DESENTRALISASI POLITIK REGIONAL DAN PEMBANGUNAN DAERAH
DI INDONESIa
Tak terasa otonomi daerah di Indonesia sudah berjalan
lebih dari 11 tahun semenjak dilaksanakannya pada Januari 2001 lalu. Banyak
kalangan berpendapat bahwa dengan adanya desentralisasi, Indonesia mengalami
dari segi sosial, politik, dan ekonomi. Muriel Charras termasuk salah satunya.
Geograf wanita asal Prancis ini memberikan pandangan tentang perkembangan
pembentukan kembali daerah-daerah di luar Jawa sejak pasca jatuhnya Orde Baru.
Artikel yang ditulis Charras berjudul The Reshaping of The Indonesian Archipelago
After 50 Years of Regional Imbalance lebih banyak membahas tentang pembentukan
kabupaten-kabupaten baru di wilayah luar Jawa serta memberi gambaran dari
politik Orde Baru dan transformasi di era otonomi daerah dari perspektif
geografi dengan pengalaman lama Charras di Nusantara (Sulistiyanto dan Erb,
2005). Satu hal yang menarik dari tulisan Charras ini adalah bagaimana seorang
geograf memandang isu politik Indonesia dari sudut pandangnya sendiri. Tulisan
ini juga memaparkan dengan sangat jelas bagaimana sentralisasi di zaman Orde
Baru dapat merusak dan menghambat pembangunan daerah luar Jawa (Sulistiyanto
dan Erb, 2007). Dalam tulisannya, Charras memiliki visi yang mencakup
perenungan sendiri yang unik tentang bagaimana beberapa daerah yang menyesuaikan
diri kembali menjadi daerah yang dapat saling bekerja sama, bukan membagi dan bersaingsecaraetnosentrisnegatif.
Di samping hal positif dari desentralisasi seperti yang disebutkan di atas, penulis akan memaparkan penemuan serta pendapat lain tentang efek negatif dari desentralisasi. Dalam beberapa penelitian dan jurnal disebutkan bahwa banyak terjadi imperfection. Ada banyak ketidaksempurnaan dalam penyediaan layanan lokal yang dapat mencegah realisasi manfaat dari desentralisasi (Prud’homme (1995) and Tanzi (1996) dalam Fisman dan Gatti, 2000). Studi kasus dari Provinsi Sumatera Selatan juga akan disajikan sebagai bukti bahwa tidak selamanya desentralisasi membawa dampak yang baik terutama bagi masyarakat di daerah tersebut(Collins, 2007).
Di samping hal positif dari desentralisasi seperti yang disebutkan di atas, penulis akan memaparkan penemuan serta pendapat lain tentang efek negatif dari desentralisasi. Dalam beberapa penelitian dan jurnal disebutkan bahwa banyak terjadi imperfection. Ada banyak ketidaksempurnaan dalam penyediaan layanan lokal yang dapat mencegah realisasi manfaat dari desentralisasi (Prud’homme (1995) and Tanzi (1996) dalam Fisman dan Gatti, 2000). Studi kasus dari Provinsi Sumatera Selatan juga akan disajikan sebagai bukti bahwa tidak selamanya desentralisasi membawa dampak yang baik terutama bagi masyarakat di daerah tersebut(Collins, 2007).
Desentralisasi di indonesia dan sekelumit sejarah desentralisasi
bukanlah merupakan hal baru di Indonesia. Pemerintah kolonial Belanda
mempraktekkan kebijakan desentralisasi ‘terbatas’ pada 1903, 1905 and 1922 yang
bertujuan untuk mempersatukan baik elemen masyarakat modern dan tradisional
dalam mengatur hubungan centre-region di Indonesia (Legge 1961:5–6 dalam
Sulistiyanto dan Erb, 2005). Setelah masa penjajahan Belanda selesai dan
Belanda meninggalkan Indonesia, Pemerintah Jepang masuk dengan gaya
pemerintahan yang sentralsitik. Hal ini dikarenakan Jepang ingin berkonsentrasi
untuk mengeksploitasi sumber daya Indonesia dan memobilisasi pasukannya dalam
menghadapi pasukan sekutu (Sulistiyanto dan Erb, 2005). Tidak banyak perubahan
dalam hal politik regional yang terjadi pada masa pendudukan Jepang berakhir
sampai agresi Belanda di Indonesia. Pada awal kemerdekaan, terjadi perdebatan
sengit untuk menentukan bentuk negara Indonesia. Pilihannya ada dua, sistem
unitarian atau sistem federal. Sistem pertama didukung oleh Soekarno, Hatta,
serta pemimpin militer pada saat itu. Alasannya adalah karena Indonesia
merupakan negara kepulauan yang luas serta memiliki banyak keragaman budaya,
maka pemerintahan pusat yang kuat diperlukan untuk mengaturnya (Sulistiyanto
dan Erb, 2005). Sistem federal mulai dilupakan (lebih tepatnya tersingkir)
karena sistem ini merupakan buatan Belanda yang digunakan untuk memecah-belah
persatuan bangsa Indonesia (Feith 1962:58–9 dalam Sulistiyanto dan Erb, 2005).
