Kedudukan Negara dalam
Islam
Islam adalah agama dan sekaligus sistem negara yang menjamin tegaknya keadilan
dan mewujudkan kesejahteraan umat manusia. Dalam merealisasikan tujuan
tersebut, Alqur’an meletakkan kaidah dan prinsip-prinsip umum yang berkaitan
dengan negara dan pemerintahan seperti penegakkan keadilan, penerapan
musyawarah, memperhatikan kesamaan, jaminan hak dan kebebasan berpendapat, dan
penetapan solidaritas sosial secara komprehensif serta hubungan pemimpin dan
rakyatnya seperti hak dan kewajiban timbal balik antara pemimpin dengan
rakyatnya. Islam hanya meletakkan kaidah-kaidah umum dan tidak menetapkan
bentuk ataupun aturan terperinci yang berkaitan dengan kepemimpinan dan
pengelolaan negara. Adapun bentuk ataupun model pemerintahan beserta metode
pengelolaannya menjadi ruang lingkup ijtihaj dan proses pembelajaran kaum
Muslimin dengan memperhatikan aspek kemaslahatan dan menyesuaikan
perkembangan zaman.
Sebelum menjelaskan prinsip-prinsip utama negara dalam perspektif Islam, lebih
bijak jika kita menjelaskan kedudukan yang saling berkait dan vital negara dan
pemerintahan dalam Islam. Prof. Muhammad al Mubarak dalam “Nizham al Islam:
al Mulk wad Daulah” menjelaskan setidaknya terdapat enam alasan
pentingnya kedudukan negara dan pemerintahan dalam Islam berdasarkan sumber
dalam Alquran, Sunnah dan praktek Shahabat:
Pertama, Alqur’an
memiliki seperangkat hukum yang pelaksanaannya membutuhkan institusi negara dan
pemerintahan. Diantara seperangkat hukum itu adalah hukum yang berkenaan dengan
pelaksanaan hudud dan qishas, hukum yang berkaitan harta benda(mal) serta
hukum yang menyangkut kewajiban jihad.
Kedua, Alquran
meletakkan landasan yang kokoh baik dalam aspek aqidah, syari’ah dan akhlak
yang berfungsi sebagai bingkai dan menjadi jalan hidup kaum Muslimin.
Pelaksanaan dan pengawasan ketiga prinsip utama dalam peri kehidupan kaum
Muslimin tidak pelak membutuhkan intervensi dan peran negara.
Ketiga, terdapat
ucapan-ucapan Nabi yang dapat menjadi istidlal bahwa negara dan
pemerintahan menjadi elemen penting dalam ajaran Islam. Ucapan-ucapan Nabi itu
meliputi aspek imarah(kepemimpinan), al walayah (keorganisasian),
al hukmu (kepemerintahan) dan al qadha (ketetapan
hakim). Beberapa hadist itu diantaranya:
“Tidak halal bagi tiga
orang yang sedang berada di sebuah perjalanan kecuali salah seorang diantara
mereka menjadi pemimpin.” (HR. Ahmad)
Mengomentari
hadist ini, Syaikh Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Adalah wajib mengangkat
kepemimpinan sebagai bagian pelaksanaan agama (ad Dien) dan sebagai perbuatan
mendekatkan diri kepada Allah.”
“Al Imam adalah pemimpin
rakyat dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
“Barang siapa yang mati
tidak terikat baiat maka matinya dalam mati jahiliyyah.”
(HR. Muslim)
“Barangsiapa yang
melepaskan tangannya dari ketaatan kepada imamnya, maka ia pada hari kiamat
tidak memiliki hujjah.” (HR. Muslim)
Keempat, adanya
perbuatan Nabi yang dapat dipandang sebagai bentuk pelaksanaan tugas-tugas
negara dan kepemerintahan. Nabi mengangkat para gubernur, hakim, panglima
perang, mengirim pasukan, menarik zakat dan rampasan perang, mengatur
pembelanjaan, mengirim duta, menegakkan hudud, dan melakukan perjanjian dengan
negara lain. R. Strothman dalam Encyclopedia of Islam mengatakan, “Islam
adalah fenomena agama politik sebab pendirinya adalah seorang Nabi dan
sekaligus kepala Negara.”
Kelima, setelah
wafatnya Nabi, para shahabat menunda pemakaman Nabi dan bergegas bermusyawarah
memilih pengganti (Khalifah) Nabi. Tindakan para shahabat ini menunjukkan
betapa pentingnya kepemimpinan dalam Islam dan kesepakatan (ijma’) mereka
dalam hal ini (mengangkat kepemimpinan pengganti Nabi) dapat menjadi sumber
hukum Islam.
Keenam, hal
ikhwah kepemimpinan (imarah) telah menjadi bagian kajian dan
pembahasan para ahli fiqh didalam kitab-kita mereka disepanjang sejarah.
Kaidah-Kaidah Dasar Dalam
Sistem Politik Islam
A. Kepemimpinan
(Khilafah)
Khalifah adalah
bentuk tunggal dari khulafa yang berarti menggantikan orang
lain disebabkan ghaibnya (tidak ada di tempat) orang yang akan digantikan atau
karena meninggal atau karena tidak mampu atau sebagai penghormatan terhadap apa
yang menggantikannya. Ar Roghib Al Asfahani dalam mufradat mengatakan maknakholafa
fulanun fulanan berarti bertanggung jawab terhadap urusannya secara
bersama-sama dengan dia atau setelah dia. Dalam konteks firman Alloh SWT dalam
surat Al Baqoroh, ayat 20, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah
dimuka bumi,” para mufasir menjelaskan bahwa khalifah Allah adalah
para nabi dan orang-orang yang menggantikan kedudukan mereka dalam
menjalankan ketaatan kepada Allah, mengatur urusan manusia dan menegakkan hukum
secara adil. Menurut Roghib Asfahani, penisbatan itu sendiri adalah bentuk
penghormatan yang diberikan Allah SWT kepada mereka.
Khilafah (kepemimpinan) menjadi isu krusial dan tema sentral dalam sistem
politik Islam. Sedemikian krusialnya isu itu membuat para shahabat menunda
pemakaman Nabi untuk berkumpul di Bani Tsaqifah. Mereka bermusyarah untuk
mengangkat pemimpin (Kholifah) pengganti Nabi.
Allah SWT berfirman:
“Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa (khalifah) dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi
mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan
menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa.
mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan
Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah
orang-orang yang fasik” (QS.24:55)
Nabi SAW bersabda:
“Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul
anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya.
Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah. Para sahabat
bertanya,‘Wahai Rasulullah, apa yang anda perintahkan kepada kami?’ Beliau
berkata: ‘Tetapilah baiat yang pertama dan kemudian sesudah itu, penuhilah hak
mereka sepenuhnya. Allah akan meminta pertanggung jawaban mereka” (HR.
Bukhari dan Muslim).
“Sesungguhnya
Allah SWT telah memulai perkara tersebut dengan nubuwwah dan rahmat, kemudian
diganti dengan kekhalifahan dan rahmat, namun diganti setelah itu sistem
kerajaan yang zalim. Kemudian diganti setelah itu pemerintahan diktator yang
menghalalkan kebebasan seks, khamer dan sutra. Mereka menang atas itu dan
diberi rezeki sampai menghadap Allah Azza wa Jalla.” (HR. Abu
Hurairah)
Terminologi Khilafah sendiri
dipakai untuk menjelaskan tugas yang diemban para pemimpin pasca kenabian.
Istilah itu digunakan untuk membedakan sistem kerajaan dan kepemimpinan
diktator. Hal ini menyiratkan bahwa terminologi khilafah yang dimaksud dalam
pelbagai hadist diatas adalah bahwa sistem khilafah ini sejalan dengan
prinsip-prinsip kenabian (nubuwwah). Sistem kepemimpinan ini
dibangun dari antitesis sistem kerajaan dimana kekuasaan berdasarkan pewarisan
keluarga (dinasti) ataupun sistem diktator yang cenderung berbuat zalim dan
tidak disukai rakyat. Ibnu Taimiyah dalam Minhajus Sunnah menjelaskan
bahwa “Khulafaur Rasyidin yang berlangsung tiga puluh tahun adalah
kepemimpinan kenabian dan kemudian urusan itu pemerintah beralih ke Muawiyyah,
seorang raja pertama. Al Mulk (raja-raja) adalah orang-yang memerintah yang
tidak mnyempurnakan syarat-syarat kepemimpinan dalam Islam (khilafah).”
Menurut
hemat saya, kepemimpinan dalam perspektif khilafah lebih merefleksikan
pemahaman terhadap nilai dan prinsip kepemimpinan yang benar menurut Islam
ketimbang sebagai sebuah eksistensi maupun bentuk pemerintahan. Khilafah lebih
merupakan substansi nilai yang bersifat tetap ketimbang perincian-perincian
institusional yang bersifat dinamis. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Ibnu
Taimiyyah seperti yang dikemukakan oleh Qomaruddin Khan dalam ”The
Political Thought of Ibn Taimiyyah’ bahwa kekhilafahan sebagai prinsip
nilai dan idealitas yang diembannya, yakni penegakan syariah bukan sebagai
lembaga pemerintahan. Kekhilafahan sebagai sebuah nilai setidaknya mengacu
kepada dua hal pokok, yakni pertama, kepemimpinan (khilafah)
itu harus merefleksikan kewajiban meneruskan tugas-tugas pasca kenabian
untuk -meminjam istilah Ibnu Hayyan- mengatur urusan umat, menjalankan
hukum secara adil dan mensejahterakan umat manusia serta melestarikan
bumi. Kedua, kepemimpinan harus dibangun berdasarkan prinsip
kerelaan dan dukungan mayoritas umat, bukan pendelegasian kekuasaan berdasarkan
keturunan (muluk) dan kediktatoran (jabariyah). Mengutip
Ibnu Taimiyyah dalam Minhaj Assunah, Abu Bakar RA diangkat bukan
karena kedekatannya dengan Rasulullah SAW atau karena dibaiat Umar Ibnul Khatab
RA namun karena diangkat dan dibaiat oleh mayoritas umat Islam.
Islam
tidak menetapkan khilafah seperti institusi politik dengan hirarki dan pola
kelembagaan baku yangrigid dan memiliki otoritas politik tanpa
batas seperti laiknya raja. Ini berarti Islam memberikan keluasan kepada kaum
Muslimin untuk merumuskan aplikasi kekuasaan dan bentuk pemerintahan beserta
perangkat-perangkat yang dibutuhkan dengan memperhatikan faktor kemaslahan dan
kepentingan perubahan zaman. Keluasan tersebut adalah hikmah bagi kaum Muslimin,
dimanapun mereka menemukan maka berhak memungutnya. Rasulullah SAW mengadopsi
sistem administrasi pemerintahan Romawi dan metode pengelolaan kekayaan negara
ala kerajaan Persia. Al Mawardi dalam Ahkamul Sulthaniyyah memiliki
pendapat menarik perihal evolusi menuju penyempurnaan lembaga-lembaga
kenegaraan dan pendelegasian kekuasaan pada masa Khulafaur Rasyidin.
Menurutnya, lembaga Qadhi baru muncul pada masa kepemimpinan amirul mukminin,
Ali bin Abi Thalib RA dan mengalami penyempurnaan pada masa Umawiyyah.
Sebelumnya, perkara perselisihan ditangani langsung oleh Ali namun seiring
meluasnya kekuasaan Islam dan mulai merosotnya integritas moral kaum Muslimin
maka diangkat Syuraih RA untuk mengambil alih peran beliau dalam menyelesaikan
perkara. Selanjutnya, penyelesaian perkara perselisihan ditangani oleh lembaga
Qadhi yang diangkat khusus oleh Khalifah.
Secara
garis besar –menurut Al Mawardi- ada 10 tugas pemimpin dalam Islam, yakni:
pertama, menjaga kemurnian agama. Kedua, membuat keputusan
hukum di antara pihak-pihak yang bersengketa. Ketiga, menjaga
kemurnian nasab. Keempat, menerapkan hukum pidana Islam. Kelima, Menjaga
keamanan wilayah dengan kekuatan militer. Keenam, mengorganisir
Jihad dalam menghadapi pihak-pihak yang menentang dakwah Islam.Ketujuh, mengumpulkan
dan mendistribusikan harta pampasan perang dan zakat. Kedelapan, membuat
anggaran belanja negara. Kesembilan, melimpahkan kewenangan
kepada orang-orang yang amanah. Kesepuluh, melakukan
pengawasan melekat kepada hirarki dibawahnya, tidak semata mengandalkan laporan
bawahannya, sekalipun dengan alasan kesibukan beribadah. Sementara Ibnu Hazm
dalam “Mihal wa an Nihal” berpendapat bahwa tugas pemimpin adalah
menegakkan hukum dan konstitusi, menyiarkan Islam, memelihara agama dan
menggalang jihad, menerapkan syari’ah, melindungi hak asasi manusia,
menyingkirkan kezaliman dan menyediakan kebutuhan bagi setiap orang.
Karakter
Kepemimpinan Islam
Karakter kepemimpinan dalam Islam adalah kepemimpinan sipil. Mandat
kepemimpinan dalam Islam tidak ditentukan oleh Tuhan namun dipilih oleh umat.
