Makalah
kelas 1
Di
sususn oleh : sayed aznan
ISIS
DALAM PANDANGAN TEORI REALIS
BAB I
1.1 LATAR BELAKANG
Islam adalah agama sekaligus mengatur sistem negara yang menjamin tegaknya
keadilan dan mewujudkan kesejahteraan umat manusia. Dalam merealisasikan tujuan
tersebut, Alqur’an meletakkan kaidah dan prinsip-prinsip umum yang berkaitan
dengan negara dan pemerintahan seperti penegakkan keadilan, penerapan
musyawarah, memperhatikan kesamaan, jaminan hak dan kebebasan berpendapat, dan
penetapan solidaritas sosial secara komprehensif serta hubungan pemimpin dan
rakyatnya seperti hak dan kewajiban timbal balik antara pemimpin dengan
rakyatnya. Islam hanya meletakkan kaidah-kaidah umum dan tidak menetapkan
bentuk ataupun aturan terperinci yang berkaitan dengan kepemimpinan dan
pengelolaan negara. Adapun bentuk ataupun model pemerintahan beserta metode
pengelolaannya menjadi ruang lingkup ijtihaj dan proses pembelajaran kaum
Muslimin dengan memperhatikan aspek kemaslahatan dan menyesuaikan
perkembangan zaman. Islam pada dasarnya mmengatur negara sesuai dengan
tentuan-tentuan yang di wahyukan dan di sabdakan rasullah, namun islam tidak
pernah merincikan bagaimana bentuk negara namun islam merujuk kepemimpinan
sebagaimana yang akan saya bahas dalam makalah saya.
Islam pada dasarnya agama yang
melihat kepemimpinan sebagai dasar dari imam, namun dari beberapa sumber yang
din kutip kepemimpinan yang telah di peraktekan oleh kurafaurrasyidin lebih
merujuk kepada kekhalifahan, konsep khalifah yang pernah di peraktekan oleh
para sahabat membuktikan bahwa pengaturan bernegara di pandang sebagai hal yang
sanggat penting, sehingga negara banyak peraturan yang harus di jalankan. Negara
yang dianggap sebagai sebuah instansi yang menjalankan peraturan menjadi wajib
di imani dengan kaedah yang sesuai dengan peraturan yang telah di tuliskan al
quran dan al hadis. Penyelengaraan hukum islam menjadi hal pokok kunci mengapa
islam mengatur negara agar sesuai dengan konsep yang telah ada, namun disisi
kepemimpinan islam juga mengatur hal-hal yang erat dengan konsep munsyawarah,
berikut akan kita lihat bagai islam mengkonsepkan negara agar sesuai dengan apa
yang telah perintahkan allah swt.
1.2
RUMUSAN MASALAH
2.
BAGAIMANA PANDANGAN ISLAM MENGENAI NEGARA…?
3.
BAGAIMANA PENJELASAN ISLAM TERHADAP
NEGARA……?
4.
SEPERTI APA PERBANDINGAN NEGARA DALAM
ISLAM DENGAN NEGARA BIASA….?
1.3 TUJUAN PENULISAN
1. Agar
dapat menjelaskan bagaimana pandangan islam mengenai negara.
2. Supaya
mengetahui penjelasan negara dalam islam beserta strukturnya.
3. Agar
dapat memahami perbandingan negara dalam isllam beserta strukturnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. MENGENAL NEGARA DALAM PERSPEKTIF
ISLAM
Sebelum menjelaskan prinsip-prinsip utama negara dalam perspektif Islam, lebih
bijak jika kita menjelaskan kedudukan yang saling berkait dan vital negara dan
pemerintahan dalam Islam. Prof. Muhammad al Mubarak dalam Nizham al Islam: al Mulk wad Daulah menjelaskan
setidaknya terdapat enam alasan pentingnya kedudukan negara dan pemerintahan
dalam Islam berdasarkan sumber dalam Alquran, Sunnah dan praktek Shahabat:
1.
Alqur’an memiliki seperangkat hukum
yang pelaksanaannya membutuhkan institusi negara dan pemerintahan. Diantara
seperangkat hukum itu adalah hukum yang berkenaan dengan pelaksanaan hudud dan
qishas, hukum yang berkaitan harta benda(mal) serta
hukum yang menyangkut kewajiban jihad.
2.
Alquran
meletakkan landasan yang kokoh baik dalam aspek aqidah, syari’ah dan akhlak
yang berfungsi sebagai bingkai dan menjadi jalan hidup kaum Muslimin.
Pelaksanaan dan pengawasan ketiga prinsip utama dalam peri kehidupan kaum
Muslimin tidak pelak membutuhkan intervensi dan peran negara.