Sampai di zaman Orde Baru dibawah kendali Soeharto, pemerintah mengeluarkan dua
undang-undang; UU no. 5/1974 tentang pemerintahan daerah dan UU no.5/1979
tentang pemerintahan desa. Kedua undang-undang itu pada dasarnya melarang hak
dari setiap wilayah untuk mengurus wialyahnya sendiri (Sulistiyanto dan Erb,
2005; Charras, 2005). Walaupun kondisi pemerintah pusat dalam kondisi stabil di
Jakarta, namun daerah seperti Riau, Kalimantan Timur, Aceh, dan Irian Jaya
(sekarang Papua) mulai mengeluhkan kewenangan pemerintah pusat yang berlebihan.
Sistem politik sentralistik yang dikendalikan oleh segelintir orang saja
menyebabkan sebagian orang di daerah menjadi frustasi dan marah karena mereka
tidak mampu mengambil keputusan sendiri disebabkan terlalu kuatnya kontrol dari
pemerintah pusat. Hal ini menyebabkan tensi tinggi antara pemerintah pusat dan
daerah (Sulistiyanto dan Erb, 2005). Pada awal masa reformasi setelah jatuhnya
Soeharto, desentralisasi menjadi isu utama yang dibahas oleh Presiden B.J.
Habibi saat itu. Akhirnya, muncullah dua undang-undang yaitu UU no.22/1999 dan
UU no. 25/1999 yang masing-masing mengatur tentang local governance dan
keseimbangan fiskal daerah. Kedua UU ini kemudian disahkan pada masa
pemerintahan Abdurrahman Wahid. Isu desentralisasi pada masa Megawati
Soekarnoputri tidak begitu menjadi perhatian utama karena Megawati memiliki
pandangan nasionalisme yang kuat terhadap NKRI sehingga permasalahan otonomi
daerah dianggapnya merupakan salah satu penguat hubungan antardaerah.
Sulistiyanto dan Erb (2005) berpendapat bahwa hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta antarpemerintah daerah lainnya harus mengorganisasikan dan meyusun kembali sifat hubungan, yang awalnya bersifat top-down (patron-client) menjadi lebih hubungan yang lebih bersifat take-and-give. Proses desentralisasi juga menimbulkan keprihatinan serius mengenai agenda neoliberal yang dianjurkan oleh koalisi domestik berbasis pro-reformasi kamp dan orang-orang dari negara-negara Barat dan multilateral lembaga-seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), Asian Development Bank dan Program Pembangunan PBB-yang dituangkan pendanaan dan bantuan teknis ke desentralisasi terkait program di Indonesia. Mereka memiliki kepentingan (interest) sendiri untuk mengejar kepentingan dalam memastikan desentralisasi yang dilanjutkan dan ‘on track’.
Sulistiyanto dan Erb (2005) berpendapat bahwa hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta antarpemerintah daerah lainnya harus mengorganisasikan dan meyusun kembali sifat hubungan, yang awalnya bersifat top-down (patron-client) menjadi lebih hubungan yang lebih bersifat take-and-give. Proses desentralisasi juga menimbulkan keprihatinan serius mengenai agenda neoliberal yang dianjurkan oleh koalisi domestik berbasis pro-reformasi kamp dan orang-orang dari negara-negara Barat dan multilateral lembaga-seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), Asian Development Bank dan Program Pembangunan PBB-yang dituangkan pendanaan dan bantuan teknis ke desentralisasi terkait program di Indonesia. Mereka memiliki kepentingan (interest) sendiri untuk mengejar kepentingan dalam memastikan desentralisasi yang dilanjutkan dan ‘on track’.
