Kekuatan Politik di Indonesia (Makalah)
Kekuasaan sebagai Asosiasi terhadap
Kekuatan Politik
Disusun oleh : sayed aznan
Ø
Latar
Belakang Permasalahan: Kekuasaan sebagai Asosiasi terhadap Kekuatan Politik
Sejak awal hingga perkembangan terakhir ada
sekurang-kurangnya lima pandangan mengenai politik; salahsatunya adalah politik
sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Maka
yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah; apa yang dimaksud dengan kekuasaan.
Secara umum, kekuasaan disepakati sebagai kemampuan mempengaruhi pihak lain
untuk berpikir dan bertindak sesuai kehendak yang mempengaruhi, dan dilihat
sebagai interaksi antara pihak yang mempengaruhi dan dipengaruhi. Kekuasaan dipandang
sebagai gejala yang selalu terdapat dalam proses politik, namun tidak ada
kesepakatan mengenai makna kekuasaan diantara para ilmuwan politik. Beberapa
menganjurkan untuk meninggalkan konsep kekuasaan karena bersifat kabur dan
berkonotasi emosional, namun politik tanpa kekuasaan bagaikan agama tanpa
moral. Dalam perbendaharaan ilmu politik terdapat sejumlah konsep yang
berkaitan dengan kekuasaan (power); seperti pengaruh (influence), persuasi
(persuasion), manipulasi (manipulation), peragaan ancaman kekuasaan (coercion),
penggunaan tekanan fisik (force), dan kewenangan (authority).
Dalam asosiasinya terhadap kekuatan politik, dapatlah
ditarik benang merah bahwa tidak mungkin ada kekuatan – dalam hal apapun, bukan
hanya politik – tanpa adanya kekuasaan. Maka dalam pembahasan mengenai kekuatan
politik, pertama-tama kita perlu sedikit menguraikan konsep kekuasaan. Begitu
banyak pembahasan mengenai kekuasaan politik, namun tiga masalah utama yang
selalu diamati oleh ilmuwan politik berkenaan hal ini adalah bagaimana
kekuasaan dilaksanakan, bagaimana kekuasaan didistribusikan, dan mengapa suatu
pihak tertentu memiliki kekuasaan lebih besar dari yang lain dalam situasi dan
kondisi tertentu. Indonesia, dalam 61 tahun pasca kemerdekaan, telah mengenal
kekuatan politik dalam berbagai bentuk, baik formal maupun anomie, yang telah
menempati berbagai posisi kekuasaan seiring waktu yang berjalan, dari mulai
Revolusi Kemerdekaan sampai periode Reformasi, yang kesemuanya layak dibahas
demi mencapai sebuah tujuan bernama pemahaman, karena pemahaman adalah titik
awal untuk dapat mengevaluasi suatu objek pengetahuan.
Ø
Kekuatan
Politik Indonesia: Masa Revolusi Kemerdekaan
Para penyelenggara negara pada awal periode kemerdekaan
memiliki komitmen yang sangat besar terhadap mewujudkan demokrasi politik di
Indonesia. Terdapat beberapa hal fundamental yang menjadi peletakan dasar
demokrasi di Indonesia, sekaligus dapat dikatakan sebagai kekuatan-kekuatan
politik di awal terbentuknya NKRI.
·
Pertama
adalah political franchise yang menyeluruh, sejak kemerdekaan telah dinyatakan
dari pemerintah kolonial Belanda, semua warga negara yang telah dianggap dewasa
memiliki hal-hak politik yang sama tanpa diskriminasi berdasarkan ras, agama,
suku, dan kedaerahan. Meskipun tidak berwujud konkrit, hal ini merupakan suatu
kekuatan politik di awal kemerdekaan Indonesia yang bertujuan mendukung
kehidupan berpolitik yang kondusif.
·
Kedua
adalah Lembaga Kepresidenan, yang pada awal terbentuknya dapat dikatakan
bersifat mutlak dan berpeluang menjadi suatu kediktatoran, sebelum Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) kemudian dibentuk untuk menggantikan parlemen,
dan meninggalkan Presiden sebagai personifikasi kekuasaan.
