Ø PENDAHULUAN
Banyak sejarawan yang menyebut
globalisasi sebagai fenomena di abad ke-20 ini yang dihubungkan dengan
bangkitnya ekonomi internasional. Padahal
interaksi dan globalisasi dalam hubungan antarbangsa di dunia telah ada sejak
berabad-abad yang lalu. Bila ditelusuri, benih-benih globalisasi telah tumbuh
ketika manusia mulai mengenal perdagangan antarnegeri sekitar abad ke-1-7 M. Saat
itu, para pedagang Muslim Arab, Persia, dan India, Tiongkok mulai
menelusuri negeri lain baik melalui jalan darat maupun jalan laut untuk
berdagang.
Fase selanjutnya ditandai dengan
dominasi perdagangan kaum muslim di Asia dan Afrika. Kaum muslim membentuk
jaringan perdagangan yang antara lain meliputi Jepang, Tiongkok, Vietnam,
Indonesia, Malaka, India, Persia, pantai Afrika Timur, Laut Tengah, Venesia,
dan Genoa. Di samping membentuk jaringan dagang, kaum pedagang muslim juga
menyebarkan nilai-nilai agamanya, nama-nama, abjad, arsitek, nilai sosial dan
budaya Arab ke warga dunia.
Fase selanjutnya terus berjalan dan
mendapat momentumnya ketika perang dingin berakhir dan komunisme di dunia
runtuh. Runtuhnya komunisme seakan memberi pembenaran bahwa kapitalisme adalah
jalan terbaik dalam mewujudkan kesejahteraan dunia. Implikasinya, negara negara
di dunia mulai menyediakan diri sebagai pasar yang bebas. Hal ini didukung pula
dengan perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi. Alhasil, sekat-sekat
antar negara pun mulai kabur.
Hal ini, tentunya akan membawa
pengaruh yang sangat signifikan terhadap orientasi dakwah. Untuk mendukung
hal tersebut kajian-kajian syariat perlu disejajarkan dengan kajian-kajian non
syariat yang merujuk kapada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena
perkembangan teknologi terutama perkembangan teknologi komunikasi tidak hanya
mempengaruhi satu bidang kehidupan masyarakat melainkan hampir
mempengaruhi seluruh bidang kehidupan. Oleh sebab itu, selain
memanfaatkan perkembangan teknologi itu sendiri dakwah juga diharapkan sebagai
penyeimbang terhadap akibat dari perkembangan teknologi itu sendiri. Keragaman
hidup duniawi, serbuan berbagai nilai yang bersifat hedonisme dan
konsumerisme dakwah dapat memberikan arahan dan bimbingan agar umat tidak
mengalami disorientasi dalam rumah peradaban dunia yang penuh dinamika.
Dengan demikian menurut pemakalah
perlu di adakan kajian kembali yang lebih komprehensif tentang makna
globalisasi, sejarah globalisasi, bentuk-bentuk globalisasi, serta sampai di
mana besarnya pengaruh globalisasi terhadap dunia Islam. Munculnya
era globalisasi ini merupakan tantangan dalam dunia dakwah, mau atau tidak semua
manusia akan mengalaminya. Nah, untuk mengarungi postmodernism ini, dibutuhkan
langkah-langkah yang konkrit dan sistematik untuk di jadikan sebagai acuan
hidup yang di harapkan mampu mengembalikan manusia kepada maksud dan tujuan ia
di ciptakan, dengan memanfaatkan kemajuan dunia globalisasi. Tentunya pasti
akan ada rintangan-rintangan serta hambatan yang harus di hadapi, karena tidak
semua kemajuan yang ada di era globalisasi ini di terima oleh ajaran Islam.
Maka untuk lebih spesifik, perlulah kiranya kita memahami tantangan-tantangan tersebut
yang akan di sajikan dalam bentuk globalisasi dan tantangan Dakwah.
Ø GLOBALISASI DAN TANTANGANNYA
TERHADAP DAKWAH ISLAMIYAH
Al-Aulamah (globalisasi) merupakan
istilah yang di perhalus dari penjajahan baru. Globalisasi dalam bentuknya yang
paling jelas dewasa ini mempunyai maksud westernisasi dunia atau dengan
ungkapan lain : Amerikanisasi dunia. Istilah yang sangat gencar di kampanyekan
ini merupakan keharusan pengawasan dalam bidang politik, ekonomi, kebudayaan
dan sosial yang di lakukan oleh Amerika terhadap dunia, khususnya dunia Islam.
Maka dalam bab ini akan di bahas tentang globalisasi poltik, globalisasi
ekonomi, globalisasi kebudayaan, globalisasi agama berikut
tantangan-tantangannya dalam dunia dakwah.
1. Globalisasi
Politik
Di
tinjau dari lingkungan nasional kondisi persatuan dan kesatuan bangsa dapat di
katakana mengalamai perubahan yang sangat signifikan. Globalisasi politik ini
dapat mengakibatkan ancaman dalam bentuk subversi asing yang ingin memaksakan
kehendak politknya yang bertentangan dengan ideologi setiap bangsa. Hal ini
akan memicu loyalitas masyarakat terhadap bangsa menjadi berkurang.
Tujuan dari pada globalisasi politik
ini sebenarnya ingin menjadikan dunia dalam satu kekuasaan yang akan di
kendalikan oleh Negara yang memiliki kekuatan super power, tentun saja dalam
hal ini adalah Amerika. Adanya kekuatan super power ini, semua
Negara-negara di paksa untuk ikut dalam semua peraturan yang di tentukannya.