Ø
Politik Regional setelah
Kejatuhan Orde Baru dan Awal yang Baik untuk Desentralisasi
Setelah kewenangan
pemerintah pusat direduksi dengan munculnya UU no.22 dan
UUno.25 tahun 1999, pemerintah daerah
(kabupaten dan kota) dibawah bupati dan walikota menjadi “raja kecil” dimana
semua kebijakan dalam hal keuangan daerah sampai politik dapat diambil dengan
cepat tanpa ada intervensi serta birokrasi yang berbelit dengan pemerintah
pusat. Charras (2005) menunjukkan bahwa jumlah kabupaten di Indonesia pada
tahun 2003 mengalami peningkatan dibanding tahun 1996 dari sebelumnya hanya 233
kabupaten menjadi 306 kabupaten. Pembentukan kabupaten di luar Jawa lebih
banyak terjadi karena setiap kabupaten memiliki identitas yang berbeda antara
satu dengan yang lain. Alasan lainnya adalah daerah-daerah luar Jawa kehilangan
kesempatan untuk berkembang ketika Indonesia memiliki kekayaan untuk
melakukannya-selama booming minyak yang dimulai pada 1973 ketika pemerintah
memiliki sumber daya yang besar untuk melakukan investasi besar dalam
infrastruktur. Hal ini tentu saja tidak akan dapat terlakasana pada masa Orde
Baru sedang berkuasa. Sekarang, kabupaten merupakan bagian paling elementer
bagi organisasi territorial tanpa kontrol dari induknya di dalam suatu
pemerintahan. Kabupaten telah mengambil alih fungsi-fungsi manajemen utama:
pelaksanaan kegiatan ekonomi dan kebijakan, dan penjabaran dari kebijakan
sosial. Hal ini karena kabupaten dianggap paling mampu mencerminkan aspirasi
lokal dan mengubahnya menjadi realitas yang bisa diterapkan.
Di sisi lain, undang-undang otonomi daerah mendesentralisasi kekuasaan dari pemerintah pusat kepada tingkat kabupaten pemerintah telah membuka peluang bagi politisi dan pengusaha daerah yang ambisius untuk membangun jaringan baru kekuasaan dan mengambil pengendalian sumber daya lokal dan dana pemerintah (Collins, 2007). Di samping itu, pengamat pesismis bahwa akan ada ketidakstabilan politik yang terjadi di daerah dimana terdapat perbedaan cara pandang politisi di badan eksekutif dan legislatif. Penelitian dari Riker (1964) dalam Enikolopov dan Zhuravskaya (2007) menyebutkan bahwa kekuatan partai nasional sebagai determinan dari insentif politik bagi politisi daerah. UU otonomi daerah menyediakan dasar hukum yang legal untuk mengganti (shift) tugas politik pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dan pada saat yang sama dari birokrat ke politisi. Oleh karena itu, konsekuensi politik akibat desentralisasi memicu ketidakstabilan politik antara eksekutif dan legislatif. Contohnya adalah mundurnya bupati Semarang pada 2001 dan walikota Surabaya pada 2002 dari jabatannya akibat tekanan politik yang didapat dari DPRD (Pratikno, 2005). Tidak hanya hubungan antara eksekutif-legislatif saja yang perlu diperhatikan, hubungan antara gubernur dan bupati/ walikota juga mejadi perhatian serius saat ini. Contoh nyata adalah ketidakharmonisan antara Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo dengan Walikota Solo Joko Widodo tentang sengketa tanah bekas pabrik es di Solo. Padahal kedua elit politik tersebut berasal dari partai yang sama (PDI-P). Satu kekisruhan kecil ini menjadi bukti bahwa kepentingan politik menjadi kunci dari awal pesimisme keberhasilan desentralisasi. Hubungan patron-client menjadi bias karena “raja kecil” telah mendapat legitimasi dari rakyatnya sendiri.