·
Ketiga,
adalah Maklumat Wakil Presiden nomor X (baca: eks) yang dikeluarkan pada 16
Oktober 1945 atas usul KNIP yang menyatakan bahwa KNIP diserahi kekuasaan
legislatif sebelum terbentuknya MPR dan DPR, yang kemudian berkelanjutan hingga
membentuk sistem pemerintahan parlementer. Seperti halnya poin pertama,
Maklumat yang tidak bersifat konkrit sebagaimana halnya Lembaga Kepresidenan,
tetap menjadi kekuatan politik yang berpengaruh, dalam hal ini adalah
mengendalikan kekuatan politik lainnya (baca: Presiden) dari kemungkinan
kediktatoran.
Ø
Kekuatan
Politik Indonesia: Masa Pemerintahan Parlementer dan Demokrasi Terpimpin
Pada masa pemerintahan parlementer (1950-1959) yang
berlangsung dengan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS), dapat dikatakan
sebagai simbolisasi kejayaan demokrasi di Indonesia. Maka dari itu, kita tidak
bisa tidak menyebutkan parlemen sebagai salahsatu kekuatan politik di
Indonesia, yang pada masa itu tengah jaya-jayanya. Kejayaan parlemen pada masa
pemerintahan parlemen didukung oleh sejumlah kekuatan politik; seperti
kekuasaan parlemen terhadap kabinet lewat sejumlah mosi tidak percaya yang
mengakhiri kabinet, akuntabilitas pemegang jabatan dan politisi yang sangat
tinggi karena lembaga perwakilan rakyat (parlemen) berfungsi dengan baik,
adanya pers sebagai instrumen politik sekaligus alat kontrol sosial, dan
masyarakat umum yang dapat merasakan bahwa hak-hak dasar mereka tidak dikurangi
sama sekali dengan adanya berbagai kebebasan termasuk kebebasan berpendapat
tanpa rasa khawatir akan resiko keselamatan diri. Namun dominasi politik aliran
yang membawa konsekuensi pengelolaan konflik, basis sosial-ekonomi yang masih
sangat lemah, dan adanya persamaan kepentingan antara Presiden Soekarno dan
kalangan Angkatan Darat yang sama-sama tidak senang dengan proses politik yang
tengah berjalan saat itu, mengakibatkan berakhirnya masa pemerintahan
parlementer, dan digantikan oleh Demokrasi Terpimpin.
Demokrasi Terpimpin dimulai pada 5
Juli 1959 setelah Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya adalah
pembubaran Konstituante dan pemberlakuan kembali UUD 1945, dan memberi
kesempatan pada Kepala Negara untuk mewujudkan gagasan politiknya dan memainkan
peranan publik yang selama masa pemerintahan parlementer tidak dapat
dilakukannya berkaitan dengan posisinya yang hanya menjadi simbolisasi
kekuasaan. Di samping itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sebelumnya hanya
berperan sebagai kekuatan politik oposisi, kemudian masuk dalam kekuasaan
eksekutif dan menjadi salah satu aliansi yang sangat diperlukan oleh Soekarno.
Di lain pihak, Angkatan Darat juga muncul sebagai kekuatan politik yang sangat
kuat karena didukung oleh keadaan, karena sejak awal AD telah mengamati bahwa
PKI merupakan ancaman yang membahayakan NKRI. Politik pada masa Demokrasi
Terpimpin diwarnai oleh tarik-ulur yang sangat kuat antara tiga kekuatan
politik yang utama pada saat itu; yaitu Presiden Soekarno, Partai Komunis
Indonesia, dan Angkatan Darat.
Ø
Kekuatan
Politik di Indonesia: Masa Orde Baru
Dalam model Modern Personal Rule yang diajukan William
Liddle (1985) mengenai Indonesia Orde Baru, tampak bahwa kekuatan politik di
Indonesia pada masa Orde Baru terbagi atas tiga jajaran utama: Presiden dengan
segala atributnya, Angkatan Bersenjata, dan Birokrasi. Dalam analogi piramida
kekuatan politik, Lembaga Kepresidenan atau Presidency di Indonesia menempati
puncak kekuasaan secara keseluruhan, menjadi primus inter pares – yang utama diantara
yang setara – diantara lembaga tinggi negara yang lain seperti DPR, DPA, MA,
dan BPK, sebagai konsekuensi kemampuan Presiden dalam mengontrol dan
menggunakan political resources. Presiden mengontrol rekruitmen politik dalam
negara, termasuk untuk jabatan lembaga tinggi negara, anggota badan legislatif
serta judikatif, dan di kalangan Angkatan Bersenjata berkaitan dengan posisinya
sebagai Panglima Tertinggi ABRI. Selain itu, Presiden juga memiliki sejumlah
financial resources yang didalamnya mengatur proses perumusan budgeting dan
pendistribusian dana pembangunan nasional. Oleh karenanya, tidak heran jika
proses politik, berjalan dengan sedikit banyak ditentukan oleh persepsi dan
orientasi Lembaga Kepresidenan.
