HUBUNGAN FILSAFAT DAN REALITAS SOSIAL
Berfilsafat berarti bergulat dengan masalah-masalah dasar
manusia dan membantu manusia untuk memecahkannya. Kenyataan ini tentu membawa
filsafat pada pertanyaan-pertanyaan tentang tatanan masyarakat secara
keseluruhan yang nota bene adalah juga bidang politik. Dan di situ biasanya
filsafat muncul sebagai kritik.
Dalam
usaha kritisnya ini, filsafat menuntut agar segala klaim atas hak untuk menata
masyarakat dapat dipertanggungjawabkan dengan benar dan tidak membiarkan segala
macam kekuasaan menjadi mapan begitu saja.
1.
FILSAFAT SEBAGAI KEBIJAKSANAAN DAN ANALISA KRITIS
ATAS REALITAS SOSIAL Filsafat sebagai kebijaksanaan dan analisa kritis
terhadap realitas sosial mempunyai peran sebagai berikut:
- Filsafat
bertugas mendandani dan mengembalikan karakter manusiawi kehidupan yang
kerap dikotori oleh rupa-rupa manipulasi dari aneka pola pikir.
Pemanipulasian ini dikarenakan oleh adanya keinginan untuk mempertahankan
pola hidup yang dipandang sudah mapan.
- Filsafat
membela nilai-nilai manusiawi denga mengajukan cara-cara berpikir rasional
dan mendalam serta mengedepankan kemandirian dan tanggung jawab pribadi.
Dengan kata lain, ia tidak tunduk pada kebenaran-kebenaran umum.
- Filsafat
mencerahkan budi manusia, melawan setiap bentuk kekerasan, main hakim
sendiri dan kebrutalan. Sekaligus cerdik memaknai setiap perjalanan
manusia seraya menaruh perhatian hormat pada pluralitas kehidupan bersama.
- Filsafat
membawa kita kepada suatu pemahaman dan pemahaman itu membawa kita kepada
suatu tindakan yang lebih layak. Pemikiran kefilsafatan sering
menjadi pangkal terbaik untuk perbuatan yang positif.
2. Konsep dan Pengertian Ontologi
Secara Etimologi, Ontologi
berasal dari Bahasa Yunani, yaitu kata ta onta dan logia. Ta
onta berarti segala sesuatu yang ada dan logia berarti ajaran/ilmu
pengetahuan. Jadi, Ontologi berarti ajaran mengenai yang ada atau segala
sesuatu yang ada. Sedangkan Termilogi,
Ontologi adalah ilmu yang menceritakan apa hakikat dari pengetahuan dan dari
mana asal dan sumber pengetahuan tersebut. Berdasarkan Defenisi diatas,
Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari
realitas atau kenyataan konkret secara kritis.
Tokoh yang membuat istilah ontologi
adalah Christian Wolff (1679-1714). Ontologi atau dikenal juga dengan metafisika umum,
termasuk cabang ilmu filsafat yang membahas masalah hakikat segala sesuatu,
sehingga dengan demikain ilmu ini merupakan inti filsafat. Berfikir ontologism
ialah sikap manusia yang tidak lagi dalam kepungan kekuasaan mitis (mitos),
manusia merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya
sepeti dipentaskan dalam mitologi-mitologi yang dinamakan bangsa-bangsa
primitif, melainkan secara bebas ingin meneliti segala hal ihwal atau masalah
kehidupan yang dijumpai. Ia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai
dasar hakikat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai segala sesuatu
menurut rinciannya.
a.
Objek Kajian Ontologi
Ontologi merupakan salah satu cabang penting dalam Ilmu
Filsafat, dan objek material Filsafat adalah segala sesuatu yang ada, baik yang
ada dalam pikiran, ada dalam kenyataan maupun ada dalam kemungkinan. Dalam hal
itu berarti bahwa filsafat mempelajari apa saja yang menjadi isi alam semesta
mulai dari mineral (benda mati), benda hidup (vegetative, animalia
dan manusia), dan causa prima (sang pencipta).
b.
Beberapa Pandangan Filsuf Terhadap Objek
Persoalan dalam keberadaan (being = yang ada) menurut
Ali Mudhofir (1996) ada tiga pandangan, yang masing-masing menimbulkan aliran
yang berbeda. Tiga segi pandangan itu adalah sebagai berikut.
3. Keberadaan Dipandang dari Segi
Jumlah (Kuantitas)
Keberadaan dipandang dari segi jumlah
(kuantitas), artinya berapa banyak kenyataan yang paling dalam itu. Pandangan
ini melahirkan beberapa aliran filsafat sebagai jawabannya, yaitu:
Ø Monisme
Aliran yang menyatakan bahwa hanya satu kenyataan
fundamental. kenyataan tersebut dapat berupa jiwa, materi tuhan atau substansi
lainnya yang dapat diketahui. Tokohnya antara lain: Thales (625-545 SM), yang
berpendapat bahwa kenyataan yang terdalam adalah satu substansi, yaitu air.