Secara signifikan globalisasi sebenarnya telah melemahkan Negara. Kedaulatan
Negara menjadi kabur. Karenanya kapasitas Negara sebagai aktor utama dalam
hubungan internasional dan sebagai kekuatan domestik untuk mensejahterakan
rakyat semakin di pertanyakan. Di
tingkat internasional secara substansional Negara melemah
karena pergesaran pertanyaan dari : Apa itu Negara?, dan menjadi siapa itu
Negara?. Hal ini terutama di sebabkan oleh fakta bahwa Negara dalam politik
domestik dan internasional lebih banyak mewakili dan memperjuangak kepentingan
pemegang otoritas (keluarga, kelompok dan sebagainya yang secara kasat mata
termanifestasi di publik domestik dan dunia) dari pada kepentingan seluruh
warga Negara yang ada di wilayahnya yang menjadi sebab adanya negara tersebut.
Di samping itu pemerintah yang
memegang otoritas Negara sering kali takluk dengan kepada kepentingan bisnis
transnasional dan domestik serta tunduk kepada massa yang mengendalikan poltik
yang memiliki kapasitas untuk mobilisasi kekerasan dan kejahatan. Munculnya
kekuatan-kekuatan non-pemerintah yang memiliki jaringan mulai dari tingkat
lokal sampai tingkat global yang juga mempengaruhi kebijakan dan tata kelola
pemerintah mulai dari sub-nasional, nasional, regional sampai kepada global.
Organisasi-0rganisasi ini juga sering terlibat dalam diplomasi untuk
memperjuangkan kepentingan masyarakat dan kepentingan tertentu. Bahkan mereka
bergandengan tangan dengan aktor-aktor tertentu dalam kanca diplomasi
internasional. Karena itu pemisahan antara aktor Negara dan non-negara dalam
era globalisasi mengaburkan batas tertorial dan batas pengaruh suatu bangsa.
Perdebatan yang paling besar dalam
dunia politik adalah berkenaan dengan nasib Negara atau bangsa modern, beberpa
pertanyaan yang perlu di ajukan adalah :
1. Sebab-sebab politik apakah
yang mendorong arus massif capital, uang, dan teknologi melintasi batas-batas
territorial?
2. Apakah arus ini merupakan
tantangan yang serius terhadap keberdayaan nationstate?
3.Bagai manakah dampak munculnya
oraganisasi-organisasi intergovernmentalterhadap konsep kedaulatan
Negara dan bagai mana prospek global governance?
Dalam merumuskan jawaban di atas
menurut Subhihar dan Indra K, ada empat pendapat yang berbeda-beda.
Pertama, mereka
mengaggap bahwa globalisasi merupakan proses yang secara instrinsik berkaitan
dengan ekspansi pasar. Secara lebih khusus, kemajuan pesat dalam teknologi
komputer dan sistem komunikasi seperti jaringan lintas dunia di
pandang sebagai kekuatan utama yang bertanggungjawab atas terciptanya pasar
global. Menurut pandangan ini politik nyaris tanpa daya di hadapan truk besar
teknoekonomi yang tak terhalau yang akan melabrak upaya pemerintah
mengintroduksi kembali kebijakan dan aturan-aturan yang restriktif. Pembagian
wilayah tidak lagi relevan dengan masyarakat, Negara tidak lagi mampu
menderminasi arah kehidupan social dalam batas-batas wilayah mereka. Negara
dalam pendisplinan pasar global semakin kerdil kemampuannya dalam mengontrol
nilai tukar dan memproteksi mata uangnya.
Kedua, Menampik
anggapan bahwa perubahan ekonomi skala besar semata terjadi dalam masyarakat
sebagai sesuatu yang alamiah seperti misalnya gempa bumi. Melainkan mereka
menyoroti peran sentarl politik khususnya mobiltas kekuasaan politik dalam
menebarkan jaringan-jaringan diseminasi globalisasi. Jika bentuk globalisasi
ekonomi di tentukan oleh politik maka preferensi politik yang berbeda akan
menghasilkan kondisi sosial yang berbeda pula.
Ketiga, Glibalisasi
adalah sebagai akibat dari perpaduan antara faktor politik dan teknologi.
Pembiakan teknologi baru yang cepat dan tak dapat di elakkan merambah ke
seluruh penjuruh dunia yang membuat modernisasi masyarakat dunia yang di
bombing oleh teknologi menjadi sebuah takdir sejarah. Namun tidak ada Negara
yang memiliki kekuatan hegemoni yang mewujudkan pasar bebas sejagat. Dunia akan
runtuh tatkala keseimbangannya tidak lagi dapat di pertahankan. Karena itu,
perang perdagangan akan membuat kerjasama inteernasional akan lebih sulit.
Keempat, Ilmuwan
politik seperti Held dan Falk dalam tulisan-tulisan mereka mengartikulasikan
perlu adanya global governance sebagai konsekuensi logis proses globalisasi.
Keduanya menggambarkan bahwa globalisasi telah mengikis pemerintah nasional.
Held menawarkan munculnya bentuk demokrasi multi lapis yang bercita-cita pada
cosmopolitan barat, pengaturan hukum internasional dan jaringan luas yang
menghubungkan antara berbagai institusi kepemerintahan dan non kepemerintahan.
Tantangan yang paling berat di
lingkungan dakwah adalah karena seorang da’i harus berhadapan dengan aktor
utama yaitu pemerintah yang tidak menjalankan fungsinya untuk memenuhi
kepentigan masyarakat atau rakyatnya. Karena pemerintah yang membuat
undang-undang, kebijakan, perjanjian dengan Negara-negara lain atau
lembaga-lembaga internasional. Masuknya informasi-informasi dari luar tanpa
adanya penyaringan sehingga akan membahayakan martabat dan moral bangsa,
masyarakat tidak merasa lagi memiliki Negara karena ia milik global. Seruan
akan adanya kebebasan antara kaum pria dan wanita di kanca politk dunia makin
menunjukan pamornya. Undang-undang Internasional yang di sebut globalisasi itu
kembali memperlihatkan kekuatannya meiliter, hancurnya dunia Islam itu karena
gencarnya Negara-negara barat untuk mangatur peraturan global dunia sehingga
mereka dengan leluasanya menyerang dunia Islam kapan saja mereka mau bahkan
mereka juga mampu mambasmi gerakan-gerakan Islam yang berada di dunia Islam.
