang khalifah. Mereka membai’ah dengan cara menyalami dan menempelkan tangan kepada khalifah yang baru. Sementara khalifah akan berpidato dan menyampaikan janji untuk kesejahteraan rakyat. Dengan kata lain, pada waktu membai’ah, berarti terjadi penerimaan antara kedua belah pihak untuk memimpin dan dipimpin.
Kelompok yang mengatakan bahwa demokrasi sesuai dengan Islam berargumentasi bahwa bai’ah pada hakikatnya sama dengan pemilu. Ketika masyarakat mencoblos partai dan wakil rakyat, pada waktu itu berarti mereka menerima siapapun pemimpin terpilih. Begitu juga dengan pemimpin, sebelum memimpin pun sudah berjanji untuk menjaga amanat rakyat.
Sekilas argument ini terlihat benar dan logis, meskipun jika dicermati sebenarnya sangat berbeda. Dalam Islam, bai’ah baru dilakukan setelah pemimpin definitif ditetapkan, artinya bai’ah dilakukan hanya kepada seorang pemimpin oleh semua rakyat. Persatuan rakyat jelas terlihat. Sementara dalam pemilu, rakyat sudah memberikan kepercayaan kepada mereka yang belum tentu terpilih sebagai pemimpin. Karena banyak pihak yang diberikan kepercayaan, masyarakat pada hakikatnya sedang terpecah. Meskipun ada yang mengatakan bahwa dalam demokrasi kita harus menerima siapapun pemimpin terpilih, realita menunjukkan bahwa hal tersebut tidak terjadi, bahkan pada level elite sekali pun. Buktinya, partai oposisi kerap muncul, meskipun dibahasakan sebagai alat pengontrol kepemimpinan. Belum lagi termasuk peluang yang sangat besar dari para calon pemimpin dan partai politik untuk menipu habis-habisan rakyat.
Di negara ini seringkali kita menemukan kebingungan masyarakat ketika melihat iklan negatif yang dikobarkan oleh salah satu calon presiden. Calon presiden yang dulu juga sempat menjadi presiden, meskipun pernah mengecewakan rakyat sekarang dengan meyakinkan menyerang calon incumbent. Bahkan dengan bahasa-bahasa yang tidak beradab tetapi mudah diingat rakyat, misalnya ”seperti main yoyo, naik dan turun!!” untuk mengkritik kebijakan pemerintah yang menaikkan dan menurunkan harga BBM.
Di tengah budaya politik dan kebodohan yang masih melilit mayoritas masyarakat Indonesia, bahasa tersebut akan diterima tanpa pemikiran kritis, apalagi mudah diingat. Menurut Islam cara seperti ini jika mengandung kebenaran tergolong ghibah, atau pun jika mengandung kebohongan disebut fitnah. Baik ghibah maupun fitnah dilarang dan merupakan gambaran akhlak seseorang, apalagi calon pemimpin. Hanya saja sistem demokrasi memberikan kebebasan bersuara tanpa batas.
Musawah (equality)
Pendapat lain mengatakan bahwa demokrasi dan Islam sebenarnya sejalan karena sama-sama berusaha untuk mewujudkan kebersamaan dalam suasana yang egaliter di tengah masyarakat. Persamaan harus dijunjung tinggi, meskipun berbeda warna kulit, status sosial, suku bangsa, agama, atau jenis kelamin. Demokrasi menunjukkan komitmennya dengan memberikan hak kepada seluruh warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilu, baik sebagai pemilih maupun sebagai calon anggota perwakilan atau pemimpin. Bahkan dalam hal suara wanita, mereka merasa perlu mengaturnya dengan memberikan kesempatan sebanyak 30 % dari kursi yang tersedia. Mereka menilai bahwa kepentingan kaum wanita harus benar-benar diperhatikan dan yang paling memahami kondisi dan kepentingan kaum wanita adalah wanita sendiri.
Kelompok ini mencoba menyelaraskan konsep tersebut dengan istilah Islam yang berbunyi bahwa tidak ada yang lebih mulia di sisi Allah kecuali karena ketaqwaannya. Dalam sejarah umat Islam, rasul juga menunjukkan penghargaan yang luar biasa kepada kaum wanita atau mereka yang berasal dari golongan yang lain. Bahkan dalam tradisi keilmuan, Islam juga mempunyai banyak ulama yang berasal dari kaum wanita.
Alasan tersebut benar adanya, tetapi ada beberapa hal yang tidak dilihat dalam sejarah dan pemahaman Islam. Semua orang memang mempunyai kesempatan untuk memberikan pendapatnya, hanya saja Islam lebih menghargai mereka yang berilmu dan mempunyai pemahaman lebih baik. Islam tidak menyamakan kualitas pemahaman seorang professor dengan mereka yang tidak berpendidikan sebagaimana secara implementatif terjadi dengan pemilu. Ketika konsep satu pemilih dinilai satu suara (one vote one voice), hal itu memberikan kesempatan kepada mereka yang tidak mempunyai pemahaman apa-apa memenangkan pemilihan. Karena Islam begitu menekankan ruju’ kepada Al-quran dan sunnah, dikhawatirkan pemilihan dengan satu pemilih satu suara menyebabkan prinsip dalam syariat tersingkirkan. Begitu juga nilai kemaslahatan masyarakat tidak dapat diwujudkan secara maksimal.