Dalam perjalanan politik Orde Baru, lembaga kepresidenan
menjadi pusat seluruh proses politik yang berjalan di Indonesia, sebagai
pembentuk dan penentu agenda sosial, ekonomi, dan politik nasional, dengan
kekuasaan yang sedemikian besar dala rekrutmen opilitik dan sumber daya
keuangan yang tidak terbatas, dan sejumlah hak khusus yang dimiliki Presiden
seperti Mandataris MPR, Pemegang Supersemar, Bapak Pembangunan, dan Panglima
Tertinggi ABRI.
Pada jajaran kedua adalah Angkatan Bersenjata – terutama
Angkatan Darat – yang berperan penting terutama sebagai stabilisator dan
dinamisator politik. Namun, prevalensi ABRI dapat juga ditemukan dalam berbagai
bidang lain, seperti ekonomi, sosial-kemasyarakatan, termasuk olahraga dan
kesenian. Dalam bidang politik, ABRI memainkan politik baik secara langsung
maupun tdak, melalui organisasi sosial politik misalnya Golongan Karya. Peranan
politik ABRI Orde Baru adalah sebagai pembentuk suasana yang baik, agar semua
kebijaksanaan pemerintah dapat diwujudkan atau diimplementasikan dengan baik. Sebagai
kekuatan politik yang berfungsi untuk merealisir Demokrasi Pancasila, ABRI
perlu memenuhi persyaratan pokok yaitu penerimaan dan kepercayaan masyarakat.
Sementara itu, masalah utama yang berkenaan dengan penerimaan (legitimasi)
masyarakat adalah bagaimana prosedur pengakuan itu berlangsung dalam proses
kehidupan politik. Yang terakhir namun tidak kalah pentingnya adalah birokrasi.
Diungkapkan oleh William Liddle (1988), bahwa birokrasi Indonesia memiliki
karakteristik khusus yaitu citra diri (self image) yang benevolence, sehingga
birokrasi terdoktrinasi oleh persepsi diri sebagai pelindung, pengayom,
pemurah, baik hati terhadap rakyatnya. Sementara itu, rakyat dianggap tidak
tahu apa-apa alias bodoh, dan oleh karena itu, birokrasi berperan untuk
“mendidik” masyarakat. Karena birokrasi adalah benevolence, maka sudah
seharusnya bagi rakyat untuk patuh, taat, dan setia terhadap pemerintahnya.
Pola hubungan benevolence-obedience ini menjadi dominan dalam mewarnai
interaksi antara pemerintah dan masyarakat di Indonesia. Sementara itu,
perjalanan politik Indonesia juga menunjukkan kecenderungan kuat bahwa
birokrasi sebagai instrumen politik suatu rezim tampak jelas sejak masa
kolonial. Sedangkan pada masa pasca-kemerdekaan, birokrasi mengalami proses
politisasi sekaligus fragmentasi. Sekalipun jumlahnya tidak terlalu besar,
aparat pemerintah bukanlah suatu organisasi uang menyatu karena telah
terbagi-bagi dalam partai politik yang bersaing dengan sangat intesnif guna
memperoleh dukungan. Hal itu tentu saja sangatlah tidak sehat karena peranan
ideologi masing-masing partai meningkatkan proses fragmentasi yang sangat
tinggi. Arah gerak birokrasi pun masih mengalami polarisasi yang sangat tajam
dengan mengikuti arus polarisasi politik masyarakat, sementara partai-partai
politik memiliki peranan politik yang sangat terbatas yang mengakibatkan
politisasi birokrasi tidak mengalami intensitas yang tinggi dibanding masa
sebelumnya. Akan tetapi, secara keseluruhan kekuatan-kekuatan politik di masa
Orde Baru dapat pula dikategorikan kedalam tiga golongan seperti yang
dijelaskan dibawah ini:
Golongan radikal, yang menghendaki supaya kesempatan tidak
diberikan kepada mereka yang berkolaborasi dengan Orde Lama. Pemuka-pemuka
kelompok ini terutama dari kalangan yang condong ke Barat dalam mengambil
contoh untuk mengatur kehidupan politik dan ekonomi Indonesia, misalnya para
pemuka partai yang dilarang oleh rezim Orde Lama – seperti Masyumi dan PSI –
terhadap pembersihan Orde Baru dari pengaruh Orde Lama, yang intinya adalah
penjauhan Orde Baru dari segala usaha yang telah dicoba oleh Soekarno. Sementara
golongan konservatif, yang lebih diwarnai oleh politik sipil, juga menghendaki
pembersihan sisa-sisa rezim Orde Lama, namun menghendaki peranan besar dalam
politik Indonesia. Maka golongan moderat muncul dengan jalan tengah; melalui
tradisi cara penyelesaian khas Indonesia, maka setahap demi setahap Soeharto
memperkecil peranan politik Soekarno sampai munculnya Tap MPRS bulan Maret 1967
yang mengakhiri peranan Soekarno dalam kehidupan politik Indonesia.
