Pendahuluan
Teori Fungsional-struktural adalah sesuatu
yang urgen dan sangat bermanfaat dalam suatu kajian tentang analisa masalah
social. Hal ini disebabkan karena studi struktur dan fungsi masyarakat
merupakan sebuah masalah sosiologis yang telah menembus karya-karya para
pelopor ilmu sosiologi dan para ahli teori kontemporer.[1]
Oleh
karena itu karena pentingnya pembahasan ini maka kami dari kelompok 3 mengangkat
tema ini. Mudah-mudahan dapat bermanfaat.
Tinjauan
singkat tentang Teori Fungsional Struktural
Pokok-pokok
para ahli yang telah banyak merumuskan dan mendiskusikan hal ini telah
menuangkan berbagai ide dan gagasan dalam mencari paradigma tentang teori ini,
sebut saja George Ritzer ( 1980 ),
Margaret M.Poloma ( 1987 ), dan Turner ( 1986 ). Drs. Soetomo ( 1995 )
mengatakan apabila ditelusuri dari paradigma yang digunakan, maka teori ini
dikembangkan dari paradigma fakta social. Tampilnya paradigma ini merupakan
usaha sosiologi sebagai cabang ilmu pengetahuan yang baru lahir agar mempunyai
kedudukkan sebagai cabang ilmu yang berdiri sendiri.[2]
Secara
garis besar fakta social yang menjadi pusat perhatian sosiologi terdiri atas
dua tipe yaitu struktur social dan pranata social. Menurut teori fungsional
structural, struktur sosial dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu
system social yang berdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling
berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa teori ini ( fungsional – structural ) menekankan
kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam system sosial, fungsional
terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak
akan ada atau hilang dengan sendirinya. Dalam proses lebih lanjut, teori inipun
kemudian berkembang sesuai perkembangan pemikiran dari para penganutnya.[3]
Emile
Durkheim, seorang sosiolog Perancis menganggap bahwa adanya teori fungsionalisme-struktural
merupakan suatu yang ‘berbeda’, hal ini disebabkan karena Durkheim melihat
masyarakat modern sebagai keseluruhan organisasi yang memiliki realitas
tersendiri. Keseluruhan tersebut menurut Durkheim memiliki seperangkat
kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian
yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bilamana
kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang
bersifat “ patologis “[4]. Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai
ekuilibrium, atau sebagai suatu system yang seimbang, sedang keadaan patologis
menunjuk pada ketidakseimabangan atau perubahan social.[5]
Robert
K. Merton, sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli teori lainnya
telah mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas tentang teori-teori
fungsionalisme, ( ia ) adalah seorang pendukung yang mengajukan tuntutan lebih
terbatas bagi perspektif ini. Mengakui bahwa pendekatan ini (
fungsional-struktural ) telah membawa kemajuan bagi pengetahuan sosiologis.
Merton
telah mengutip tiga postulat yang ia kutip dari analisa fungsional dan
disempurnakannya, diantaranya ialah :
1. postulat
pertama, adalah kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi
sebagai suatu keadaan dimana seluruh bagian dari system sosial bekerjasama
dalam suatu tingkatan keselarasan atau konsistensi internal yang memadai, tanpa
menghasilkan konflik berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur. Atas
postulat ini Merton memberikan koreksi bahwa kesatuan fungsional yang sempurna
dari satu masyarakat adalah bertentangan dengan fakta. Hal ini disebabkan
karena dalam kenyataannya dapat terjadi sesuatu yang fungsional bagi satu
kelompok, tetapi dapat pula bersifat disfungsional bagi
kelompok yang lain.
2. postulat
kedua, yaitu fungionalisme universal yang menganggap bahwa seluruh
bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif.
Terhadap postulat ini dikatakan bahwa sebetulnya disamping fungsi positif dari
sistem sosial terdapat juga dwifungsi. Beberapa perilaku sosial dapat
dikategorikan kedalam bentuk atau sifat disfungsi ini. Dengan demikian dalam
analisis keduanya harus dipertimbangkan.