Ini menunjukan bahwa Islam sudah tidak memiliki nyali lagi di mata dunia.
Penangkapan para aktifis dakwah Islam kian berani di mana-mana dengan dalih
bahwa mereka adalah teroris, pada hal semua itu tidak memiliki bukti yang kuat,
bahka kalau di telusuri lebih konkrit ternyata merekalah yang berada di balik
kejahatan yang berada di dunia Islam selama ini.
2. Globalisasi
Ekonomi
Globalisasi ekonomi menimbulkan
masalah-masalah yang bersifat global pula. Masalah globalisasi dalam tatanan
ekonomi nasional Indonesia dapat dilihat dari dua sudut pandang: dampak
globalisasi terhadap kondisi internal dan dampak globalisasi terhadap kondisi
eksternal. Bentuk dampak pada kedua sisi ini pun dapat berupa dampak positif
dan dampak negatif.
Dalam hal dampaknya pada
kondisi internal, globalisasi dapat mengubah pola perilaku pelaku
ekonomi dalam proses produksi di satu pihak dan perubahan struktural ekonomi
serta kebijakan ekonomi pemerintah di lain pihak. Perubahan dalam proses
produksi antara lain dapat meliputi efisiensi dan intensifikasi penggunaan
faktor produksi, bertambahnya frekuensi perdagangan dan investasi pada
sektor-sektor yang dapat diperdagangkan (tradeable), serta berkembangnya
industri nasional yang kompetitif. Sedangkan perubahan struktural yang mungkin
terjadi dapat meliputi perubahan dalam sektor ekonomi dan orientasi sektor
tradisional kepada sektor ekonomi modern. Perkembangan ini membawa implikasi
pada perubahan kebijakan ekonomi mikro perusahaan, makro ekonomi, kebijakan
pasar, dan lain-lain.
Perubahan pada kondisi eksternal, dapat
meliputi perubahan dalam kebijakan perdagangan dan investasi internasional,
sistem moneter internasional, dan hubungan ekonomi internasional lainnya.
Perubahan-perubahan yang terjadi ini selanjutnya tidak lagi dapat
diidentifikasikan sebagai kegiatan nasional, melainkan sudah bersifat global.
Selain dampak globalisasi pada aspek ekonomi, globalisasi dapat pula
menimbulkan perubahan pada bidang non-ekonomi, seperti dalam sektor pendidikan,
kesehatan, kependudukan, dan lingkungan hidup.
Positif atau negatifnya
dampak yang ditimbulkan dengan adanya perubahan-perubahan itu sangat tergantung
pada kemampuan daya saing produk yang dihasilkan, kualitas sumber daya manusia,
kemampuan adaptasi, dan kebijakan pemerintah. Apabila faktor-faktor ini
dimiliki oleh suatu perekonomian, maka walaupun globalisasi dapat menghasilkan
berbagai perubahan perekonomian suatu negara, globalisasi justru dapat
memberikan keuntungan bagi perekonomian itu sendiri.
Dampak globalisasi ekonomi cenderung
akan menghasilkan kondisi eksternal negatif jika perekonomian kita tidak dapat
bersaing dan tetap ifisien. Adanya eksternalitas negatif ini merupakan akibat
dari ketidakmampuan pelaku ekonomi nasional dalam memperebutkan peluang pasar
dan mengoptimalkan pemanfaatan sumber-sumber perekonomian nasional. Hal ini
terutama karena kekuatan dan daya saing ekonomi nasional kita masih lemah.
Kurangnya daya saing ini terutama disebabkan karena kelemahan implementasi
kebijakan protektif pemerintah selama lebih dari tiga dekade. Seperti yang
banyak kita ketahui, industri kita – terutama manufaktur – banyak yang
memulai infant industry-nya di proses produksi hilir yang
diproteksi oleh kebijakan pemerintah – seperti perakitan mobil dan penguliran
pipa misalnya. Sayangnya implementasi kebijakan protektif tersebut tidak
dibarengi dengan suatu kondisi yang dapat ‘memaksa’ pelaku industri untuk
menginvestasikan hasil keuntungannya ke proses produksi hulu. Para pelaku
industri justru banyak yang menginvestasikan hasil keuntungan dari kebijakan
protektif tersebut ke jenis industri lain yang juga di proses produksi hilir.
Akibatnya sampai sekarang industri kita masih bergantung pada import
resources untuk input produksinya; baik itu humanware, technoware, infoware,orgaware,
maupun pendanaan. Industri kita hanya mampu membuat barang “made in
Indonesia” tetapi bukan “made by Indonesians” karena ‘ruh’
teknologinya belum dikuasai penuh.
Krisis multi dimensi yang masih
berlanjut hingga saat ini, walaupun intensitasnya berkurang, dapat memperparah
kerentanan ekonomi nasional. Proses pemulihan ekonomi kita relatif lamban
dibandingkan negara-negara Asia lain seperti Thailand, Malaysia, dan Korea
Selatan. Negara-negara ini secara umum telah pulih dari krisis yang dialaminya.
Oleh karena itu, dalam keadaan ekonomi nasional yang semakin terintegrasikan
dengan tatanan ekonomi dunia pada abad 21, kondisi yang diperlukan adalah
kemampuan menyesuaikan diri dengan setiap perkembangan yang terjadi, dalam
pengertian dapat memanfaatkan dengan baik peluang yang muncul dan menangkal
dampak negatifnya. Langkah penyesuaian ini harus dilakukan dalam bentuk
kebijaksanaan makro, sektoral, serta mikro yang adil dan merata. Selain itu
diperlukan juga penyusunan rumusan skenario kebijakan ekonomi nasional agar
eksternalitas negatif dari globalisasi dapat diminimalkan, bahkan mengubahnya
menjadi peluang-peluang (opportunities).