Kedaulatan milik Tuhan namun sumber otoritas kekuasaan adalah umat Islam.
Pemimpin tidak memiliki kekebalan dosa (ma’shum) sehingga
memungkinkan yang bersangkutan menggabungkan semua kekuasaan baik eksekutif,
legislatif maupun yudikatif dalam genggamannya. Islam tidak mengenal jenis
pemerintahan seperti yang dilakukan Eropa di abad pertengahan sebab
khalifah dipilih dan dapat diberhentikan oleh rakyat. Ibnu Hazam menyatakan
bahwa para ulama bersepakat (ijma’) perihal wajibnya khilafah
atau imarah (kepemimpinan) dan bahwa penentuan khalifah atau pemimpin menjadi
kewajiban kaum Muslimin dalam rangka melindungi dan mengurus kepentingan
mereka.
Oleh
karena itu, Abu Bakar Ra menolak mendapatkan panggilan khalifah Allah dan
memilih sebutan khalifah rasul karena dia mewakili Nabi dalam menjalankan tugas
kepemimpinan dan sebagai khalifah, beliau juga memahami kekuasaannya bersifat
temporal, yang dipilih dan diawasi rakyat. Dengan demikian, pemimpin bukan wakil
Tuhan dimuka bumi. Dalam kepemimpinan sipil, umat mengontrol dan
memberhentikannya. Semua mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah menyakini
bahwa Rasulullah SAW tidak mencalonkan seorangpun untuk memegang kendali
kepemimpinan sepeninggal beliau. Abu Bakar menjadi khalifah karena dipilih kaum
Muslimin bukan karena menggantikan Nabi SAW menjadi imam shalat. Demikian pula
Umar diangkat sebagai khalifah bukan semata karena diusulkan Abu Bakar namun
karena beliau dipilih para sahabat dan dibaiat mayoritas kaum Muslimin.
Adapun
berkaitan dengan pembagian wewenang kekuasaan eksekutif, legislatif dan
yudikatif dalam pandangan Ali Bahnasawi lebih merefleksikan kebutuhan yang
tidak terelakkan baik dalam perspektif strategis maupun teknis. Nabi SAW
sendiri telah mendelegasikan beberapa aspek legislatif kepada para sahabat dan
sepeninggal beliau, wewenang legislatif dan yudikatif dipisahkan dari tugas
kekhalifahan. Kondisi inipula yang secara alamiah menjadi titik pijak
trasformasi sistem peradilan sepanjang pemerintahan Islam pasca Nabi SAW,
seperti adanya lembaga qadhi dan hisbah, mahkamah mazhalim dan lain-lain. Dalam
konteks strategis, pembagian kekuasaan adalah sebagi upaya untuk mengurangi
kemungkinan adanya pelanggaran kekuasaan(abuse of power) sebagai
akibat terkonsentrasinya kekuasaan. Mengutip Lord Acton, “power tends to
corupt, absolute power tends to absolute corrupt”. Tabiat kekuasaan tanpa
kendali moral akan cenderung korup dan menindas maka selain integritas moral
dibutuhkan sistem yang dapat menggaransi tabiat jahat kekuasaan tersebut
muncul.
Syarat-Syarat kepemimpinan dalam Islam
Secara umum, Alqu’ran
mensyaratkan seorang pemimpin diangkat karena factor keluasan pengetahuan(ilmi) dan
fisik (jism) seperti dijelaskan dalam:
“Nabi mereka mengatakan
kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi
rajamu." mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal
kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak
diberi kekayaan yang cukup banyak?" nabi (mereka) berkata:
"Sesungguhnya Allah Telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang
luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa
yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.(QS. Al Baqarah:247)
Rasulullah SAW bersabda:
“Barang
siapa mengangkat seseorang untuk mengurusi perkara kaum Muslimin, lalu
mengangkat orang tersebut, sementara dia mendapatkan orang yang lebih layak dan
sesuai daripada orang yang diangkatnya maka dia telah berkhianat kepada Allah
dan Rasulnya.” (HR Hakim)
“jika suatu urusan
diserahkan kepada bukan ahlinya, tunggulah saat kehancurannya.” (HR. Muslim)
Syarat kepemimpinan menurut Ibnu Taimiyyah
mencakup dua aspek, yakni qawiy kekuatan (fisik
dan intektual) dan amin (dapat dipercaya). Sedangkan Al
Mawardi menetapkan tujuh syarat kepemimpinan yang mencakup adil, memiliki
kemampuan berijtihaj, sehat jasmani, tidak memiliki cacat fisik yang
menghalangi menjalankan tugas, memiliki visi yang kuat, pemberani dalam mengambil
keputusan, memiliki nasab Quraisy. Ibnu Khaldun sendiri mensyaratkan empat hal
yang harus dimiliki pemimpin, yakni: ilmu, keadilan, kemampuan serta
keselamatan indera dan anggota tubuh lainnya. Perihal syarat nasab Quraisy,
Ibnu Khaldun memandang bukan syarat utama dan tidak boleh menjadi ketetapan
hukum yang mengikat.
Berpijak dari pemahaman umum nash dari Al qur’an dan Sunnah, serta pandangan
ulama, setidaknya ada tiga syarat utama kepemimpinan dalam Islam, yakni
integrasi aspek keluasan ilmu, integritas moral (kesalihan individual) dan
kemampuan profesional. Yang dimaksudkan keluasan ilmu, seorang pemimpin tidak
hanya mampu menegakkan keadilan berdasarkan prinsip-prinsip dan kaidah syariah,
namun juga mampu berijtihaj dalam merespon dinamika sosial politik yang terjadi
ditengah masyarakat. Sementara kesalihan adalah kepemilikan sifat amanah,
kesucian dan kerendahan hati dan istiqomah dengan kebenaran. Adapun
professional adalah kecakapan praktis yang dibutuhkan pemimpin dalam mengelola urusan
politik dan administrasi kenegaraan.
Jika tidak dipenuhi keseluruhan syarat-syarat
tersebut maka diperintahkan mengambil yang ashlah (lebih utama).
Misalnya, jika kaum Muslimin dihadapkan kepada situasi untuk memilih salah satu
dari dua pilihan yang buruk, yakni antara seorang pemimpin yang shalih namun
tidak cakap dengan seorang pemimpin yang cakap namun kurang shalih maka menurut
Ibnu Taimiyyah hendaknya didahulukan memilih pemimpin yang cakap sekalipun
kurang salih. Karena seorang pemimpin yang salih namun tidak cakap maka
kesalihan tersebut hanya bermanfaat bagi dirinya namun ketidakcakapannya
merugikan masyarakat sebaliknya pemimpin yang cakap namun kurang shalih maka
kecakapannya membawa kemaslahatan bagi masyarakat sementara ketidaksalihannya merugikan
dirinya sendiri.