Di sisi lain, undang-undang otonomi daerah mendesentralisasi kekuasaan dari pemerintah pusat kepada tingkat kabupaten pemerintah telah membuka peluang bagi politisi dan pengusaha daerah yang ambisius untuk membangun jaringan baru kekuasaan dan mengambil pengendalian sumber daya lokal dan dana pemerintah (Collins, 2007). Di samping itu, pengamat pesismis bahwa akan ada ketidakstabilan politik yang terjadi di daerah dimana terdapat perbedaan cara pandang politisi di badan eksekutif dan legislatif. Penelitian dari Riker (1964) dalam Enikolopov dan Zhuravskaya (2007) menyebutkan bahwa kekuatan partai nasional sebagai determinan dari insentif politik bagi politisi daerah. UU otonomi daerah menyediakan dasar hukum yang legal untuk mengganti (shift) tugas politik pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dan pada saat yang sama dari birokrat ke politisi. Oleh karena itu, konsekuensi politik akibat desentralisasi memicu ketidakstabilan politik antara eksekutif dan legislatif. Contohnya adalah mundurnya bupati Semarang pada 2001 dan walikota Surabaya pada 2002 dari jabatannya akibat tekanan politik yang didapat dari DPRD (Pratikno, 2005). Tidak hanya hubungan antara eksekutif-legislatif saja yang perlu diperhatikan, hubungan antara gubernur dan bupati/ walikota juga mejadi perhatian serius saat ini. Contoh nyata adalah ketidakharmonisan antara Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo dengan Walikota Solo Joko Widodo tentang sengketa tanah bekas pabrik es di Solo. Padahal kedua elit politik tersebut berasal dari partai yang sama (PDI-P). Satu kekisruhan kecil ini menjadi bukti bahwa kepentingan politik menjadi kunci dari awal pesimisme keberhasilan desentralisasi. Hubungan patron-client menjadi bias karena “raja kecil” telah mendapat legitimasi dari rakyatnya sendiri.
Ø
Desentralisasi, Korupsi, dan
Pembangunan Daerah
Pada tahun 1978 ekonom Richard
Robison menciptakan istilah “birokrasi kapitalisme “untuk sistem politik dan
ekonomi yang didirikan Orde Baru serta Hal Hill dan Andrew MacIntyre (1980)
menjelaskan bahwa Orde Baru sebagai “sistem patronase yang mengabadikan diri
dari atas ke bawah, menghadiahi mereka yang memiliki tempat di dalamnya dan
menghukum semua orang yang dikecualikan” (Collins, 2007). Banyak orang percaya
bahwa partai politik bertindak korupsi selama proses Pemilu 1999 (Pratikno,
2005). Struktur politik internal partai politik yang paling diatur secara
oligarki dengan kepemimpinan pribadi yang kuat di bagian atas. Struktur semacam
ini diterapkan baik pada tingkat nasional dan tingkat lokal, serta dalam
hubungan antara keduanya. Dalam kondisi seperti itu, hampir tidak mungkin untuk
mengharapkan pemerintahan yang demokrasi dan yang baik akan dihasilkan oleh
DPRD. Namun, tidak serta merta sistem tersebut hilang setelah dilaksanakannya
desentralisasi di Indonesia. Seperti yang dikemukakan oleh Hadiz (2005) bahwa
proses pemilihan bagi para pejabat lokal di banyak provinsi telah sering
dinodai oleh tuduhan politik uang dan premanisme politik karena elit lokal
memiliki hubungan yang kuat dengan perebutan Orde Baru untuk memposisikan baik
di lingkungan baru yang tidak kaku. Korupsi menyebar ke akar rumput
pemerintahan daerah. Di tahun 2011, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi
menyebutkan ada 155 bupati atau wali kota yang diperiksa atau masuk penjara
karena terkait kasus korupsi .