Maka globalisasi pada akhirnya akan menggilas
perekonomian nasional karena ketatnya persaingan dengan pelaku ekonomi dari
luar di hampir seluruh kegiatan ekonomi. Tergilasnya ekonomi dapat menimbulkan
krisis ekonomi babak kedua yang akan menyebabkan semakin besarnya tingkat
kemiskinan dan ketimpangan pendapatan masyarakat, tingginya tingkat
pengangguran, kompetisi yang tidak sehat antar pelaku ekonomi, dan memperparah
kerusakan lingkungan hidup.
3. Globalisasi
Kebudayaan
Para
budayawan melihat bahwa budaya pada awlannya suatu yang inedpenden bagi setiap
bangsa, namun sejak kemajuan budaya terutama dibidang teknologi komunikasi,
budaya tidak lagi bersifat independen, kini yang terjadi adalah munculnya
hegemoni budaya, yang melahirkan satu bangsa dengan multi budaya. Lajunya
kebudayaan material terutama dalam segi material seperti kebutuhan
hidup,teknologi, barang atau perlengkapan terlebih sejak ditemukannya mikro
prosesor pertama 1971 yang dibantu oleh penemuan PC pertama 1975 dan
internet 1993 pilarpilar budaya local semakin rapuh. Jauh sebelum itu
tahun 1920 angaya Jazz dengan rambut pendek kaum wanita saja sudah dapat
merambah dunia. Apalagi dengan adanya instrumen seperti internet tahun
1997 an dapat dibayangkan kecepatan asimilasi dan akulturasi semakin laju.
Dari sudut sosiol, seperti diungkap
terdahulu pengaruh industrialisasi telahmenggeser keluarga. Artinya nilai-nilai
keluarga terkubur dengan nilai factory dan pabrik, bagaimana jadinya jika
setiap anggota keluarga bebas menerima informasi tanpa batas, tentusaja format
keluarga menjadi berubah, panggilan, keharmonasian, dan kehawatiran juga akan
berubah. Di AS karena kehawatiran akan apa yang ditemui anaknya di luar
rumah para orang tua telah membudayakan home schooling, sekolah
dirumah-rumah sejak tahun 1999.
Selanjutnya, globalisasi dalam
bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya.
Dalam proses alami ini, setiap bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka
dengan perkembangan baru sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dan
menghindari kehancuran. Tetapi dalam proses ini, negara-negara Dunia
Ketiga harus memperkokoh dimensi budaya mereka dan memelihara struktur
nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya asing. Dalam rangka ini,
berbagai bangsa Dunia Ketiga haruslah mendapatkan informasi ilmiah yang
bermanfaat dan menambah pengalaman mereka.
Manusia harus berhadapan
dengan seni yang digunakan untuk menjajahmasyarakat dunia, padahal
inilah bermulanya segala masalah. Dalam hal ini, dapat di
ambil contoh yaitu industri perfilman Hollywood. Industri ini mengeluarkan
700 film dalam setahun dan mempunyai banyak sekali peminat di seluruh dunia
sehingga secara praktis, film telah berubah menjadi sarana penjajahan Amerika.
Namun, menurut doktor Bulkhari, masalah ini tidak bisa dilihat hanya dari sudut
seni saja. Dalam kasus ini, Barat atau khususnya AS, telah mengunakan seni
sebagai alat untuk menyebarkan imperialismenya di dunia. Dalam pandangan
peneliti Iran ini, Barat sesungguhnya telah berhasil dalam menciptakan karya
seni berkualitas tinggi, namun yang menjadi masalah adalah isi atau kandungan
yang disampaikannya.
Secara umum, dari berbagai tema yang
dibahas ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar para peneliti di
negara-negara Asia dan Islam sepakat bahwa bangsa-bangsa Dunia Ketiga haruslah
melepaskan diri dari sikap pasif dalam menghadapi globalisasi.
Mereka haruslah berupaya secara
aktif mengenalkan potensi-potensi yang tersembunyi di negara-negara Dunia Ketiga,
terutama negara-negara Islam, kepada bangsa dan budaya-budaya lain. Bahkan
arus globalisasi akan dengan mudah saja mendatangkan musibah kepada
seni kita, karena ia sama seperti badai taufan yang mungkin mencabut akar
budaya. Tetapi dari sudut pandang yang lain, globalisasi bisa memberikan
kesempatan istimewa untuk bangsa-bangsa yang kaya dengan budaya. Seni kita akan
tersebar ke luar batas negara dan memberikan pengaruh kepada dunia. Sejarah
menyaksikan bahwa pada berbagai era kegemilangan, seni dari Iran, India, dan
Italia berkembang sampai ke negara-negara yang jauh. Masalah inilah yang
mungkin terjadi hari ini. Karena itu, bangsa Asia yang percaya kepada kekuatan
akar budaya mereka tidak perlu takut pada pengaruh asing. Kita harus berusaha
untuk memahami bagaimana seni bisa menjadi tameng pertahanan budaya dan
tradisi.
4. Globalisasi
dan Tantangan Dakwah
Pada era globalisasi ini kita
menyaksikan terjadinya persaingan yang tidak seimbang antara apa yang
dikelompokkan sebagai Barat dan Timur, atau Utara dan Selatan. Dari segi
ilmu pengetahuan, teknologi dan pandangan hidup, dunia dibagi menjadi
Barat dan Timur. Barat untuk negara-negara yang maju ilmu pengetahuan dan
teknologinya serta punya pandangan hidup rasional dan sekuler, Timur
sebaliknya.
