Pasca
perdamaian aceh pada tangal 15 agustus 2005 antara gerakan Aceh merdeka (GAM)
dan pemerintah Indonesia (RI) tentunya telah banyak meningalkan kisah lama
dalam konflik Aceh yang sudah berlalu. Proses perdamaian terus berjalan seiring
waktu, perdamaian yang sedang berjalan pada saat ini tentu tidak membuat kita
lupa tentang proses konflik yang terjadi begitu lama antara GAM dan RI, banyak
hal yang terjadi pada massa konflik di aceh dari kekerasan aparat keamanan
hingga penculikan yang sampai saat ini belum terungkapkan salah satunya
penculikan yang di lakukan oleh orang tidak dikenal (OTK) pada massa konflik Aceh terhadap tengku H.
Fakri Hakir atau yang lebih di kenal sebagai TENGKU AHMAD DEWI yang pada massa itu beliau sebagai pendakwah dan pendiri dayah
(pasantren) BTM yang berada di idi cut Kabupaten Aceh Timur sekaligus sebagai
ulama yang vokal tentang penegakan syariat islam di tanah serambi mekah.
pengungkapan kasus penculikan Ahmad Dewi menjadi hal penting pasca perdamaian
kerena penculikan yang dilakukan oleh orang tidak di kenal pada massa itu berbau
aroma politik, hal inilah yang membuat saya menjadi yakin dan ingin mengangkat
judul skripsi saya sebagai landasan utama bagaimana pola fikir tengku H.Fakri Hakir atau yang di kenal
sebagai tengku ahmad dewi sehingga
Tengku H.Fakri Harkir atau yang lebih di kenal sebagai
tengku Ahmad Dewi merupakan sosok ulama
yang lahir pada tanggal 19 januari 1951 di dusun bantayan gampong keude kecamatan Darul
Aman Aceh timur. Beliau pernah mengenyam Pendidikan formal yang sempat ditempuh
oleh Ahmad Dewi muda adalah Madrasah Ibtidaiyah Idi Cut. Kemudian ia
melanjutkan pendidikannya di Dayah, yaitu Madrasah Tarbiyah Islamiyah
(MTI) Geutoe Idi Cut pada tahun 1964.
Di dayah ini Ahmad Dewi diasuh di bawah bimbingan Abu Saleh (Pakcik Tgk. Ahmad
Dewi atau salah seorang anak Abu Meunasah Kumbang) yang juga menjadi guru di
Dayah MTI. Abu Saleh dikenal sebagai kader militan yang kerap berurusan dengan
aparat keamanan era Suharto. Ahmad Dewi juga sempat menuntut ilmu di sebuah
pesantren yang dipimpin oleh Tgk. H.Sofyan di Matang Kuli, sekitar tahun 1968
sampai 1970, setelah itu ia kembali ke Idi Cut. Saat itu dayah MTI tidak aktif
lagi sepeninggal Tgk. Muhammad Thaib (tahun 1968) dan kiblat pendidikan di Idi
Cut telah beralih ke Dayah Darussa’dah Idi Cut di bawah pimpinan Tgk. H.Abdul
Wahab. Pada masa ini Tgk. Ahmad Dewi juga sempat belajar pada Tgk. H. Abdul
Wahab Idi Cut sambil bekerja mencari nafkah. Faktor kesulitan ekonomi menuntut
Ahmad Dewi untuk bekerja sambil belajar diusianya yang masih belia (umurnya sekitar
19 tahun). Ia memanfaatkan potensi diri dan bakat oratornya dengan bekerja
sebagai pedagang obat kaki lima. Bagi Ahmad Dewi, berdagang obat juga media
berdakwah,maka ia berkeliling Aceh sambil berdagang obat dengan tetap
menjadikan dayah sebagai tempat domisilinya. Oleh karena itu, ia tetap menjadi
santri dayah Idi Cut (Darussa’dah) dan Matang Kuli sebab ia bolak-balik
melakukan perjalanan antara dua daerah ini.
Pada tahun 1973, pimpinan Dayah MUDI Mesjid Raya,
Samalanga berkunjung ke Matang Kuli. Kunjungan ini memang kerap dilakukan Tgk.