Mekanisme Pengangkatan Kepemimpinan
Alqur’an dan Assunah tidak menetapkan mekanisme ataupun tata cara pemilihan
kepala negara. Adapun mekanisme ataupun tata cara penetapan kepala negara
bersandar kepada praktek yang disepakati para sahabat(ijma’) dalam
menentukan pengganti sepeninggal Rasulullah. Mereka berturut-turut memilih Abu
Bakar, Umar hingga terakhir Ali Bin Abi Thalib dengan cara yang berbeda. Abu
Bakar ditetapkan melalui musyawarah sebagian kaum Muslimin di Bani Tsaqifah
yang diikuti baiat mayoritas kaum Muslimin kepada Abu Bakar. Umar bin Khattab
dipilih melalui musyawarah Abu Bakar dengan para sahabat terkemuka. Abu Bakar
mengusulkan Umar untuk menggantikannya. Para sahabat tidak keberatan dengan
usulan tersebut dan selanjutnya Umar ditetapkan sebagai khalifah melalui baiat.
Namun Umar menempuh cara yang berbeda dengan Abu Bakar dalam pengangkatan
Khalifah. Beliau menunjuk enam orang sahabat dan meminta mereka untuk memilih
salah seorangnya menjadi khalifah. Keenam sahabat itu adalah Ustman bi Affan,
Ali Bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi
Waqqas dan Abdurrahman bin Auf. Mereka bersepakat memilih Ustman bin Affan
menggantikan Umar bin Khattab dan meminta persetejuan rakyat melalui baiat.
Setelah syahidnya Ustman bin Affan, Ali Bin Abi Thalib secara aklamasi dibaiat
menjadi khalifah oleh mayoritas kaum Muslimin Madinah dan Kufah.
Dari ijma’ para sahabat, maka dapat disimpulkan bahwa pendelegasian kekuasaan
dalam sistem politik Islam harus mengacu kepada dua hal:
1. Penetapan
kekuasaan publik harus melalui metode pemilihan. Hal ini sejalan dengan Sabda
Nabi SAW kepada Anshar,”Keluarkanlah kepadaku dua belas wakil diantara
kalian untuk mewakili urusan kaum mereka.” (HR. Bukhari). Para
wakil (Ahlul halli wal aqdi) itu dipilih oleh rakyat untuk
memilih pemimpin, mengawasinya dan memberhentikan jika pemimpin melakukan
kekufuran yang nyata. Qadhi Abu Ya’la menyatakan bahwa seorang khalifah tidak
diperkenankan mengangkat khalifah sepeninggalnya karena hal terebut
bertentangan dengan maqosid syariah (prinsip-prinsip syariah). Secara umum,
pemilihan kepala negara dilakukan dalam dua tahap, pertama, pencalonan kepala
negara yang dilakukan ahlul halli wal aqdi dan kedua,
penetapan kepala negara yang yang dilakukan oleh seluruh rakyat melalui akad
baiat(kontrak politik), yang dianggap persetujuan rakyat.
2. Pemimpin
menjalankan otoritasnya sesuai dengan kontrak politik (akad) antara
dirinya dengan rakyat. Akad ini diwujudkan dalam baiat yang diwakili antara
pemimpin dengan ahlul halli wal aqdi. Setelah itu dilakukan baiat
umum antara pemimpin dengan seluruh rakyat untuk menunjukkan bahwa legitimasi
kekuasaan berasal dari rakyat dan pemimpin yang diangkat mewakili kepentingan
rakyat. Dengan demikian, karakter kekuasaan dalam Islam adalah kepemimpinan
sipil, bukan teokrasi, kekuasaan yang didapatkan dari Tuhan. Hal ini sejalan
dengan pendapat Ibnu Hazm yang menyatakan bahwa penentuan khilafah merupakan
kewajiban kaum Muslimin dalam rangka melindungi dan mengurusi kepentingan
mereka.
Ahlul Halli Wal Aqdi
(Sistem Legislatif)
Secara bahasa, ahlul halli wal aqdi terdiri dari tiga kalimat
yakni:
- Ahli, artinya
orang yang berhak, atau yang memiliki
- Halli, berarti
melepaskan, menyesuaikan, memecahkan
- Aqdi, memiliki
arti mengikat, mengadakan transaksi, membentuk
Jadi jika didefinisikan, ahlul halli
wal aqdi berarti orang-orang yang berhak mengangkat kepala negara dan
membatalkan jika dipandang perlu. Mereka juga dikenal dengan nama ahlul
ijtihaj dan ahlul ihtiyar. Pada dasarnya ahlul
halli wal aqdi adalah wakil rakyat yang menjalankan tugasnya
mengontrol dan mengevaluasi kekuasaan.
Anggota ahlul halli wal aqdi terdiri
atas para ulama, pejabat daerah, kepala suku, kelompok professional dan
intelektual yang dipilih dan mewakili rakyat berdasarkan penjelasan Nabi dalam
hadist yang diriwayatkan Bukhari kepada kelompok Anshar untuk mengangkat 12
wakil yang akan mengatur urusan mereka. Imam Asyahid Hasan al Banna menjelaskan
keanggotaan Ahlul Halli Wal Aqdi mencakup sekurangnya tiga kelompok, yakni:
para fuqoha’, para pakar dalam disiplin ilmu tertentu, dan orang-orang yang
memiliki integritas kepemimpinan. Tugas dan wewenang ahlul halli
wal aqdi mencakup dua hal:
1. Mengikat
pelaksanaan kekuasaan dengan prinsip-prinsip syariah. Ruang lingkup wewenang
ini meliputi, pertama, menetapkan hukum-hukum baru. Kedua, menjelaskan
hukum yang dituntut oleh hukum yang ada.
2. Menjalankan
otoritas yang berkaitan dengan pengangkatan dan penghentian kepala negara.
Al Mawardi menetapkan
tiga syarat yang harus dipenuhi anggota ahlul halli wal aqdi, yakni
adil, memiliki ilmu yang bertalian dengan aspek-aspek kepemimpinan, dan
memiliki kemampuan verifikasi calon-calon pemimpin.
Mazhab Ahlus Sunnah berpendapat bahwa ahlul halli wal aqd memiliki
kewenangan menurunkan menurunkan kepala negara. Kepala negara dapat diturunkan
jika dipandang tidak dapat menunaikan tugas. Menurut Al Mawardi menjelaskan
kepala negara dapat diturunkan karena dua hal:
1. Hancurnya
kredibilitas personal karena perbuatan fasik, baik berkaitan dengan perbuatan
amoral maupun perbuatan syubhat dalam prinsip aqidah.