Sedangkan dari segi ekonomi, dunia
dibagi menjadi Utara dan Selatan. Utara untuk negara-negara yang maju
ekonominya, sedangkan Selatan untuk negara-negara berkembang dan
terbelakang. Letak geografis sama sekali tidak menjadi pertimbangan. Maroko
yang terletak di Barat dimasukkan dalam kelompok Timur, sementara Jepang yang
terletak di Timur dmasukkan dalam kelornpok Utara. Australia yang
terletak di Selatan dimasukkan kelompok Utara. Seluruh negara-negara
yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), termasuk
Indonesia, masuk dalam kelompok negara-negara Timur dan Selatan.
Dengan kemajuan teknologi komunikasi
yang demikian hebat, masing masinganggota masyarakat dunia dapat bekerja
sama, bersaing dan saling mempengaruhi dengan bebas. Sekat-sekat geografis
dan jarak yang berjauhan tidak lagi menjadi hambatan. Dari segi ekonomi,
setelah pasar bebas ASEAN (AFTA) kita juga menyaksikan pasar bebas Asia
Pasifik (APEC) dan terakhir pasar bebas Dunia (WTO). Tetapi karena
kekuatan modal, sumber daya manusia, manajemen, teknologi dan industri
dikuasai oleh negara-negara Utara. Akibatnya persaingan yang terjadi
persaingan yang tidak seimbang. Khusus Indonesia, jangankan untuk tingkat
dunia, tingkat ASEAN pun kita kesulitan untuk memenangi persaingan.
Begitu juga dari segi
budaya dan bermacam-macam ideologi, paham dan gaya hidup akan saling
mempengaruhi dengan cepat, mengubah dengan cepat pula tatanan masyarakat.
Sekali lagi, walaupun secara teoritis semua anggota masyarakat dunia saling
mempengaruhi, karena kekuatan yang tidak seimbang, yang akan menguasai dan
memaksakan pandangannya adalah negara-negara Barat.
Sebagai ilustrasi, kalau kita pergi
ke Eropa atau Amerika, sudah dapat dipastikankita tidak akan dapat menonton
acara-acara televisi dari Indonesia. Tetapi sebaliknya jikakita buka stasiun TV
Indonesia di mana pun, dengan mudah akan kita dapatkan acara-acara produk
Barat. Khusus untuk Indonesia, tidak hanya film-film Hollywood yang mudah
kita tonton, bahkan film-film Bollywood dan Amerika Latin pun tidak pernah
absen muncul di TV-TV kita! Sadar atau tidak, pengaruhnya sangat
besar dalam pertarungan budaya.
Pandangan dan gaya hidup yang
bertentangan dengan ajaran Islam akan mempengaruhi anak-anak kita, bahkan
mungkin juga orang dewasa. Sebagai akibat dan pertarungan budaya yang
tidak seimbang di atas, maka kita dapat menyaksikan terjadinya
perubahan-perubahan alam pikiran yang cenderung pragmatis, materialis, dan
hedonis, menumbuhkan budaya inderawi (kebudayaan duniawi yang sekuler)
dalam kehidupan modern abad ke-20 yang disertai dengan gaya hidup modern
memasuki era baru abad ke-21 atau abad ke-15 Hijriah sekarang ini.
Penetrasi budaya dan
multikulturalisme yang dibawa oleh globalisasi akan makin nyata
dalam kehidupan bangsa. Mau tidak mau, suka tidak suka, setiap negara
atau bangsa akan masuk dalam arus globalisasi. Yang tidak dapat berenang
akan tenggalam dalam pusaran arus yang sangat deras tersebut. Apalagi
negara-negara Barat atau Utara menghendaki globalisasi tentu saja bukan
tanpa kepentingan nasional masing-masing, baik ekonomi, budaya maupun
ideologi atau paling kurang pandangan hidup.
Dunia Islam yang semuanya tanpa
kecuali masuk Timur atau Selatan tentu saja tidak akan mampu menahan laju
globalisasi itu, apalagi menghentikannya. Karena itu, globalisasi sudah
merupakan realitas sejarah yang tidak dapat ditolak. Globalisasi adalah
konsekuensi logis dari kemajuan teknologi komunikasi.
Globalisasi sendiri sebenarnya
sejalan dengan ajaran Islam, ajaran atau agama yang diturunkan sebagai rahmat
alam semesta. Jika globalisasi digunakan untuk menduniakan nilai-nilai
moral islami, baik yang bersifat personal (personal morality)maupun
yang publik (public morality), maka kehidupan umat manusia di
dunia dapat berjalan dengan tertib, aman, damai dan sejahtera. Ringkasnya,
secara normatif globalisasi sebenarnya netral, tergantung siapa dan untuk
apa digunakan.
Dapatkah umat Islam memanfaatkan
globalisasi untuk kepentingan dakwah Islam? Mungkin banyak yang pesimis,
apalagi melihat betapa tidak berdayanya umat Islam menghadapi tekanan
negara-negara Barat atau Utara dalam berbagai aspek kehidupan. Invasi
Amerika Serikat (AS) dan sekutunya ke Irak adalah bukti betapa tidak
berdayanya umat Islam menghadapi kekuatan negara maju, utamanya AS sebagai
satu-satunya super power sekarang ini setelah Uni
Soviet runtuh. Pertanyaan yang relevan dan mendesak sekarang ini adalah
bukan “dapatkah umat Islam memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan
dakwah” tapi “dapatkah umat Islam bertahan menghadapi seranganGlobalisasi?.”
Apakah umat Islam akan tenggelam atau masih mampu menggapai-gapaiuntuk sekedar
tidak tenggelam atau memperlambat kehancurannya?.