Ø
Kekuatan
Politik di Indonesia: Pasca Orde Baru
Pasca Orde Baru, politik di Indonesia mendapati adanya tiga
kekuatan raksasa yang, dengan posisi dan porsinya masing-masing, berperan
penting dalam kehidupan politik di Indonesia. Yang pertama adalah Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Sejak lama ABRI merupakan kekuatan
politik yang paling kuat karena dwifungsinya berhasil meneruskan karisma TNI
sebagai pejuang kemerdekaan RI dan telah disinambungkan oleh Bung Karno dan
Presiden Soeharto dan terpaksa dilanjutkan oleh Presiden Habibie. ABRI ini
mempunyai kekuatan yang paling dahsyat karena historinya, karena sudah
merupakan establishment yang tidak bisa digoyang-goyang, dan karena organisasi
dan disiplinnya yang canggih. Tidak ada kekuatan politik lain yang mempunyai
kinerja a la ABRI yang modern. Di atas kesemuanya itu di Indonesia ini hanya
ABRI mempunyai sistem kerjasama internasional baik dengan Israel secara
tertutup dan dengan DIA (Defense Intelligence Agency) Pentagon secara terbuka, untuk
tidak menyinggung CIA yang terlalu sensitif.
Kekuatan kedua adalah Muslim. Dalam hal ini kita memerlukan
sedikit pendalaman mengingat pluralisme Islam di Indonesia. Namun secara umum,
masyarakat muslim Indonesia mengenal Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. NU
adalah gerakan ulama-ulama Islam di Indonesia yang dipelopori KH. Wahid Hasyim
Asyari. Melalui lembaga pendidikan pondok pesantren, NU berhasil menanamkan
semangat dan watak anti kolonialisme dengan berpegang pada ajaran Islam,
memelihara semangat ahlussunah wal jamaah, dan menggalang persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia khususnya umat Islam. Dalam perjalanan sejarah,
tampak jelas keikutsertaan NU dalam kancah politik formal. Sejak didirikan pada
1926, NU tampil sebagai organisasi sosial keagamaan, bahkan pada pemilu pertama
tahun 1955, NU termasuk empat besar parpol pemenang pemilu. Karena kekuatan
kharismatis kyai dalam organisasi ini sangatlah besar sehingga menjadi ketaatan
yang sulit ditolak – istilahnya “kami dengar dan kami taat” – komando dikuasai
oleh pimpinan organisasi. Pasca Orde Baru, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
menjadi pengejawantahan partisipasi NU dalam kancah politik Indonesia.
Sementara itu, Muhammadiyah yang didirikan KH. Ahmad Dahlan
pada 1912 telah menjadi organisasi keagamaan yang memberi saham secara nasional
– terutama karena ikut mendewasakan kemerdekaan dan membangun bangsa Indonesia.