Anaximander (610-547 SM), berkeyakinan bahwa yang merupakan kenyataan terdalam
adalah Aperion, yaitu sesuatu yang tanpa batas, tidak dapat ditentukan dan
tidak memiliki persamaan dengan salah satu benda yang ada dalam dunia.
Anaximenes (585-528 SM), berkeyakinan bahwa yang merupakan kenyataan yang
sedalam-dalamnya adalah udara. Filsuf modern yang termasuk penganut Minisme
adalah B. Spinoza, berpendapat bahwa hanya ada satu substansi, yaitu Tuhan.
Dalam hal ini Tuhan diidentikkan dengan alam (naturans naturata).[10]
Ø Dualisme
(Serba Dua)
Aliran yang menganggap adanya dua substansi yang
masing-masing berdiri sendiri. tokoh- tokoh yang termasuk alairan ini adalah
Plato (428-348 SM), yang membedakan dua dunia, yaitu dunia indra (dunia
baying-bayang) dan dunia ide (dunia yang terbuka bagi rasio manusia). Rene
Descartes (1596-1650 M), yang membedakan substansi pikiran dan substansi
keluasan. Leibniz (1646-1716), yang membedakan antara dunia yang sesungguhyna
dan dunia yang mungkin. Immanuel Kant (1724-1804), yang
membedakan antara dunia gejala (fenomena) dan dunia hakiki (noumena).
Ø Pluralisme
(Serba Banyak)
Aliran yang tidak mengakui adanya satu substansi dan dua
substansi melainkan banyak substansi. Para Filsuf yang termasuk Prulalisme di
antaranya Empedokles (490-430 SM), yang menyatakn bahwa hakikat kenyataan
terdiri dari empat unsure, yaitu udara, api, air dan tanah. Anaxagoras (500-428
SM), yang menyatakan bahwa hakikat kenyataan terdiri atas unsure-unsur yang
tidak terhitung banyaknya, sebanyak jumlah sifat benda dan semuanya dikuasai
oleh suatu tenaga yang dinamakan nous. Dikatakannya bahwa nous adalah
suatu zat yang paling halus yang memiliki sifat pandai bergerak dan mengatur.
c.
Keberadaan Dipandang dari Segi Sifat (Kualitas)
Keberadaan dipandang dari segi sifat (kualitas) menimbulkan
beberapa aliran sebagai berikut:
§ Spiritualisme
Ajaran yang mengatakan bahwa ajaran yang terdalam adalah roh
(Pneuma, Nous, Reason, Logos) yakni roh yang mendasari seluruh alam.
Spiritualisme seperti ini dilawankan dengan Materialisme.
§ Materialisme
Adalah pandangan yang menyatakan bahwa tidak ada yang nyata
kecuali materi. Materi adalah sesuatu yang dapat diraba, berbentuk, dan
menempati ruang. Hal-hal yang bersifat kerohanian seperti pikiran, jiwa,
keyakinan, rasa sedih, dan rasa senang tidak lain hanyalah ungkapan proses
kebendaan. Tokoh aliran ini antara lain Demokritos (460-370 SM), berkeyakinan
bahwa alam semesta tersusun atas atom-atom kecil yang memiliki bentuk dan
badan. Thomas Hobbes (1588-1679), berpendapat bahwa segala sesuatu yang terjadi
di dunia merupakan gerak dari materi. Termasuk juga pikiran, perasaan adalah
gerak materi belaka.[14]
d.
Keberadaan
Dipandang dari Segi Proses, Kejadian, atau Perubahan
Aliran yang
berusaha menjawab persoalan ini dalah sebagai berikut:
ü Mekanisme
Menyatakn bahwa semua
gejala dapat dijelaskan berdasarkan azas-azas mekanik (mesin). Semua peristiwa
adalah hasil dari materi yang bergerak dan dapat dijelaskan menurut kaidahnya.
Alam dianggap sebagai sebuah mesin yang keseluruhan fungsinya ditentukan secara
otomatis oleh bagian-bagiannya. Pandangan ini dianut oleh Galileo Galilei
(1564-1641).
ü Teleologi (serba-tujuan)
Berpendirian bahwa yang
berlaku dalam kejadian alam bukanlah kaidah sebab akibat, akan tetapi sejak
semula memang ada sesuatu kemauan atau kekuatan yang mengarahkan alam ke suatu
tujuan. Dan sebab akibat hanyalah bagi alam untuk mencapai tujuannya.
ü Vitalisme
Memandang bahwa kehidupan
tidak dapat sepenuhnya dijelaskan secara fisika-kimiawi, karena hakikatnya
berbeda dengan yang tidak hidup. Filsuf Vitalisme seperti Henry Bregson
(1859-1941), menyebutkan elan vital, dan ini merupakan sumber dari sebab kerja
dan perkembangan dalam alam..
0 Komentar untuk "HUBUNGAN FILSAFAT DAN REALITAS SOSIAL"