Umat Islam memiliki potensi yang
apabila dikelola dengan baik dapat membantusetidaknya pertahanan diri,
syukur-syukur mempengaruhi pandangan dan gaya hidupmasyarakat dunia. Kita
memiliki: (1) jumlah penduduk Muslim yang besar (1,2
Milyaruntuk dunia Islam, dan sekitar 200 juta untuk Indonesia); (2) sumber
daya alam yangsangat menggiurkan negara-negara Barat; (3) pernah
mengalami sejarah masa lalu yanggemilang (Indonesia bagian dari imperium Islam
yang pernah menguasai sepertigadunia); dan (4) ajaran
Islam yang sejalan dan mendorong kemajuan dalam berbagai kehidupan serta
memberi pegangan moral yang kuat. Masalahnya, jumlah penduduk dunia Islam
baru besar dari segi kuantitas tapi lemah dari segi kualitas. Yang
berpendidikan tinggi relatif masih kecil; Indonesia misalnya, masih
di bawah 10 %.
Lemahnya kualitas sumber daya
manusia itu berakibat lemahnya penguasaan dan pengelolaan sumber daya
alam, belum lagi mental korup para penguasa dan pengelola kekayaan alam.
Selain itu berakibat tidak adanya persatuan umat Islam dunia dalam arti
yang sebenarnya.
Memang ada beberapa
organisasi dunia Islam, baik yang bersifat resmi antar-pemerintah (seperti
OKI) ataupun yang swasta (seperti Rabithah 'Alam Islami), tetapi belum
efektif disebabkan berbagai kepentingan atau ego para pemimpinnya. Belum
lagi pada dataran umat, banyaknya aliran teologi, mazhab fikih, organisasi
massa, dan partai politik terkadang bisa menyebabkan kekuatan umat menjadi
tidak ada berarti.
Umat Islam juga kerap tidak banyak
belajar dari sejarah. Buku-buku sejarah Islam dipenuhi oleh kisah-kisah suksesi
para penguasa, bukan kisah-kisah kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan.
Padahal tidak jarang suksesi itu terjadi secara berdarah, yang oleh sebagian
pengikut setia aliran atau kelompok tertentu luka lamanya itu dipelihara hingga
sekarang bahkan diwariskan turun-temurun.
Tentu saja penyebab semua masalah di
atas adalah semakin jauhnya umat Islamdari ajaran Islam. Padahal ajaran Islam
dalam sejarah sudah terbukti memberikan kekuatan yang luar biasa dengan kekomprehensifan,
keseimbangan, menghidupkan dan berpandangan jauh kedepannya. Bangsa Arab
sebagai contoh, tanpa Islam merekahanyalah suku-suku nomaden yang sama sekali
tidak diperhitungkan dunia. Tetapi dengan Islam mereka ke luar dari
jazirah Arabia mengalahkan dua imperium raksasa waktu itu (Romawi dan
Persia) hingga menguasai sepertiga dunia.
Mari kita lihat sekarang,
tatkala banyak negara Timur Tengah mengusung ideologi arabisme dan
sosialisme atau sekulerisme dengan meninggalkan Islam, mereka menjadi bulan-bulanan
Amerika dan sekutunya tanpa dapat berbuat apa-apa. Sejarah Turki juga
dapat menjadi pelajaran bagi kita, bahwa tanpa Islam, Turki hanyalah sebuah
negara berkembang yang banyak utang dengan laju inflasi yang sangat tinggi
pula.
Untuk memperbaiki
kesalahan-kesalahan di atas, dan mengatasi kelemahan-kelemahan yang dihadapi
dalam rangka menghadapi tantangan globalisasi, salah satu alternatifnya adalah
menguatkan dakwah Islam baik dari segi materi, pesan yang disampaikan maupun
dari segi motode yang digunakan.
Dakwah Islam tidak boleh
hanya menyentuh kulit-kulit ajaran Islam semata, tetapi juga masuk ke inti
dan esensi ajarannya. Karena ajaran Islam bersifat komprehensif, maka
dakwah Islam pun haruslah bersifat komprehensif. Pemahaman dan penerapan
Islam secara parsial menyebabkan kekuatan agama ini tidak kelihatan bahkan
tidak efektif. Untuk ini, metode dakwah harus diperbarui agar sesuai
dengan perkembangan zaman.
Kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi harus dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Dakwah tidak
hanya terbatas menggunakan media tradisional (mimbar) tapi juga
menggunakan multimedia. Begitu juga jaringan dakwah harus
diperkuat, kerja sama antar lembaga dakwah dunia harus ditingkatkan.
Perbedaan-perbedaan aliran, mazhab atau pendekatan dakwah harus
disikapi secara bijak. Lakukanlah kerja sama dalam hal-hal yang
disepakati, bertoleransilah dalam hal-hal yang berbeda pendapat!Selain itu
pendidikan tidak boleh diabaikan. Ini adalah aspek paling penting dalammeningkatkan
kualitas sumber daya manusia.
Umat Islam harus dapat memadukan
dua sumber ilmu yang dua-duanya berasal dan Allah: ilmu-ilmu kewahyuan dan
ilmu-ilmu kealaman. Khazanah Islam digali, kemajuan ilmu pengetahuan Barat
dimanfaatkan. Sistem pendidikan diperbarui dan disempurnakan.
Disamping problem di atas yang tak
kala pentingnya ialah peran media, sebagai suatu contoh ratio perbandingan
masyarakat yang membaca Koran ternyata lebih rendah daripada menonton
televise atau internet Di samping itu serbuan serbuan informasi dari
berbagai media massa ternyata melebihi kapasitas ingatan manusia sehingga
khalayak terbebani. Asumsi ini tidak berlebihan sebagaimana ditulis oleh
Neuman, bahwa setiap hari televisi memperlihatkan 3.600 image permenit,
radio rata menyiarkan kata-kata 100 kata permenit, dan internet menyajikan
rata-rata 150.000 perhari.