2. Hilangnya
kemampuan fisik sehingga menghalangi kepala negara menjalankan kewajibannya,
seperti kehilangan akal, penglihatan dan dalam keadaan tertawan.
Para
ulama bersepakat bahwa kekufuran yang nyata (keluar dari agama) menjadi sebab
gugurnya hak kepemimpinan demikian pula kewajiban untuk mencopotnya dari
jabatannya, sekalipun dengan jalan kekerasan. Namun kita mendapati perbedaan
pendapat dikalangan ulama tentang keadaan pemimpin yang melakukan perbuatan
kemaksiyatan (dosa besar) dan perbuatan bid’ah. Arus utama yang diwakili
mayoritas Sunnah berpendapat menahan diri jauh lebih baik sekiranya perlawanan
yang dilakukan justru membawa kemadharatan yang lebih besar namun sebaliknya
aliran Syiah, pemimpin seperti itu wajib diturunkan sekalipun dengan kekuatan
bersenjata (bughot). Dalam hal ini, saya condong pendapat mazhab
Ibnu Hanifah bahwa pemimpin yang melakukan perbuatan dosa besar harus
diturunkan. Namun kontekstualisasi pencopotan pemimpin yang lancung tersebut
tidak dengan kekuatan senjata namun melalui sistem dan mekanisme konstitusional
seperti yang diadopsi negara-negara maju dewasa ini.
Dalam hemat saya, tradisi kepemimpinan dalam umat tidak menyediakan exit
strategy bagi suksesi kepemimpinan dalam kondisi tidak normal sebagai
akibat praktek amoral, penyimpangan dan korupsi yang dilakukan pemimpin.
Akibatnya, proses suksesi disepanjang sejarah berakhir dengan pertumpahan darah
dan merenggut banyak nyawa. Kaidah-kaidah politik dalam Islam memang memberikan
legitimasi politik bagi pencabutan kekuasaan politik yang menyeleweng namun
tidak banyak membahas mekanisme ataupun tata cara penggantian kepemimpinan yang
dipandang menyimpang secara damai dengan menghindari pertumpahan darah. Kajian
fiqh Islam lebih banyak menyoroti opsi kemungkinan pembangkaan ataupun
penggunaan kekuatan bersenjata (pemberontakan). Opsi ini sangat tipikal dengan
situasi historis bangsa-bangsa yang dalam situasi konflik dan peperangan. Namun
dalam konteks sekarang, opsi ini menjadi tidak relevan karena kekuatan
bersenjata tidak layak digunakan untuk kepentingan suksesi kepemimpinan.
namun seharusnya digunakan untuk menjaga kedaulatan negara. Oleh karena
itu, kita berkepentingan untuk meletakkan landasan konstitusional yang kuat
bagi mekanisme suksesi kepemimpinan secara damai, minus pertumpahan darah.
Kita
patut mengapresiasi dan belajar dari Barat tentang mekanisme dan tata cara
suksesi kepemimpinan secara damai dan elegan. Barat secara politik dan kultural
belajar dan memperbaiki kesalahan sebagai akibat pergulatan kekuasaan yang
panjang diantara mereka. Secara politik, mereka membuat sistem dan
mekanisme pergantian kekuasaan baik dalam kondisi normal maupun luar biasa
dengan memadai. Sedangkan secara kultural, terbangunnya kesiapan mundur jika
seorang pemimpin dipandang publik gagal dalam menjalankan tugas. Hal ini sangat
penting karena banyak pemimpin dengan kesadaran sendiri mundur dari jabatannya
sebelum secara konsititusional diturunkan paksa. Richard Nixon, Presiden AS
mundur setelah terbongkarnya skandal Watergate. Tony Blair, Perdana Menteri
Inggris tidak meneruskan jabatan keduanya sebagai setelah dikritik tajam dalam
skandal Irak, bahkan kini dia menghadapi investigasi parlemen atas kasus
tersebut. Mekanisme politik yang dibangun dalam suksesi kepemimpinan pada satu
sisi memberikan ruang kontrol politik yang efektif bagi rakyat dari
penyalahgunaan kekuasaan dan pada sisi lain mampu meminimalisasi instabilitas
keamanan dan politik.
Kaidah-kaidah kepemimpinan dalam Islam memberikan ruang adanya lembaga ahlul
halli wal aqdi yang dalam wewenangnya memiliki hak mengangkat dan
bahkan mencopot kepala negara, namun wewenang tersebut dengan sendiri
membutuhkan sistem dan mekanisme yang
sehingga proses suksesi tersebut
berjalan dengan mulus dan tanpa goncangan politik yang berarti. Dengan demikian
ada proses kontrol, pengawasan dan evaluasi atas kekuasaan yang dilakukan ahlul
halli wal aqdi dan rakyat. Jika dalam rentang waktu yang ditetapkan
tersebut, kepala negara melakukan pelanggaran ataupun kinerjanya mengecewakan
maka pemimpin tersebut secara konstitusional dapat diturunkan.
Hemat
saya pula, ukuran ketidakmampuan kepala negara dalam melanjutkan
kepemimpinannya tidak sebatas kepada dua prasyarat seperti yang ditetapkan oleh
Al Mawardi mapun para pakar fikih lainnya, namun juga menyangkut kepada
kecakapannya dalam melaksanakan tugas dan kewajiban yang diamanatkan rakyat
berdasarkan ukuran dan standar (kontrak politik) yang ditetapkan oleh
lembaga ahlul halli wal aqdi. Karena hakekat kepemimpinan
politik dalam Islam seperti yang dijelaskan sebelumnya adalah pendelegasian
wewenang dan kekuasaan yang diberikan rakyat melalui kontrak politik antara
penguasa dan rakyat. Penguasa menjalankan amanah yang diberikan rakyat sebagai
gantinya rakyat memberikan loyalitasnya kepada penguasa. Jika pemimpin tidak
mampu menjaga distribusi pangan, menjaga kedaulatan negara atau gagal
meningkatkan standar hidup masyarakat seperti yang dijanjikan maka pemimpin
tersebut layak diganti sekalipun tidak melakukan perbuatan dosa atau merusak
prinsip-prinsip Islam.