Desentralisasi memegang peranan penting dalam pembangunan daerah. Salah satu contoh perbaikan ekonomi pasca-Orde Baru serta awal mula dari desentralisasi dapat dilihat dari kepemimpinan Alex Noerdin di Kabupaten Musi Banyuasin (MuBa). MuBa merupakan salah satu kabupaten yang menjadi kontributor terbesar pemasukan pemerintah pusat sebesar US$ 82,7 juta di tahun 2001 (Collins, 2007). Singkatnya, Alex yang memiliki slogan “MuBa Sejahtera tahun 2006” diklaim dapat menurunkan angka kemiskinan menjadi 24% yang awalnya mencapai lebih dari 50% di tahun keduanya menjabat sebagai bupati. Namun, di sisi lain, terdapat kepentingan dibalik kekuasaan Alex di MuBa. Dia menyerahkan beberapa konsesi HPH kepada beberapa pengusaha, baik asing maupun domestik. Masyarakat pemilik sah lahan sebelumnya marah karena mereka diharuskan membayar pajak kepada pemerintah. Collins (2007) berpendapat Alex terus mengikuti para pembuat kebijakan Orde Baru dalam melihat pembangunan terutama sebagai soal investasi asing dan pemerintah-swasta dalam proyek-proyek perusahaan. Pemilihan langsung bupati dan gubernur sebagai cerminan dari desentralisasi politik lanjut dapat memberdayakan kelompok miskin dan marjinal. Tetapi supaya perubahan yang nyata terjadi, model pengembangan perusahaan yang memperlebar kesenjangan antara kaya dan miskin harus dipayakan lebih baik. Di samping itu, terdapat fakta menarik yang ditemukan dari sebuah survey dari IPCOS (2000) bahwa elit politik lokal sekarang sebagian besar terdiri dari pengusaha yang ‘dewasa’ di bawah Orde Baru (Hadiz, 2005).
Konsep money follows function yang diterapkan oleh pemerintah daerah terkait kewenangan dalam hal kebijakan fiskal daerah menimbulkan permasalahan baru. Kebijakan alokasi anggaran yang besar pada pengeluaran belanja pegawai yang rata-rata memakan porsi diatas 45% dari total APBD menyebabkan alokasi belanja modal mendapat porsi yang lebih sedikit. Padahal, belanja modal mampu memberikan kontribusi pertumbuhan daerah yang lebih signifikan daripada belanja pegawai. Tentu saja hal ini dapat dikaitkan dengan kebijakan bupati serta pejabat yang terkait dengan penerimaan PNS. Banyak pemerintah daerah yang melakukan penerimaan PNS walaupun daerah tersebut belum terlalu membutuhkan. Selain itu, kualitas PNS yang direkrut pun masih jauh dari baik. Pelayanan publik di beberapa instansi pemerintahan daerah masih saja belum memuaskan masyarakat. Kekurangan ini perlu dicermati karena sumber daya manusia yang paham akan fiskal daerah masih minim. Hal ini sejalan dengan argument Pratikno (2005) bahwa ketersediaan modal manusia yang mampu menghasilkan kebijakan berkualitas dan strategis bagi kepentingan publik merupakan sumber daya penting bagi otonomi lokal yang berhasil.
Dalam mendesain kebijakan desentralisasi, pemerintah daerah harus memperhatikan enam aspek penting, yaitu (1) karakteristik yang dimiliki daerah; (2) fungsi aktifitas dari kewenangan yang didesentralisasikan; (3) tingkatan dan/atau area dari kewenangan yang akan didesentralisasikan (4) kemampuan kelembagaan dan keuangan pemerintah daerah; (5) keterkaitan antara kebijakan desentralisasi dengan kebijakan-kebijakan lainnya; dan (6) perangkat hukum dan administratif yang diperlukan untuk mengatur pendelegasian wewenang, maupun dalam implementasi kewenangan itu sendiri (Hidayat, 2006). Dari semua yang dipaparkan Charras dalam tulisannya, pemberian kewenangan penuh kepada kepala daerah (dalam hal ini bupati/ walikota) untuk mengembangkan wilayahnya menjadi poin yang penting. Terdapat tiga aspek kewenangan yang terkait dengan desentralisasi yaitu politik, sosio-kultural, dan ekonomi. Namun, hal penting yang perlu diperhatikan adalah seberapa banyak peran pemerintah daerah dalam melakasanakan otonomi daerah menurut aturan yang sudah ditetapkan dan bagaimana prinsip otonomi daerah harus dilaksanakan merupakan indikasi dari tarik ulur antara kepentingan elit lokal dan pusat yang dapat membuktikan cukup kesimpulan untuk beberapa waktu (Hadiz, 2005). Desentralisasi juga tidak selalu berarti tidak dapat bekerja sama dengan wilayah atau negara lain. Namun, pemerintah pusat sebagai organ utama dari pemerintahan suatu negara seharusnya mengendalikan kebijakan-kebijakan terkait dengan kerja sama antarregional ini. Pemerintah pusat