Pada saat televise mengangkat
realitas sosial dalam berbagai film (sinetron) dan telenovela maka
kekuatan televis dan kekuatan masyarakat terakumulasi ke dalam pengaruh
yang luar biasa terhadap media telvisi itu sendiri. Hal ini terlihat dengan
begitu besar kegemaran masyarakat terhadap media televisi serta
secara fungsional televisi telah terstuktur dalam masyarakat.
Konvergensi perusahaan media juga
melahirkan grup media yang dapat memanfaatkan penyebaran berita dalam membentuk
opini untuk disebarkan ke berbagai jenis media yang berbeda di bawah naungan
grupnya. Sebuah grup MNC di bidang media seperti CNN yang sering jadi rujukan
media masa dunia, atau MNC di Indonesia, misalnya, yang menaungi beberapa media
TV, radio, surat kabar, internet dll. Sehingga melalui media massa dapat
membentuk realitas kehidupan masyarakat sejalan dengan kapitalis neo
liberalism. Di era globaisasi saat ini media massa mempunyai peranan penting
dalam membentuk pola hidup masyarakat. Media massa berlomba-lomba menyuguhkan
acara atau pemberitaan tertentu yang dapat menarik minat khalayak, sesuai
dengan fungsi media massa sebagai media informasi, media pendidikan dan
hiburan. Bahkan dewasa ini media massa dikategorikan sebagai The Third Power
(kekuatan atau kekuasaan ke tiga) setelah money (uang) dan power (kekuasaan)
itu sendiri.
Dengan demikian para penguasa
ekonomi (baca konglomerat) dan penguasa negara berlomba-lomba untuk mendirikan
media atau membeli perusahaan media yang ada. Pencitraan (image) telah menjadi
mode bagi kalangan politisi dewasa ini, lihat dalam kampanye calon legislatif
dan calon presiden telah memanfaatkan media massa dalam kampanye mereka. Shirly
Biagy menyatakan bahwa dana kampanye banyak dihabiskan melalui media massa
terutama televisi.
Disengaja atau tidak arus informasi
internasional yang dikuasai oleh kecanggihan teknologi komunikasi kini
kelihatan didukung oleh konsep kebebasan informasi menurut pandangan barat
(filsafat liberalism).
Perkembangan teknologi komunikasi
juga mengakibatkan perubahan institusi seperti perubahan lembaga-lembaga
pendidikan, munculnya system pendidikan Jarak Jauh atau terbuka, e-learning,
distance and open learning dll. Dalam bidang ekonomi dan perdagangangan, dengan
munculnya e- Banking, e-comers, e-money, dan resesvasi tiket pesawat dan hotel
melalui internet. Dalam bidang dakwah sudah muncul cyber dakwah, dakwah on
line, situs I Love Islam, dan life style. Konsekuensi dari semua itu
media massa yang dulunya adalah lembaga social sekarang berkembang menjadi
institusi industri yang umumnya berorientasi kepada profit.
Media massa dengan kecanggihan
teknologinya saat ini lebih memudahkan proses penyebaran dakwah. Paul
Lazarsfeld dan Robert K Merton juga melihat media dapat menghaluskan paksaan
sehingga tampak sebagai bujukan.
Sejalan dengan itu harus dipahami
manfaat dan mudharat teknologi informasi dan komunikasi, serta secara sadar
memanfaatkannya untuk mencapai tujuan kita, bukan tujuan-tujuan mereka
(pembuat dan pencipta teknologi) . Artinya kita sebagai pengguna informasi baik
sebagai subjek atau pun objek jangan sampai terjebak dengan
kepentingan-kepentingan yang tersembunyi dabalik kecanggihan media tersebut.
Dengan demikian tantangan para
da’i untuk berdakwah semakin tinggi, disaat akses terhadap
pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi semakin terbuka akan
tetapi dilain pihak profesionalisme lembaga dakwah dan para da’i dituntut lebih
baik, serta tantangan yang paling berat adalah dikala memanfaatkan media yang
yang sudah menjadi industry yang profitable untuk tujuan dakwah, dibalik
pesan-pesan yang disampaikan. Sebab pemanfaatan teknologi informasi dan
komunikasi dewasa ini adalah suatu keniscayaan yang tidak mungkin diabaikan.
Disinilah titik perjuangan atau
jihad di bidang dakwah oleh para da’i atau lembaga dakwah, dimana kalau dulu
bangsa-bangsa berjuang menguasai wilayah atau berjuang untuk kemerdekaan
wilayahnya, sekarang orang mulai berjuang dibidang baru yaitu informasi
agar tidak dikendalikan oleh yang menguasai informasi.
Dalam rangka membebaskan umat dari
sifat-sifat kejahiliahan modern dengan pendekatan bil hikmah.
Menurut Enjang yang mengutib dari pandangan Sayid
Quthubbahwa dakwah dengan metode hikmah akan terwujud apabila
memperhatikan tiga faktor. Pertama, keadaan dan situasi orang-orang yang
didakwahi. Kedua, ada atau ukuran materi dakwah yang disampaikan agar mereka
tidak merasa keberatan dengan beban materi tersebut. Ketiga, metode penyampaian
materi dakwah dengan membuat variasi sedemikian rupa yang sesuai dengan kondisi
pada saat itu.
Pada akhir abad ke-20an di dunia
muslim lahir sebuah kesadaran untuk membangun paradigma baru yang
diharapkan dapat memberikan keseimbangan (sintesis) antara paradidigma Timur
dan Barat, dan sekaligus dapat menjadi paradigma alternative yang dapat
menyembatani perbedaan yang cukup controversial antara paradigma timur
yang disebut-sebut sebagai paradigma yang bersifat mistis,
religious, serta alamiah dengan paradigma Barat yang bersifat
positivistik, mekanistik, dan ilmiah. Di mana keduanya memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing.