H. Abdul ‘Aziz (biasa disapa Abon Samalanga) karena Tgk. H. Sofyan (pimpinan dayah
Matang Kuli) merupakan salah seorang murid Abon Samalanga. Keberadaan Teungku
Ahmad Dewi muda menarik perhatian Abon setelah beliau tahu bahwa Ahmad Dewi
adalah cucu Abu Meunasah Kumbang, Sejak saat itu Teungku Ahmad Dewi pun nyantri
di Samalanga karena diajak oleh Abon untuk belajar di Dayah MUDI Mesjid Raya
Samalanga. Baru setahun belajar di Samalanga Teugku Ahmad Dewi telah menemukan
jati dirinya dan menentukan arah perjuangannya. Bakat orasi dan kapasitas
keilmuannya semakin terasah di bawah bimbingan Abon Samalanga. Masa-masa belajar
di Samalanga merupakan masa pembentukan karakter dirinya sebagai da’i kritis. Sambil
belajar, Teungku Ahmad Dewi kerap diundang memberi pengajian dan ceramah di meunasah-meunasah
Kecamatan Samalanga dan sekitarnya. Di sinilah popularitas Teungku Ahmad Dewi
sebagai da’i bermula. Masa berkarya Perawakan yang tinggi tegap, wajah yang
tampan dan bakat orasinya menarik perhatian masyarakat. Ditambah dengan gaya
penampilannya yang menarik, maka tidak heran jika dalam tempo singkat ia telah
dikenal sebagai da’i yang memukau. Di sisi lain, darah ulama yang mengalir di
tubuhnya dan latar belakang kependidikan di dayah terbesar Aceh MUDI Mesjid
Raya memberinya legitimasi dan garansi keilmuan sebagai ulama yang patut
menjadi rujukan bagi masyarakat. Ia diundang berdakwah ke seluruh daerah di
Aceh, dan dakwahnya selalu dipadati pengunjung yang massanya berjumlah puluhan
ribu. Ia menjelma menjadi publik figur yang
ceramahnya ditunggu-tunggu masyarakat.
Ketokohan sosok Teungku Ahmad Dewi menarik perhatian
berbagai pihak dengan berbagai kepentingan. Dan pada tahun 1977 dia di tuduh
oleh pihak aparat keamanan membuat pertemua khusus dengan hasan tiro di Jeunieb
dalam masa-masa gerilyanya di Aceh. Teungku Ahmad Dewi pun ditangkap aparat
keamanan dalam penggerebekan di Dayah MUDI, Mesjid Raya, Samalanga karena
diduga terlibat Aceh Merdeka (AM). Teungku Ahmad Dewi ditahan di Markas Laksus
Drien Meuduroe, Geulumpang Payong, Kabupaten Pidie. Selama dalam tahanan,
masyarakat tiada henti berkunjung menjenguk beliau sampa akhirnya dipindahkan
ke Banda Aceh (ditahan di daerah Lampineung) Setelah tiga bulan ditahan di
Banda Aceh, datanglah seorang ulama Aceh Besar (Abu Usman Fauzi) yang kala itu
aktif dalam partai politik Golkar (Golongan Karya). Setelah pertemuan itu, Abu
Usman Fauzi membuat pendekatan dengan pihak aparat keamanan agar status tahanan
Teungku Ahmad Dewi diringankan. Walhasil, Tgk. Ahmad Dewi menjadi tahanan rumah
yang ditempatkan di dayah Abu Usman Fauzi di Desa Lueng Ie. Setelah beberapa
lama di Lueng Ie barulah pihak keluarga tahu bahwa Teungku Ahmad Dewi masih
hidup, lalu menjenguknya ke Desa Lueng Ie. Pihak keluarga memohon agar
penahanan Teungku Ahmad Dewi dipindahkan ke Idi Cut. Kesepakatan berhasil
dicapai, pemindahan Teungku Ahmad Dewi disetujui dengan jaminan keluarga, dan
status wajib lapor ke polsek setempat seminggu sekali. Teungku Ahmad Dewi
pulang ke kampong halamannya pada pertengahan tahun 1979, tapi rumah
keluarganya telah tiada karena terbakar, tidak ada keterangan yang jelas
mengenai sebab musabab kebakaran ini. Maka Teungku Ahmad Dewi pun mendirikan
sebuah gubuk di pertapakan gosong rumah orang tuanya. Gubuk itu sebenarnya
peralihan fungsi dari tempat penyimpanan padi ( krong pade ) milik orang tuanya
Di gubuk itu Teungku Ahmad Dewi menerima satu dua santri yang datang berguru
padanya. Karena rumah itu merupakan tempat tahanan baginya, maka ia menamakan
rumah itu sebagai BTM (Balai Tahanan Militer). Ketika santrinya bertambah, ia berpikir
untuk mendirikan dayah, dan nama BTM pun ditabalkan sebagai nama dayahnya,
namun BTM kali ini berarti Bale Teumpat Meununtöt (Balai Tempat Menuntut ilmu).
Belakangan nama BTM menjadi trade mark Teungku Ahmad Dewi dalam setiap
dakwahnya. Singkatan BTM muncul sebagai wujud inspirasinya yang tidak pernah
kering, kadang konyol dan menyentil. Untuk murid-muridnya, BTM diberi
kepanjangan Balai Tempat Menuntut ilmu, namun saat berhadapan dengan tokoh-tokoh
parpol seperti Golkar BTM diberi
kepanjangan Beringin Tetap Menang.