3.
terdapat ucapan-ucapan Nabi yang
dapat menjadi istidlal bahwa
negara dan pemerintahan menjadi elemen penting dalam ajaran Islam.
Ucapan-ucapan Nabi itu meliputi aspek imarah(kepemimpinan), al walayah (keorganisasian), al hukmu (kepemerintahan) dan al qadha (ketetapan hakim).
Beberapa hadist itu diantaranya:
Tidak halal bagi tiga orang yang sedang berada di sebuah perjalanan
kecuali salah seorang diantara mereka menjadi pemimpin. (HR.
Ahmad)
Mengomentari
hadist ini, Syaikh Ibnu Taimiyyah mengatakan, Adalah wajib mengangkat kepemimpinan sebagai bagian pelaksanaan agama
(ad Dien) dan sebagai perbuatan mendekatkan diri kepada Allah.
Al Imam adalah pemimpin rakyat dan ia bertanggung jawab atas yang
dipimpinnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Barang siapa yang mati tidak terikat baiat maka matinya dalam mati
jahiliyyah. (HR. Muslim)
Barangsiapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan kepada imamnya,
maka ia pada hari kiamat tidak memiliki hujjah. (HR. Muslim)
4.
adanya perbuatan Nabi yang dapat
dipandang sebagai bentuk pelaksanaan tugas-tugas negara dan kepemerintahan.
Nabi mengangkat para gubernur, hakim, panglima perang, mengirim pasukan,
menarik zakat dan rampasan perang, mengatur pembelanjaan, mengirim duta,
menegakkan hudud, dan melakukan perjanjian dengan negara lain. R. Strothman
dalam Encyclopedia of Islam mengatakan, Islam adalah fenomena agama politik sebab
pendirinya adalah seorang Nabi dan sekaligus kepala Negara.
5.
setelah wafatnya Nabi, para shahabat
menunda pemakaman Nabi dan bergegas bermusyawarah memilih pengganti (Khalifah)
Nabi. Tindakan para shahabat ini menunjukkan betapa pentingnya
kepemimpinan dalam Islam dan kesepakatan (ijma’) mereka dalam hal ini (mengangkat kepemimpinan
pengganti Nabi) dapat menjadi sumber hukum Islam.
6.
hal ikhwah kepemimpinan (imarah) telah menjadi bagian
kajian dan pembahasan para ahli fiqh didalam kitab-kita mereka disepanjang
sejarah.
B.
Kaidah-Kaidah Dasar Dalam
Sistem Politik Islam
Kepemimpinan (Khilafah)
Khalifah adalah
bentuk tunggal dari khulafa yang berarti menggantikan orang
lain disebabkan ghaibnya (tidak ada di tempat) orang yang akan digantikan atau
karena meninggal atau karena tidak mampu atau sebagai penghormatan terhadap apa
yang menggantikannya. Ar Roghib Al Asfahani dalam mufradat mengatakan maknakholafa
fulanun fulanan berarti bertanggung jawab terhadap urusannya secara
bersama-sama dengan dia atau setelah dia. Dalam konteks firman Alloh SWT dalam
surat Al Baqoroh, ayat 20, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah
dimuka bumi,” para mufasir menjelaskan bahwa khalifah Allah adalah
para nabi dan orang-orang yang menggantikan kedudukan mereka dalam
menjalankan ketaatan kepada Allah, mengatur urusan manusia dan menegakkan hukum
secara adil. Menurut Roghib Asfahani, penisbatan itu sendiri adalah bentuk
penghormatan yang diberikan Allah SWT kepada mereka.
Khilafah (kepemimpinan) menjadi isu krusial dan tema sentral dalam sistem
politik Islam. Sedemikian krusialnya isu itu membuat para shahabat menunda
pemakaman Nabi untuk berkumpul di Bani Tsaqifah. Mereka bermusyarah untuk
mengangkat pemimpin (Kholifah) pengganti Nabi.
Allah SWT berfirman:
“Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa (khalifah) dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi
mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan
menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa.
mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan
Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah
orang-orang yang fasik” (QS.24:55)
Nabi SAW bersabda:
“Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul
anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya.
Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah. Para sahabat
bertanya,‘Wahai Rasulullah, apa yang anda perintahkan kepada kami?’ Beliau
berkata: ‘Tetapilah baiat yang pertama dan kemudian sesudah itu, penuhilah hak
mereka sepenuhnya. Allah akan meminta pertanggung jawaban mereka” (HR.
Bukhari dan Muslim).