Memahami paradigma dan komunikasi
manusia berarti memahami apa yang terjadi selama komunikasi berlangsung dan
akhirnya dapat diketahui apa yang dapat diperbuat untuk mempengaruhi dan memaksimalkan
hasil-hasil dari kejadian tersebut.
Merubah paradigma berpikir dan
budaya kerja adalah langkah strategis yang harus dimulai sekarang ini juga tanpa
menunda sedetik pun, yaitu agar berorientasi kepada sasaran khalayak dan
ummat dengan pendekatan “bil hikmah wal mauidzah al-hasanah” dan dengan
pemanfaatan media. Langkah strategis tersebut harus di imbangi dengan
sumber daya yang berkualitas yang akan menjadi juru dakwah behind the
media, behind the technology, behind the screen dan on the screen.
Tujuannya adalah menyadarkan kaum muslimin, mendidik jiwa mereka dan
membekalinya dengan ketakwaan yang cukup untuk memperlihatkan kepadanya
keharusan menyatukan barisan.
Seperti media internet yang
akhir-akhir ini perkembangannya sangat fenomenal memiliki pengaruh langsung
yang sangat kuat kepada pembacanya. Internet mampu menggerakkan prilaku massa
sesuai dengan arah yang dikehendakinya. Kenyataanya massa tidak memiliki daya
apa-apa, sehingga karena kehalustajamannya itu, Jalaluddian Rakhmat
melukiskannya, ibarat seorang pasien yang tidak berdaya apa-apa setelah
dimasuki sejenis serum melalui jarum kecil dalam tubuh.
Fenomena tersebut dapat kita amati
dengan terbentuknya keluarga-keluarga besar elektronik bersatu dalam
jaringan sosial dan dalam jaringan kerja yang lebih
besar.Jaringan-jaringan tersebut akan memberikan jasa pelayan sosial atau
bisnis yang diperlukan melalui asosiasi-asosiasi.
Jaringan sosial di dunia maya
tersebut sangat berpotensial untuk dimanfaatkan sebagai sarana dakwah.
Tentu saja kita tidak boleh melupakan dan mengabaikan tenaga-tenaga yang
akan mengisi aktifitas dakwah di mesjid-mesjid dan majelis taklim. Wallahu
a’lam bissawab.
Daftar Pustaka
1. Dr.
Yusuf al-Qaradhawi, Islam dan Globalisasi Dunia, Jakarta
Timur,2001
2. Prof.
A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi, Yogyakarta, 2003
3. Altaf
Gauhar, Tantangan Islam, Bandung 1982
4. Dr.
Badri Yatim, MA, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, 2008
5. Faizah
dan Lalu Muchsin Efendi, Psikologi dakwah, Jakara Kencana, 2009
7. Aep
Kusnawan, M.Ag, dkk, Dimensi Ilmu Dakwah, Widya Padjadjaran,
Bandung
2009.
8. Fathul
Wahid, e-Dakwah : Dakwah Melalui Internet, Gava Media,
Yogyakarta, 2004.
9. Joseph
Straubhaar, Robert La Rose, Media Now, Communications Media in the
Information Age, United States of America, Wadsworth Group.
10. Wawan
Kuswandi, Komunikasi Massa, Sebuah Analisis Media Televisi, Jakarta,
PT RinekaCipta, 1996.
11. Mufid,
Muhammad, Komunikasi dan Regulasi Penyiaran, Jakarta: Prenada
MediaGroup, 2007.
12. Yenne,
Bill, Seri Sekilas Mengetahui, 100 Peristiwa yang Berpengaruh Di Dalam
Sejarah Dunia.
13. Sutanta,
Edhy, Komunikasi Data & Jaringan Komputer, Yogyakarta:
Penerbit Graha Ilmu, 2005.
14. Sadiman,
Arief S, Dr. dan Drs. Zamris Habib, MSi, Penerapan Teknologi
Pendidikan memasuki Milenium III pada Sektor Pendidikan Sekolah dan
LuarSekolah, dalam Jurnal Teknodik, no. 8/IV/Teknodik/Mei/2000,
Pustekkom, Jakarta.
15. Russel,
W, Neuman, et. Al, Common Knowledge, News an the Communication of
Political Meaning, The University of Chicago Press, Chicago, 1992.
16. Burhan
Bungin, M. Konstruksi Sosial Media Massa, Kencana, Jakata,
2004, 48.
17. Biagy,
Shirly, Media Impact n Introduction to Mass Media, Wadswoth Publishing
Compny, Belmont, California, 1995.
18. Muis,
A. Komunikasi Islami, PT Remaja Karya, Bandung, 2001, hal 19.
19. Wiliam,
L. Rivers, dan W. Jensen, Jay, Media Massa dan Masyarakat Modern,Terjemahan,
Prenada Grup, Jakarta, 2008.
20. Sardar,
Ziauddin, Information and Muslim World : A Strategy for 21’st
Century, 1988/Tantangan Dunia Islam Abad 21, Mizan. Bandung, 1988.
21. Mulyana,
Dedy, Komunikasi Antar Budaya, Roda Jaya, Bandung 2005.
22. Ar-Rasyid,
Ahmad Muhammad, Khittah Dakwah, Robbani Press, Jakarta, 2005
Rakmat, Jalaluddin, Psikologi
Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung 1988.
23. Enjang
As, Dasar-dasar Ilmu Dakwah, Pendekatan Filosofis dan Praktis, Widya
Padjadjaran, Bandung, 2009,
24. Enjang
As, Dimensi Ilmu Dakwah, Widya Padjadjaran, Bandung, 2009.
0 Komentar untuk "GLOBALISASI DAN TANTANGAN DAKWAH"