Jadi dalam Islam, dikenal persamaan yang terbatas dan terbatas pada beberapa konteks tertentu. Orang yang berilmu dinilai tidak sama dengan orang yang bodoh.
Syura (consultation) Pendapat selanjutnya yang mensinergiskan demokrasi dengan Islam terletak pada proses penyelesaian  masalah dari kedua sistem yang dilakukan melalui cara musyawarah. Menurut pandangan kelompok ini, lembaga perwakilan adalah tempat bermusyawarah para wakil rakyat untuk menyelesaikan masalah. Artinya tidak ada pemaksaan kehendak dalam suatu keputusan melainkan merupakan keputusan bersama.
Dalam musyawarah, suara diwakili oleh majelis, dan menjelis ini dianggap sebagai perwakilan masyarakat. Mereka hendaknya orang yang berilmu, takut kepada Allah, dan berpihak kepada rakyat. Secara konsep penjelasan ini bisa diterima. Apalagi dalam sejarah kita juga melihat sikap rendah hati rasul untuk bermusyawarah dengan para sahabat. Rasul pernah mendapat masukan dari Salman Al-Farisi untuk menggali parit dalam perang khandak. Juga pernah menerima masukan Umar bin Khattab untuk menebus tawanan perang dengan meminta mereka mengajar baca tulis umat Islam sebanyak sepuluh orang untuk melepaskan satu tawanan, dan masih banyak contoh yang lain.
Persoalannya, apakah benar dalam kehidupan demokrasi selama ini tidak terjadi pemaksaan kehendak oleh para anggota dewan dalam beberapa keputusan mereka. Seringkali kita melihat kebijakan yang menyakitkan karena ditengah penderitaan rakyat justru para wakil rakyat membahas masalah kenaikan biaya fasilitas anggota dewan. Kondisi tersebut berbeda dengan Islam yang memberikan kesempatan bersuara dan menyampaikan persoalan kepada mereka yang benar-benar memahami kondisi masyarakat, sehingga keputusan musyawah tidak akan memarjinalkan masyarakat. Jadi, konsep musyawarah dalam islam dan demokrasi sebenarnya sama, hanya saja karena sudah beda dari awal tentang pemahaman siapa yang berhak menjadi wakil hal ini menjadi masalah serius.
Adalah (justice) dan Maslahah (common goals) Keadilan menurut kelompok yang menilai demokrasi sejalan dengan Islam merupakan prinsip dan kondisi yang dicita-citakan. Demokrasi memperjuangkan persamaan dalam upaya menggapai keadilan. Ketika wanita dan laki-laki diberikan hak satu orang satu suara, maka itulah keadilan. Islam juga dikenal sebagai agama yang sangat adil, baik secara tekstual maupun implementasi sejarah. Islam begitu memuliakan pemimpin yang adil. Seorang pemimpin yang adil akan senantiasa berusaha untuk mewujudkan kepentingan bersama (maslahah). Begitu juga sejarah Islam menunjukkan bahwa para khalifah seperti Umar bin Khattab berusaha untuk menjadi pemimpin terbaik bagi masyarakatnya.
Umar pernah menangis tersedu-sedu ketika ada seekor anak keledai terperosok di jalan Baghdad yang berlobang. Ia takut bagaimana mempertanggungjawabkan kelalaiannya dihadapan Allah kelak. Bayangkan, hanya karena seekor keledai, bagaimana pula kalau manusia yang mati. Umar juga sering berkeliling di tengah masyarakat untuk mengetahui kondisi mereka. Sampai suatu malam, Umar bin Khattab rela memanggul sendiri karung gandum untuk seorang ibu yang memasak batu karena ketiadaan ekonomi. Begitu mulia dan adilnya kepemimpinan Umar. Umar  tidak mau makan sampai semua masyarakat merasa kenyang, dan tidak berpakaian kecuali sama dengan penampilan rakyat pada umumnya. Pertanyaannya, apakah demokrasi yang begitu dipuja sekarang menghasilkan pemimpin sekualitas Umar. Justru yang terjadi adalah mereka yang lebih banyak memikirkan kepentingan pribadi dan kelompok atau partai mereka sendiri. Mereka membiarkan masyarakat hidup dalam kesengsaraan.


KABARI KE TEMANMU VIA : Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
0 Komentar untuk "PEMIKIRAN POLITIK ISLAM"

Popular Posts

Back To Top