Rotasi Kepemimpinan
Salah
satu isu yang menjadi pokok perdebatan adalah perlukah pembatasan durasi
kekuasaan. Di banyak negara maju, masa kepemimpinan
dibatasi selama dua periode. Gagasan itu pertama kali diperkenalkan dalam
amandemen ke 22 konstitusi AS, 1933 yang membatasi durasi jabatan presiden
hanya dua kali. Sejarah politik Islam sendiri tidak mengenal pembatasan durasi
kepemimpinan. Pemimpin dapat memegang jabatan seumur hidup sepanjang tidak
melanggar prinsip-prinsip syariah. Penggantian kekuasaan hanya terjadi jika
pemimpin meninggal, dikudeta ataupun dibunuh. Hampir tidak ada penggantian
kekuasaan terjadi secara sukarela dalam sejarah Islam kecuali dalam dua
peristiwa, mundurnya Husain dari jabatan khalifah dan menyerahkannya kepada
Yazid bin Muawiyah sehingga peristiwa tersebut dinamakan ‘Amul Jamaah’ (tahun
kembalinya persatuan) dan Jenderal Abdurrahman Siwarudzahab dari Sudan yang
menyerahkan kekuasaan kepada rakyat.
Sementara itu, gagasan pembatasan durasi kekuasaan dalam sistem politik Islam
dipandang sebagai perbuatan bid’ah. Padahal, selain dipandang baik dalam sistem
pemerintahan yang demokratis, rotasi kekuasaan secara obyektif dibutuhkan dalam
realitas sosio-politik yang dinamis. Kesalahpahaman ini dalam pandangan Syaikh
Yusuf Qaradhawi terjadi karena mencampuradukkan antara urusan amaliah dan
akidah, antara sunnah dan bid’ah (yang seharusnya dipahami penambahan unsur
baru dalam akidah dan ibadah), antara kedudukan sunnah dengan siroh (sejarah
nabi). Siroh hendaknya didudukkan dalam dua hal, yakni pertama, tidak
mensyaratkan sumber periwayatan yang ketat sehingga para ulama tidak memasukkan
dalam definisi Sunnah dankedua, siroh dikategorikan sebagai
perbuatan (fi’li) Nabi SAW yang secara hukum tidak mengikat.
Ada setidaknya tiga pandangan perihal pentingnya rotasi kekuasaan dalam sistem
pemerintahan Islam:
1. Rentang
waktu kepemimpinan yang lama dipandang memberikan kesempatan bagi pemimpin mengkonsolidasikan
kekuasaan demi kepentingan dirinya.
2. Pentingnya
melakukan regenerasi dan kaderisasi kepemimpinan. Regenerasi dan
kaderisasi dibutuhkan dalam mengoptimalisasikan potensi demi menjaga eksistensi
umat Islam.
3. Mengutip
Syaikh Yusuf Qaradhawi, rotasi kepemimpinan akan menjaga kedamaian dan
ketenangan umat.
Prinsip-Prinsip
Penyelenggaraan Negara dalam Islam
A. Prinsip
Syura
Syura secara harfiah berarti menyarikan atau
mengambil madu dari sarang lebah. Sedang makna yuridisnya adalah menyarikan
suatu pendapat (ra’yu) berkenaan dengan suatu permasalahan tertentu. Ar Ragib
Asfahani mendefinisikan Syura adalah mengeluarkan pendapat dengan mengembalikan
sebagiannya pada sebagian yang lain, yakni menimbang satu pendapat dengan pendapat
lain untuk mendapatkan satu pendpat yang disepakati.
Syura adalah salah satu prinsip penting
tentang pemerintahan yang dijelaskan dalam al Qur’an. Prinsip ini mengharuskan
kepala negara dan pemimpin pemerintahan untuk menyelesaikan semua
permasalahan-permasalahan masyarakat melalui permusyawaratan. Betapa pentingnya
prinsip ini, Alqur’an bahkan mensejajarkan syura dengan perintah menjalankan
pilar-pilar Islam lainnya seperti iman, shalat dan zakat. Artinya, syura harus
diperlakukan dengan dasar serupa dan diberi tempat yang sama pentingnya dalam
pengaturan masalah-masalah sosial-politik dalam masyarakat Islam. Allah SWT
berfirman:
“Orang-orang yang
mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan
dengan jalan musyawarah diantara mereka dan menafkah sebagaian rezeki yang kami
berikan kepada mereka.” (QS. 42:38)
Uniknya, ayat ini diturunkan di Mekkah sebelum
keberadaan Islam diungkap secara terang-terangan. Belakangan, setelah
pemerintahan Islam terbentuk di Madinah, perintah syura semakin dipertegas
kedudukannya dalam Alqur’an sehingga menjadi landasan tektual pemerintahan
Islam.
“Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (masyarakat) itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan keputusan, maka bertawakkallah kepada Allah.” (QS.
3:159)
At Thabari menyebut syura sebagai salah satu dari ‘azaim al ahkam,
yakni prinsip fundamental syariat yang esensial bagi substansi dan identitas
pemerintahan Islam. Dengan memperhatikan bahwa Allah SWT memerintahkan Nabi SAW
bermusyawarah dengan sahabat meskipun dibimbing langsung wahyu, maka Ibnu
Taimiyah berpendapat konteks perintah Alqur’an lebih tegas lagi kepada generasi
Muslim selanjutnya yang tidak lagi berjumpa dengan Nabi dan tidak memiliki
akses langsung dengan wahyu. Dengan demikian, menurut Muhammad Abduh, Abdul
Karim Zaidan, Maududi, Abdul Qadir Awdah, Syura adalah kewajiban yang ditujukan
terutama kepada kepala negara untuk menjamin kewajiban tersebut dijalankan
semestinya dalam urusan pemerintahan dan untuk menjalankan kewajiban tersebut,
maka para partisipan Syura harus memiliki kebebasan berpendapat dan
berekspresi. Menurut Abdul Karim Zaidan, tidak mungkin terjadi jika pemerintah
diwajibkan menjalankan Syura sementara menghambat kebebasan berpendapat.
Adapun
persoalan apakah hasil syura mengikat penguasa? Pendapat yang paling kuat
adalah hasil Syura bersifat mengikat (mulzimah). Salim Ali
Bahnasawi menjelaskan adanya kontradiksi jika Allah memerintahkan penguasa
untuk menjalankan syura namun penguasa senditi tidak terikat dengan
hasil-hasilnya. Ibnu Hajar dalamFathul Baari menegaskan bahwa
penguasa yang tidak meminta nasehat kepada ulama wajib dipecat. Pendapat ini
didukung oleh Imam Bukhari, “Alqur’an memerintahkan bermusyawarah
sebagaimana pula memerintahkan bertwakkal untuk melaksanakan hasil Syura.”