mengkoordinasikan keputusan-keputusan yang diambil oleh daerah supaya pembangunan ekonomi yang terarah dan berkesinambungan dapat dijalankan. Upaya pemerintah daerah untuk melakukan pemekaran mulai bermunculan akibar dampak dari kebijakan UU Otonomi Daerah. Terdapat lebih dari 70 proposal untuk memekarkan diri baik di tingkat provinsi sampai level kabupaten yang dikirimkan ke Kementerian Dalam Negeri sebelum tahun 2005. Kebanyakan dari mereka membenarkan permintaan mereka atas nama perbedaan etnis atau kategori ‘primordial’ lainnya yang mereka akui keanerakaragaman dari sisi geografis dan budaya yang dimiliki Indonesia bukanlah menjadi penghalang bagi bangsa ini untuk berkembang lebih jauh lagi. Otonomi daerah yang digalakkan lewat desentralisasi merupakan salah satu cara bagaimana negara ini mencoba untuk mencari cara menghilangkan penghalang tersebut. Jika dianalogikan seperti manusia, usia 11 tahun desentralisasi di Indonesia ibarat anak sekolah SD yang masih butuh waktu untuk mencari jati diri idealnya. Desentralisasi membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk mencapai posisi idealnya. Di Prancis dimana sistem administrasi sangat terpusat, proses desentralisasi yang dimulai pada akhir 1970-an dan negara ini masih beradaptasi proses otonomi langkah demi langkah. Sebagai penutup, desentralisasi tidak hanya tanggung jawab pemerintah semata, tetapi masyarakat perlu terlibat baik dalam pengambilan keputusan atau sebagai pengawal dari desentralisasi tersebut supaya tujuan utama desentralisasi tercapai dengan baik.
Desentralisasi memegang peranan penting dalam pembangunan daerah. Salah satu contoh perbaikan ekonomi pasca-Orde Baru serta awal mula dari desentralisasi dapat dilihat dari kepemimpinan Alex Noerdin di Kabupaten Musi Banyuasin (MuBa). MuBa merupakan salah satu kabupaten yang menjadi kontributor terbesar pemasukan pemerintah pusat sebesar US$ 82,7 juta di tahun 2001 (Collins, 2007). Singkatnya, Alex yang memiliki slogan “MuBa Sejahtera tahun 2006” diklaim dapat menurunkan angka kemiskinan menjadi 24% yang awalnya mencapai lebih dari 50% di tahun keduanya menjabat sebagai bupati. Namun, di sisi lain, terdapat kepentingan dibalik kekuasaan Alex di MuBa. Dia menyerahkan beberapa konsesi HPH kepada beberapa pengusaha, baik asing maupun domestik. Masyarakat pemilik sah lahan sebelumnya marah karena mereka diharuskan membayar pajak kepada pemerintah. Collins (2007) berpendapat Alex terus mengikuti para pembuat kebijakan Orde Baru dalam melihat pembangunan terutama sebagai soal investasi asing dan pemerintah-swasta dalam proyek-proyek perusahaan. Pemilihan langsung bupati dan gubernur sebagai cerminan dari desentralisasi politik lanjut dapat memberdayakan kelompok miskin dan marjinal. Tetapi supaya perubahan yang nyata terjadi, model pengembangan perusahaan yang memperlebar kesenjangan antara kaya dan miskin harus dipayakan lebih baik. Di samping itu, terdapat fakta menarik yang ditemukan dari sebuah survey dari IPCOS (2000) bahwa elit politik lokal sekarang sebagian besar terdiri dari pengusaha yang ‘dewasa’ di bawah Orde Baru (Hadiz, 2005).
Konsep money follows function yang diterapkan oleh pemerintah daerah terkait kewenangan dalam hal kebijakan fiskal daerah menimbulkan permasalahan baru. Kebijakan alokasi anggaran yang besar pada pengeluaran belanja pegawai yang rata-rata memakan porsi diatas 45% dari total APBD menyebabkan alokasi belanja modal mendapat porsi yang lebih sedikit. Padahal, belanja modal mampu memberikan kontribusi pertumbuhan daerah yang lebih signifikan daripada belanja pegawai. Tentu saja hal ini dapat dikaitkan dengan kebijakan bupati serta pejabat yang terkait dengan penerimaan PNS. Banyak pemerintah daerah yang melakukan penerimaan PNS walaupun daerah tersebut belum terlalu membutuhkan. Selain itu, kualitas PNS yang direkrut pun masih jauh dari baik. Pelayanan publik di beberapa instansi pemerintahan daerah masih saja belum memuaskan masyarakat. Kekurangan ini perlu dicermati karena sumber daya manusia yang paham akan fiskal daerah masih minim. Hal ini sejalan dengan argument Pratikno (2005) bahwa ketersediaan modal manusia yang mampu menghasilkan kebijakan berkualitas dan strategis bagi kepentingan publik merupakan sumber daya penting bagi otonomi lokal yang berhasil.