Peranannya dalam gerakan nasional sangat strategis mengingat pendidikan yang
diembannya memangun masyarakat dalam kultur, peradaban, dan akidah, kendati
ketiganya merupakan hal monumental untuk dimodernisasikan. Muhammadiyah turut
pula berperan dibalik eksistensi Partai Amanat Nasional (PAN) yang dimotori
Amien Rais. Sebagai “gerakan lama”, NU dan Muhammadiyah telah memiliki tempat
tersendiri dalam masyarakat Indonesia. Namun demikian, reformasi di segala
bidang turut mendorong tumbuhnya ormas-ormas Islam baru. Salah satu diantaranya
adalah paham Ikhwanul Muslimin (IM), yang dimulai oleh Imam Al Banna di
Ismailiyah di awal abad ke-19. Bagi IM, partai politik apapun dapat berdiri
dengan nuansa kedaerahan masing-masing namun harus tetap berpedoman pada Al
Quran dan Al Hadis. Di Indonesia, idealisme ini kemudian diadopsi dan
diimplementasikan oleh Partai Keadilan Sejahtera. Selain itu, muncul pula
fenomena lain yang merupakan format baru dari gerakan politik Islam, yaitu
munculnya kelompok Islam “garis keras” –suatu istilah buatan Barat yang
sebenarnya kurang tepat, tapi terpaksa digunakan disini untuk kepentingan
identifikasi. Kelompok ini berada diluar partai politik (non partisan). Tapi
mereka memiliki kesadaran dan kepedulian sosial-politik yang sangat tinggi.
Mereka secara aktif menjadi “pressure group” untuk kepentingan politik Islam, terutama
menyangkut penegakan syariat Islam. Yang paling populer dari kelompok ini
adalah HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) dan FPI
(Front Pembela Islam). Posisi mereka dianggap signifikan karena selain memiliki
kader-kader yang cukup terdidik dan militan, juga karena terdapat kecenderungan
rekruitmen anggota kelompok ini terus berjalan.
Kekuatan ketiga adalah kekuatan baru yang laten
(tersembunyi): Proletar. Mungkin istilah ini merupakan kejutan dahsyat bagi
para anti-komunis dan golongan allergis-Marxist. Proletar Indonesia harus
diakui merupakan mayoritas, namun mereka tidak mempunyai organisasi, tidak
mempunyai pemimpin, tidak mempunyai ideologi, tidak mempunyai apapun kecuali
baju yang melekat di tubuhnya. Kita sudah menyaksikan dengan mata kepala
sendiri betapa peristiwa Mei yang hanya terjadi di satu kota, Jakarta, begitu
menakutkan sehingga penduduk asing dan keturunan Cina berlarian ke luar negeri.
Padahal ini baru sebagian kecil yang sporadis. Kita tidak bisa membayangkan
kalau terjadi serempak jangankan di seluruh Indonesia, di Jawa saja akan cukup
menggegerkan dunia a la letusan Gunung Krakatau. Memang lebih tepat Proletar
Indonesia ini disebut Gunung Krakatau yang aktif tapi tidur, yang kalau sudah
bangun mempunyai kekuatan dahsyat yang destruktif. Satu-satunya jalan untuk
menenangkan Proletar adalah mencukupi sandang pangannya justru dalam masa
kritik seperti sekarang ini. Inilah tugas mission impossible dari kekuatan
politik formal yang lain, yang harus bahu membahu mencegah dan mengamankan
potensi destruktifnya Proletar, tapi juga tidak menambah kekecewaan, menambah
lapar mereka. Tampaklah bahwa di antara ketiga kekuatan itu ABRI yang paling
unggul hingga diduga akan mampu memelihara keamanan dan ketertiban nasional. Namun
menurut sejarah dan pengalaman kita, politik itu paling unpredictable. Dalam
sekejap bisa terjadi yang selama ini dianggap inconceivable (mustahil). Kalau
Muslim fundamentalis masih predictable karena para pemimpinnya masih bisa
"dipegang", maka Proletar yang tidak berideologi dan tidak punya
pemimpin akan menjadi massa yang tidak bisa di-tackle kalau sudah terlanjur
bergerak bangun dari tidurnya.
Ø
Kekuatan
Politik di Indonesia: Kekuatan Politik Anomie
Membicarakan kekuatan politik anomie tidak bisa lepas dari
mahasiswa dan angkatan muda, namun diantara keduanya terdapat perbedaan yang
cukup signifikan. Angkatan muda disebut demikian karena kategori usia mereka
tanpa memandang tingkat pendidikan, sementara mahasiswa merupakan bagian
angkatan muda yang menempuh pendidikan tinggi. Mahasiswa sebagai komponen
universitas mempunyai kesempatan untuk terlibat dalam pemikiran, pembicaraan,
dan penelitia tentang berbagai masalah, yang mana kesempatan tersebut tidak
dimiliki oleh angkatan muda pada umumnya, sehingga mahasiswa termasuk yang
terkemuka dalam memberi perhatian pada masalah-masalah yang dihadapi masyarakat
secara nasional. Bagaimanapun mahasiswa dijegal oleh beragam aturan dalam
kampus, mereka tetap merupakan kekuatan politik yang besar, sehingga para elit
kekuasaan memenfaatkan mahasiswa untuk menjatuhkan penguasa.