3. postulat
ketiga, yaitu indispensability yang menyatakan bahwa dalam setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan,
ide, objek materiil dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki
sejumlah tugas yang harus dijalankan dan merupakan bagian penting yang tidak
dapat dipisahkan dalam kegiatan system sebagai keseluruhan. Menurut Merton,
postulat yang kertiga ini masih kabur ( dalam artian tak memiliki kejelasan,
pen ), belum jelas apakah suatu fungsi merupakan keharusan.
Pengaruh
Teori ini dalam Kehidupan Sosial
Talcott
Parsons dalam menguraikan teori ini menjadi sub-sistem yang berkaitan
menjelaskan bahwa diantara hubungan fungsional-struktural cenderung memiliki
empat tekanan yang berbeda dan terorganisir secara simbolis :
- pencarian pemuasan psikis
- kepentingan dalam
menguraikan pengrtian-pengertian simbolis
- kebutuhan untuk
beradaptasi dengan lingkungan organis-fisis, dan
- usaha untuk berhubungan
dengan anggota-anggota makhluk manusia lainnya.
Sebaliknya
masing-masing sub-sistem itu, harus memiliki empat prasyarat fungsional yang
harus mereka adakan sehingga bias diklasifikasikan sebagai suatu istem. Parsons
menekankan saling ketergantungan masing-masing system itu ketika dia menyatakan
: “ secara konkrit, setiap system empiris mencakup
keseluruhan, dengan demikian tidak ada individu kongkrit yang tidak merupakan
sebuah organisme, kepribadian, anggota dan sistem sosial, dan peserta dalam
system cultural “.[1]
Walaupun fungsionalisme struktural memiliki
banyak pemuka yang tidak selalu harus merupakan ahli-ahli pemikir teori, akan
tetapi paham ini benar-benar berpendapat bahwa sosiologi adalah merupakan suatu
studi tentang struktur-struktur social sebagai unit-unit yang terbentuk atas
bagian-bagian yang saling tergantung.
Fungsionalisme struktural sering menggunakan
konsep sistem ketika membahas struktur atau lembaga sosial. System ialah
organisasi dari keseluruhan bagian-bagian yang saling tergantung. Ilustrasinya
bisa dilihat dari system listrik, system pernapasan, atau system sosial. Yang
mengartikan bahwa fungionalisme struktural terdiri dari bagian yang sesuai,
rapi, teratur, dan saling bergantung. Seperti layaknya sebuah sistem, maka
struktur yang terdapat di masyarakat akan memiliki kemungkinan untuk selalu
dapat berubah. Karena system cenderung ke arah keseimbangan maka perubahan
tersebut selalu merupakan proses yang terjadi secara perlahan hingga mencapai
posisi yang seimbang dan hal itu akan terus berjalan seiring dengan
perkembangan kehidupan manusia.
Penutup
Teori fungsional struktural bukan hal yang baru lagi didalam dunia
sosiologi modern, teori ini pun telah berkembang secara meluas dan merata.
Sehingga tak ayal banyak Negara yang menggunakan teori ini di dalam menjalankan
pemerintahannya baik itu mengatur suatu pola interaksi maupun relasi diantara masyarakat.
Dalam kesempatan ini setidaknya pemakalah dapat mengambil keseimpulan bahwa
secara singkat dan sederhana teori sosial ini merupakan seperti rantai
sosiologi manusia, dimana didalam hubungannya terdapat suatu keterkaitan dan
saling berhubungan. Juga adanya saling ketergantungan, layaknya suatu jasad
maka apabila salah satu bagian tubuh jasad tersebut ada yang sakit ataupun
melemah sangat ber-implikasi pula pada bagian yang lain.
Sekiranya hanya ini yang dapat kami selesaikan
dalam penyusunan makalah ini, terasa bagi kami kesulitan dalam mencari refrensi
tentang pengertian yang mendalam dari teori ini. Sehingga nantinya dapat
dijadikan bahan pembelajaran yang lebih mendalam bagi kawan-kawan yang haus
akan suatu ilmu. Kami memohon maaf bila banyak kekurangan dan mungkin ada yang
bingung terhadap bahsa yang dipergunakan dalam penulisan. Oleh karena itu input
kalian sangat berarti bagi kami penyusun makalah.
Referensi
Poloma, M. Margaret, Sosiologi Kontemporer ( terj ), Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003
Soetomo, Drs, Masalah Sosial dan Pembangunan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1995
0 Komentar untuk "Teori Fungsional – Struktural"