Dalam mendesain kebijakan desentralisasi, pemerintah daerah harus memperhatikan enam aspek penting, yaitu (1) karakteristik yang dimiliki daerah; (2) fungsi aktifitas dari kewenangan yang didesentralisasikan; (3) tingkatan dan/atau area dari kewenangan yang akan didesentralisasikan (4) kemampuan kelembagaan dan keuangan pemerintah daerah; (5) keterkaitan antara kebijakan desentralisasi dengan kebijakan-kebijakan lainnya; dan (6) perangkat hukum dan administratif yang diperlukan untuk mengatur pendelegasian wewenang, maupun dalam implementasi kewenangan itu sendiri (Hidayat, 2006). Dari semua yang dipaparkan Charras dalam tulisannya, pemberian kewenangan penuh kepada kepala daerah (dalam hal ini bupati/ walikota) untuk mengembangkan wilayahnya menjadi poin yang penting. Terdapat tiga aspek kewenangan yang terkait dengan desentralisasi yaitu politik, sosio-kultural, dan ekonomi. Namun, hal penting yang perlu diperhatikan adalah seberapa banyak peran pemerintah daerah dalam melakasanakan otonomi daerah menurut aturan yang sudah ditetapkan dan bagaimana prinsip otonomi daerah harus dilaksanakan merupakan indikasi dari tarik ulur antara kepentingan elit lokal dan pusat yang dapat membuktikan cukup kesimpulan untuk beberapa waktu (Hadiz, 2005). Desentralisasi juga tidak selalu berarti tidak dapat bekerja sama dengan wilayah atau negara lain. Namun, pemerintah pusat sebagai organ utama dari pemerintahan suatu negara seharusnya mengendalikan kebijakan-kebijakan terkait dengan kerja sama antarregional ini. Pemerintah pusat mengkoordinasikan keputusan-keputusan yang diambil oleh daerah supaya pembangunan ekonomi yang terarah dan berkesinambungan dapat dijalankan. Upaya pemerintah daerah untuk melakukan pemekaran mulai bermunculan akibar dampak dari kebijakan UU Otonomi Daerah. Terdapat lebih dari 70 proposal untuk memekarkan diri baik di tingkat provinsi sampai level kabupaten yang dikirimkan ke Kementerian Dalam Negeri sebelum tahun 2005. Kebanyakan dari mereka membenarkan permintaan mereka atas nama perbedaan etnis atau kategori ‘primordial’ lainnya yang mereka akui keanerakaragaman dari sisi geografis dan budaya yang dimiliki Indonesia bukanlah menjadi penghalang bagi bangsa ini untuk berkembang lebih jauh lagi. Otonomi daerah yang digalakkan lewat desentralisasi merupakan salah satu cara bagaimana negara ini mencoba untuk mencari cara menghilangkan penghalang tersebut. Jika dianalogikan seperti manusia, usia 11 tahun desentralisasi di Indonesia ibarat anak sekolah SD yang masih butuh waktu untuk mencari jati diri idealnya. Desentralisasi membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk mencapai posisi idealnya. Di Prancis dimana sistem administrasi sangat terpusat, proses desentralisasi yang dimulai pada akhir 1970-an dan negara ini masih beradaptasi proses otonomi langkah demi langkah. Sebagai penutup, desentralisasi tidak hanya tanggung jawab pemerintah semata, tetapi masyarakat perlu terlibat baik dalam pengambilan keputusan atau sebagai pengawal dari desentralisasi tersebut supaya tujuan utama desentralisasi tercapai dengan baik.
0 Komentar untuk "DESENTRALISASI POLITIK REGIONAL DAN PEMBANGUNAN DAERAH DI INDONESIA"