Dalam pandangan Syaikh Abdul Qadir Audah, ada dua yang berkaitan dengan sifat
mengikat hasil Syura bagi penguasa dan umat Islam:
1. Membersihkan
praktek diktatorisme dalam pemerintahan Islam,
2. Pendapat
mayoritas akan membentuk tanggung jawab umat secara kolektif dan sebagai bagian
pendidikan politik untuk bersikap ilmiah, kritis namun memiliki komitmen.
Secara
umum ketetapan Syura dalam Alqur’an mencakup semua urusan kaum Muslimin baik
yang bersifat individual maupun kolektif. Namun Alqur’an hanya memberikan
ketetapan-ketetapan yang bersifat umum tentang Syura dan tidak menyebut
rincian-rincian mengenai cara pelaksanaannya dan persoalan dimana Syura
dilaksanakan. Alqur’an juga tidak memberikan instruksi mengenai apakah semua
permasalahan masyarakat harus diselesaikan dengan jalan Syura atau hanya dalam
konteks pemerintahan saja. Ketiadaan rincian khusus ini tidak pelak menjadikan
pelaksanaan Syura sebenarnya menjadi fleksibel, tidak dibatasi waktu dan dapat
diterapkan dalam semua keadaan dalam masyarakat.
B. Prinsip
Keadilan
Alqur’an setidaknya mengunakan tiga terma
untuk menyebut keadilan, yakni al-’dl, al-qisth dan al-mizan.
Terma adil beserta turunannya tidak kurang disebutkan 30 kali dalam Al qur’an.
- Al-‘dl berarti “sama”, memberi
kesan adanya dua pihak atau lebih karena jika hanya ada satu pihak berarti
tidak akan terjadi persamaan,
- Al-qisth
lebih umum dari adl yang berarti “bagian” (yang
wajar dan cukup).
- Sedangkan mizan berasal
dari akar kata wazan (timbangan) yang dapat berarti keadilan.
Alqur’an menegaskan alam semesta ditegakkan atas dasar keadilan. Allah SWT
berfirman,”Dan langit ditegakkan dan Dia menetapkan al-Mizan (neraa
kesetimbangan)” (QS 55:7)
Jadi ada tiga konteks
makna keadilan yang dimaksudkan, yakni pertama, keadilan
adalah sama dengan tidak membedakan seseorang dengan yang lainnya, kedua,
keadilan berarti seimbang antara berbagai unsur yang ada dan ketiga, keadilan
berarti perhatian terhadap hakhak individu dan memberikan hak-hak itu kepada
setiap pemiliknya.
Keadilan
menjadi prinsip dan tema utama dalam Al Qur’an. Perintah berbuat adil banyak
dijumpai dalam Alqur’an, diantaranya:
“Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS.
Al Maidah:3)
“Wahai orang-orang
beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan (qisth).” (QS.An
Nisa:135)
Alqur’an memerintahkan
orang beriman untuk berbuat adil dan menjadikan keadilan sebagai tujuan Islam
setelah kewajiban beriman kepada Allah SWT sebaliknya mencela kezaliman dan
orang-orang yang berbuat zalim serta menjadikan kezaliman sebagai sebab
kehancuran umat. Oleh karena itu, kezaliman dianggap kejahatan dan dosa besar.
Dalam
hadist Nabi disebutkan bahwa keadilan menjadi ibadah yang paling mulia.“Sehari
bersama imam yang adil lebih baik dari ibadah seorang lelaki selama 60 tahun.
Dan hukum hudud yang ditegakkan di muka bumi dengan benar lebih bersih dari
hujan yang turun selama 40 tahun” (HR At-Tabarani dan Al-Baihaqi. Dalam
hadist riwayat Bukhari, Allah menetapkan Imam yang adil pada urutan pertama
dari 7 golongan yang mendapatkan naungan Allah pada hari Kiamat. “Ada
tujuh kalangan yang Allah menaunginya dibawah naungan-Nya pada hari dimana
tidak ada naungan selain naungan dari Allah, Imam yang adil …“
Keadilan
dalam pandangan Islam adalah hak bagi setiap umat manusia dan sekaligus
kewajiban yang harus dilakukan pemerintah. Sementara hukum (syariah) ditegakkan
untuk menjamin dan mewujudkan keadilan tersebut. Menurut Muhammad al Mubarak,
ruang lingkup keadilan dalam Islam mencakup dua isu penting:
1. Tindakan
mencegah dan menyingkirkan kezaliman, seperti mencegah pelanggaran hak manusia
yang berkaitan dengan jiwa, harta dan kehormatan serta menyingkirkan segala
bentuk pelanggaran hukum, mengembalikan hak-hak yang dirampas dan menghukum
yang bersalah. Konteks keadilan ini terdapat dalam hukum harta benda (muamalah
maliyah) dan hukum pidana.
2. Keadilan
yang berkaitan dengan kewajiban pemerintah terhadap rakyatnya dalam menjamin
kebebasan dan kehidupan mata pencaharian mereka sehingga tidak ada orang lemah
maupun fakir miskin yang terabaikan.
C. Prinsip
Kebebasan
Kebebasan adalah pilar utama pemerintahan
Islam. Jika umat menjadi sumber legitimasi kekuasaan maka kedaulatan kekuasaan
tersebut dapat diwujudkan tanpa adanya pilar-pilar kedaulatan dalam diri setiap
umat. Kedaulatan itu mencakup juga adanya media untuk mengaktualisasi
kedaulatan tersebut. Adapun pilar pertama kedaulatan tersebut adalah adanya
kebebasan yang harus dijamin negara. Imam Asyahid Hasan Al Banna menyebutkan
kebebasan sebagai salah satu tuntutan Islam. Kebebasan itu mencakup
kebebasan berideologi, kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan mendapatkan
ilmu, dan kebebasan kepemilikan. Syaikh Muhammad Gazali menambahkan kebebasan
dari kemiskinan, rasa takut dan kebebasan untuk memerangi kezaliman.
Menurut Syaikh Abdul Qadir Audah, kebebasan
dengan maknanya yang seluas-luasnya telah menjadi asas bagi kehidupan umat
Islam. Kebebasan dalam konteks keyakinan tidak hanya mencakup pemberian
kebebasan kepada setiap orang untuk meyakini ideologi tertentu namun juga kewajiban
untuk melindungi kebebasan tersebut dengan cara:
1. Mengharuskan
umat manusia menghormati hak orang lain dalam meyakini, mengingkari dan
menjalankan prinsip ideologinya,
2. Mengharuskan
pemilik ideologi melindungi keyakinannya.
Adapun berkaitan dengan kebebasan mengemukakan
pendapat, Islam melindungi kebebasan tersebut. Setiap orang bebas mengatakan
apa saja yang dikehendaki tanpa melanggar hak-hak orang lain. Oleh karena itu,
kebebasan berbicara tidak boleh berupa celaan, tuduhan dan fitnah. Kebebasan
berbicara harus menjaga etika tersebut.