Popularitas Teungku Ahmad Dewi sebagai da’i merupakan
daya tarik tersendiri sehingga murid-muridnya bertambah banyak, terutama dari
kalangan pemuda yang telah tersadarkan oleh dakwah beliau. Kehadiran para
pemuda yang umumnya memendam jiwa militan ini menginspirasi Teungku Ahmad Dewi
untuk mengorganisir mereka dalam satu barisan anti maksiat. Maka dibentuklah
satu wadah yang diberi nama KDA (Kesatuan Dafa’sail Aceh), suatu organisasi
yang bertujuan untuk melaksanakan dakwah amar makruf nahi munkar. Di sini nama
BTM menemukan kepanjangan lain, karena dalam KDA ini ada satu pasukan khusus
yang dinamakan Barisan Teuntra Mirah (BTM). Barisan ini memakai seragam merah,
dibekali ilmu bela diri, dan dilengkapi senjata pedang. Barisan Teuntra Mirah
bertugas menertibkan dan mencegah maksiat di sepanjang garis pantai Idi Cut
yang merupakan objek wisata masyarakat. Akibat dari aksi Barisan Teuntra Mirah,
Teungku Ahmad Dewi seringkali harus berhadapan dengan aparat keamanan. Menurut
keterangan seorang mantan Barisan Teuntra Mirah, masalah-masalah ini berhasil
diselesaikan oleh Teungku Ahmad Dewi dengan jalan dialog. Teungku Ahmad Dewi,
bersama BTM; Barisan Teuntra Mirah-nya. Pada tahun 1980, Teungku Ahmad Dewi
kembali ditangkap setelah berdakwah di Idi Rayeuk, lokasinya di depan pendopo.
Dalam dakwah yang disesaki puluhan ribu pengunjung
ini, ia dituduh subversif, dan ditahan di Langsa selama dua tahun tanpa putusan
pengadilan. Meskipun di penjara Tgk. Ahmad Dewi tetap berdakwah, hanya saja
sasaran dakwahnya kali ini menjadi lebih spesifik, yaitu para penghuni rutan
saja. Ia menggelar pengajian untuk mengajak narapidana bertobat kembali ke
jalan Allah. Di sisi lain, penahanan itu justru mendongkrak popularitasnya,
bahkan menjadi pemberitaan media nasional. Maka tidak heran jika setiap persidangan
beliau dipenuhi ratusan ribu massa yang ingin meyaksikan jalannya persidangan
sang dai. Bersamanya juga turut ditahan Teungku H. Azhar BTM (wakil pimpinan
dayah BTM). Setelah 1 tahun 8 bulan ditahan, Teungku Azhar disidang, lalu
dibebaskan. Sementara Teungku Ahmad Dewi baru di bebaskan setelah lima bulan
Tgk. Azhar menghirup udara kebebasan. Teungku Ahmad Dewi dijemput oleh
masyarakat Sungai Pauh Langsa, dipeusijuek dan diantarkan ke dayahnya, BTM Idi
Cut. Awal tahun 1983, beliau memimpin kembali dayah BTM. Dayah yang sempat sepi
semasa beliau ditahan, dengan drastis pelajarnya membludak sekembali beliau.
Dalam tahun 1984, santri di dayah ini telah mencapai 400 orang santri putra
putri. Pada tahun 1985 ia berdakwah tujuh hari tujuh malam dalam rangka
deklarasi pemerintahan syariat Islam di Aceh. Dakwah ini diselenggarakan dengan
mengundang para ulama dari berbagai penjuru Aceh untuk mencari solusi
penegakkan syariat Islam di Aceh. Di Tengah gencar tengku ahmad dewi
menyuarakan penegakan syariat islam dan mencari solusi tentang bagaimana mana
sepatutnya penegakan syariat islam yang sesuai dengan masyarakat aceh namun
pada tahun 1992 tepatnya pada tangal 4 maret
tengku ahmad dewi menerima sebuah surat dari abangnya agar ahmad dewi
menjenguk abangnya yang bernama tungku Muhsinullah yang di tahan di pos TNI di
tank batre desa Alue ie Mirah dan kepergiannya sampai sekarang tidak pernah
kembali lagi.
Ahmad dewi mungkin saja telah tiada namun kita yang
pernah merasakan atau mendengarkan perjuang belia untuk menegakan syariat islam
di aceh dan menentang berbagi proses kekerasan yang di lakukan oleh aparat
keamanan kepada mkasyarakat membuat kita bangga, karena sosok beliau sebagi
didikan dayah (pasantren) yang berani menyuarakan hak dan keinginan rakyat aceh
pada era orde baru yang kita tahu bahwa pada masa itu Indonesia di pipin oleh
dektator yang tak segan menghabisi setiap orang menentang pemikirannya. Namau setelah
ahmad dewi meninggal beliau juga meningalkan tiga orang anaknya yaitu
Fatahillah, Cut Fatimah Dewi dan abdul aziz.
0 Komentar untuk "Profil Tengku Ahmad Dewi"