Beberapa karakteristik mahasiswa yang menjadi faktor
pendorong bagi meningkatnya peran mereka dalam kehidupan politik angkatan muda
misalnya:
Pertama, sebagai kelompok masyarakat dengan pendidikan
terbaik, mahasiswa mempunyai horizon yang luas diantara keseluruhan untuk lebih
mampu bergerak diantara pelapisan masyarakat. Kedua, sebagai kelompok
masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah, sampai di universitas
mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik yang terpanjang diantara
angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik di kalangan
mahasiswa, sehingga universitas kentara bermakna sebagai pembentukan akulturasi
sosial dan budaya pada angkatan muda. Keempat, mahasiswa sebagai kelompok yang
akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian dan
prestise dalam masyarakat, dengan sendirinya merupakan elit dalam kalangan
angkatan muda. Dan kelima, meningkatnya kepemimpinan mahasiswa di kalangan
angkatan muda tidak terlepas dari perubahan kecenderungan orientasi
universitas. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam proses politik di Indonesia
saat ini adalah bahwa selain sebagai saluran mengetengahkan situasi dan
keinginan masyarakat, aktivitas politik mahasiswa – yang terjun ke arena
politik ketika terjadi situasi anomie yang kuat di masyarakat – dilihat pula
sebagai salahsatu ukuran kepuasan masyarakat.
Dua kekuatan politik lain yang tak kalah besar adalah pers
dan pengusaha. Pers, sebagai pembentuk opini publik lewat media-media yang
mereka gawangi, juga dapat dikategorikan sebagai salah satu kekuatan politik di
Indonesia. Pers dianggap sebagai kekuatan yang dianggap berpengaruh, saking
kuatnya pengaruh pers sehingga di masa Orde Baru dikenal Departemen Penerangan
yang menjegal kekuatan politik pers dan kebebasan mereka. Sementara pengusaha,
sebagai pelaku pasar yang dapat memanfaatkan isu dan sebagai sumber utama
pemungutan pajak, menjadi dekat dengan pemerintah. Dalam hal ini terjadi siklus
dimana pengusaha menjadi financial supporter bagi bakal calon Gubernur,
Walikota, atau Bupati, dengan cara mempengaruhi para aparat legislatif dengan
politik uang sebelum pemilihan diadakan. Uang yang mereka keluarkan dianggap
sebagai investasi yang akan terbayar ketika calon mereka telah menduduki
kekuasaannya dan dapat membantu mereka memenangkan tender berbagai proyek
raksasa. Itulah sebabnya orang kaya di Indonesia itu-itu saja, dalam arti
kekayaan mereka tersebut tidak memberikan manfaat besar pada masyarakat umum.
Ø
Sumber
Kekuatan Politik dalam Demokrasi Pancasila
Setelah menganalisis secara sederhana tentang Kekuatan
Politik di Indonesia, sepertinya kurang lengkap jika kita tidak menyebutkan
tentang sumber-sumber dari kekuatan politik itu sendiri. Meskipun dalam
beberapa literatur Demokrasi Pancasila secara implisit ditafsirkan sebagai nama
lain Orde Baru, yang senantiasa menggunakan Pancasila sebagai propagandanya,
kami menganggap prinsip-prinsip sumber kekuatan politik yang akan disebutkan
ini masih relevan dengan keadaan dewasa ini. Berikut adalah sumber-sumber
kekuatan politik dalam Demokrasi Pancasila.
1. ABRI; yang tetap konsisten terhadap Sumpah Prajurit Sapta
Marga sehingga seluruh jajaran Angkatan Bersenjata mempunyai kesatuan dan kekompakan
yang kuat untuk menopang kelanjutan dan kesinambungan Sistem Politik Indonesia.
2. Pancasila; sebagai ideologi bangsa Indonesia yang
ditetapkan sejak sidang PPKI 18 Agustus 1945.