Salah satu isu krusial kebebasan adalah
kebebasan berpolitik. Menurut Muhammad Mubarak, ada dua hal yang menjadi hak
kebebasan berpolitik kaum Muslimin: Pertama, kebebasan untuk
memilih ahlul halli wal aqdiyang akan mewakili mereka dalam
mengangkat kepala negara atau pemimpin serta memberikan baiatnya. Kedua,kebebasan
untuk menyampaikan nasehat, kritik dan teguran kepada penguasa.
Dalam konteks memformulasi kebebasan
berpolitik tersebut, maka kaum Muslimin juga memiliki kebebasan untuk
berserikat dan mengorganisir dirinya untuk mengontrol pemerintah dan mewujudkan
kemaslahatan secara umum. Kebebasan berserikat itu dapat diwujudkan kedalam
bentuk pendirian organisasi, perserikatan dan bahkan partai politik. Pelbagai
bentuk organisasi, perserikatan dan partai politik dapat disejajarkan dengan
keragaman mazhab pemikiran dan fiqh dalam sejarah Islam. Mengutip
pendapat Muhammad Imarah dalam ‘Ma’rakatul Musthalahat baina al Gharbi wal
Islam’, kebebasan berserikat secara terminologis telah terjadi dan
dipraktekkan pada masa pertama Islam. Dalam Hadist Bukhari diriwayatkan
bahwa Aisyah Ra mengatakan isteri-isteri Nabi terbagi dalam dua kelompok
(Hizb), satu hizb terdapat Aisyah, Hafsah dan Shafiyah sedang hizb lainnya
ialah Ummu Salamah beserta isteri-isteri Rasulullah lainnya. Sementara secara
institusional, golongan Muhajirin pertama diantaranya, Abu Bakar, Umar bin
Khattab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan Abdurahman bin Auf adalah
organisasi yang memiliki kedudukan khusus yang dominant dalam khilafah, negara
dan masyarakat.
Memperkuat pandangan ini, Syaikh Yusuf
Qaradhawi menegaskan tidak ada larangan syariat dalam kebebasan berorganisasi
dan berserikat. Bahkan dalam realitas kontemporer eksistensi perserikatan
ataupun partai politik menjadi hal penting karena dapat berperan sebagai katub
pengaman dari kemungkinan bangkitnya kediktatoran dan meminimalisasi hilangnya
kekuatan amar ma’ruf nahi munkar. Namun beliau menetapkan dua
syarat:
1. Mereka
harus menerima Islam sebagai prinsip Aqidah dan Syari’ah.
2. Tidak
dalam rangka memusuhi atau bekerja untuk pihak-pihak yang memusuhi Islam.
D. Persamaan
(Musawwah)
Persamaan derajat adalah bagian hak-hak
individu dalam negara. Sayyid Qutb menyebutnya sebagai asas keadilan dalam
Islam. Jika umat manusia adalah anak keturunan Adam dan Islam memandang
kesatuan asal usul ini memberikan implikasi adanya hak, kewajiban dan tanggung
jawab yang sama. Allah SWT berfirman:
“Dan sesungguhnya telah kami muliakan
anak-anak Adam” (QS. Al Isra:70)
Rasulullah SAW bersabda
“Manusia itu sama bagaikan gigi-gigi sisir.” (al Hadist)
“Tidak
ada kelebihan antara Arab dan bukan Arab kecuali karena takwa. Tidak ada
kelebihan juga antara yang berkulit putih dengan yang berkulit hitam kecuali
karena takwa.” (HR. Bukhari)
Prinsip-prinsip persamaan derajat dalam Islam mencakup:
1. Persamaan
secara umum
Semua manusia sama dan sederajat dalam hak,
kewajiban dan tanggung jawab mereka. Tidak ada keistimewaan yang diberikan atas
satu orang dengan yang lainnya tanpa pengecualiaan. Artinya, setiap individu
dalam negara memiliki semua hak, kebebasan dan kewajiban yang juga dimiliki
yang lain tanpa dikriminasi apapun, baik ras, golongan, etnik maupun
agama. Di dalam konteks ini pula, kesetaraan ini
mencakup pula persamaan hak dan kewajiban antara perempuan dan pria. Perempuan
berhak atas hal-hal yang menjadi hak-hak lelaki sebagaimana perempuan juga
berkewajiban atas hal-hal yang menjadi kewajiban lelaki. Adapun dalam
konteks qawwamah (kepemimpinan) yang disebutkan dalam
Alqur’an, maka praktek kepemimpinan harus dijalankan dengan tanggung jawab.
Diluar itu, kaum pria tidak berhak ikut campur dalam perbuatan dan hak-hak yang
ditunaikan perempuan, termasuk didalamnya hak-hak politik, tentunya dengan
memperhatikan aspek keseimbangan. Muhammad Thahhan berpendapat bahwa
pembangunan masyarakat Islam tidak dapat dilakukan dengan cara menganggurkan
sebagian hak dan potensi warga negaranya (kaum perempuan).
2. Persamaan
didepan Hukum
Kepala negara dan rakyat pada umumnya memiliki
kesederajatan didepan hukum. Kepala negara dalam Islam tidak memiliki kekebalan
atau legitimasi kesucian teologis seperti halnya doktrin Kristiani. Jika
seorang kepala negara melakukan tindak pidana, maka kepala negara dapat dihukum
sebagaimana pelaku pidana lainnya didalam peradilan biasa.
3. Persamaan
Hak-Hak Sosial
Islam mengakui prinsip perbedaan dalam potensi
dan kemampuan. Oleh karena itu, semua potensi dan
kemampuan diberi hak yang sama. Konsekuensi dari pemberian hak-hak sosial yang
sama, negara harus menjamin kesejahteraan kepada setiap keluarga baik dalam
kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup dan kesempatan mendapatkan pendidikan yang
sama sesuai dengan bakat dan kemampuan. Adapun dalam konteks kesetaraan
hak-hak ahlul dzimmi (non Muslim), tidak ada perbedaan antara
ahlul dzimmi dengan kaum Muslimin dalam hak-hak sosial mereka kecuali perbedaan
dalam hal Aqidah. Kesetaraan dalam perspektif ini adalah memperlakukan kaum
Muslimin sesuai dengan aqidah mereka dan memperlakukan ahlul dzimmi tidak
sesuai dengan aqidah mereka. Namun diluar itu, ahlul dzimmi memiliki hak dan
kewajiban yang sama dengan kaum Muslimin dalam segala hal.
0 Komentar untuk "Kedudukan Negara dalam Islam "