3. UUD 1945; sebagai aktualisasi dari pernyataan kemerdekaan
Indonesia yang mengikat seluruh rakyat Indonesia secara konstitusional.
4. Rakyat Indonesia; yang memiliki kesadaran dan toleransi
yang cukup tinggi karena karakteristiknya sebagai bangsa yang ramah tamah.
5. Bangsa Indonesia; yang mengutamakan persatuan dan kesatuan
daripada perpecahan, menghargai adanya ketegakan demokrasi dalam segala sendi
kehidupan bermasyarakat, dan kepercayaan yang kuat terhadap Tuhan Yang Maha
Esa.
6. Sistem sosial dan Sistem Budaya Indonesia; yang lebih
menunjang terhadap terwujudnya keamanan dan ketertiban karena prinsipnya yang
saling memperhatikan dan memajukan.
7. Kesadaran generasi muda intelektual; baik dalam
kepedulian terhadap masalah-masalah sosial maupun keinginan meningkatkan
kualitas dirinya.
8. Sumber daya alam di Indonesia; yang tersedia melimpah dan
menantikan pengolahan secara efektif untuk kesejahteraan rakyat.
BAB V
Penutup
Kesimpulan
Seiring berjalannya waktu sejak pasca proklamasi kemerdekaan
hingga era reformasi, Indonesia lahir dan berkembang sebagai negara dan bangsa
dengan berbagai kekuatan politik didalamnya. Ada yang eksistensinya hanya
bertahan seumur jagung dan hilang seiring zaman yang bergulir, ada pula yang
bertahan dari dulu hingga sekarang.
Kekuatan politik pada dasarnya adalah simbol dari suatu
rezim yang tengah berlangsung, namun tentu saja setiap rezim mengikuti
peribahasa patah tumbuh hilang berganti – ketika suatu rezim berakhir, ada
rezim baru yang akan menggantikannya, sehingga secara tidak langsung diperlukan
adaptasi terhadap perubahan sosial secara terus menerus. Hal itu dapat
dilakukan lewat pengenduran depolitisasi, peningkatan kualitas penyelenggaraan
Pemilihan Umum, dan mewujudkan desentralisasi yang nyata kepada daerah-daerah.
Sifat adaptatif juga diperlukan dalam pelaksanaan dwifungsi ABRI, karena bila
tidak demikian maka dikotomi antara sipil dan militer akan semakin tajam.
Saran
Kadangkala kita terlalu mengandalkan kekuatan dari self
willingness atau keinginan diri sendiri ketika kita membicarakan tentang
langkah apa yang harus diambil untuk penyelesaian suatu masalah. Hal tersebut
tidaklah salah, karena segala sesuatu haruslah dimulai dari diri sendiri
terlebih dahulu. Namun tentu saja hal yang demikian tidak bisa diandalkan sepenuhnya
jika tidak ada kontribusi lain selain dari diri sendiri, karena seperti yang
telah kita lihat dalam analisis makalah sederhana ini, segala kekuasaan tetap
memerlukan dukungan pihak-pihak lain selain diri si penguasa itu sendiri.
Daftar Pustaka
Gaffar, Afan. 1999. Politik Indonesia: Transisi Menuju
Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Sanit, Arbi. 1987. Sistem Politik Indonesia. Jakarta:
Rajawali Press
Sukarna. 1992. Sistem Politik Indonesia III. Bandung: Mandar
Maju.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta:
Grasindo.
Syafiie, Inu Kencana & Azhari. 2005. Sistem Politik
Indonesia. Bandung: Refika Aditama
Sumber Elektronik
http://www.prd-online.or.id/pbb/index.php?option=com_content&task=view&id=271&Itemid=2
(diakses 30 September 2006)
http://groups.google.co.id/group/alt.culture.indonesia/browse_thread/thread/5e32de06243d0a95/11536559bfc7beb8%2311536559bfc7beb8
(diakses 30 September 2006)
http://www.google.com/search?q=cache:Auh8-gnYtIoJ:www.dilibrary.net/images/topics/aziz%2520qahhar.pdf+kekuatan+politik+di+indonesia&hl=id&gl=id&ct=clnk&cd=16
(diakses 30 September 2006)
0 Komentar untuk "Kekuasaan sebagai Asosiasi terhadap Kekuatan Politik"