“Sesungguhnya
Allah SWT telah memulai perkara tersebut dengan nubuwwah dan rahmat, kemudian
diganti dengan kekhalifahan dan rahmat, namun diganti setelah itu sistem
kerajaan yang zalim. Kemudian diganti setelah itu pemerintahan diktator yang
menghalalkan kebebasan seks, khamer dan sutra. Mereka menang atas itu dan
diberi rezeki sampai menghadap Allah Azza wa Jalla.” (HR. Abu
Hurairah)
Terminologi Khilafah sendiri dipakai untuk
menjelaskan tugas yang diemban para pemimpin pasca kenabian. Istilah itu
digunakan untuk membedakan sistem kerajaan dan kepemimpinan diktator. Hal ini
menyiratkan bahwa terminologi khilafah yang dimaksud dalam pelbagai hadist
diatas adalah bahwa sistem khilafah ini sejalan dengan prinsip-prinsip
kenabian (nubuwwah). Sistem
kepemimpinan ini dibangun dari antitesis sistem kerajaan dimana kekuasaan
berdasarkan pewarisan keluarga (dinasti) ataupun sistem diktator yang cenderung
berbuat zalim dan tidak disukai rakyat. Ibnu Taimiyah dalam Minhajus Sunnah menjelaskan
bahwa “Khulafaur Rasyidin yang
berlangsung tiga puluh tahun adalah kepemimpinan kenabian dan kemudian urusan
itu pemerintah beralih ke Muawiyyah, seorang raja pertama. Al Mulk (raja-raja)
adalah orang-yang memerintah yang tidak mnyempurnakan syarat-syarat
kepemimpinan dalam Islam (khilafah).
Menurut
hemat saya, kepemimpinan dalam perspektif khilafah lebih merefleksikan
pemahaman terhadap nilai dan prinsip kepemimpinan yang benar menurut Islam
ketimbang sebagai sebuah eksistensi maupun bentuk pemerintahan. Khilafah lebih
merupakan substansi nilai yang bersifat tetap ketimbang perincian-perincian
institusional yang bersifat dinamis. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Ibnu
Taimiyyah seperti yang dikemukakan oleh Qomaruddin Khan dalam The Political Thought of Ibn Taimiyyah bahwa
kekhilafahan sebagai prinsip nilai dan idealitas yang diembannya, yakni
penegakan syariah bukan sebagai lembaga pemerintahan. Kekhilafahan sebagai sebuah
nilai setidaknya mengacu kepada dua hal pokok, yakni pertama, kepemimpinan (khilafah)
itu harus merefleksikan kewajiban meneruskan tugas-tugas pasca kenabian
untuk -meminjam istilah Ibnu Hayyan- mengatur urusan umat, menjalankan
hukum secara adil dan mensejahterakan umat manusia serta melestarikan
bumi. Kedua, kepemimpinan
harus dibangun berdasarkan prinsip kerelaan dan dukungan mayoritas umat, bukan
pendelegasian kekuasaan berdasarkan keturunan (muluk) dan kediktatoran (jabariyah). Mengutip Ibnu Taimiyyah dalam Minhaj Assunah, Abu Bakar RA diangkat
bukan karena kedekatannya dengan Rasulullah SAW atau karena dibaiat Umar Ibnul
Khatab RA namun karena diangkat dan dibaiat oleh mayoritas umat Islam.
Islam
tidak menetapkan khilafah seperti institusi politik dengan hirarki dan pola
kelembagaan baku yangrigid dan
memiliki otoritas politik tanpa batas seperti laiknya raja. Ini berarti Islam
memberikan keluasan kepada kaum Muslimin untuk merumuskan aplikasi kekuasaan
dan bentuk pemerintahan beserta perangkat-perangkat yang dibutuhkan dengan
memperhatikan faktor kemaslahan dan kepentingan perubahan zaman. Keluasan
tersebut adalah hikmah bagi kaum Muslimin, dimanapun mereka menemukan maka
berhak memungutnya. Rasulullah SAW mengadopsi sistem administrasi pemerintahan
Romawi dan metode pengelolaan kekayaan negara ala kerajaan Persia. Al Mawardi
dalam Ahkamul Sulthaniyyah memiliki
pendapat menarik perihal evolusi menuju penyempurnaan lembaga-lembaga
kenegaraan dan pendelegasian kekuasaan pada masa Khulafaur Rasyidin.
Menurutnya, lembaga Qadhi baru muncul pada masa kepemimpinan amirul mukminin,
Ali bin Abi Thalib RA dan mengalami penyempurnaan pada masa Umawiyyah.
Sebelumnya, perkara perselisihan ditangani langsung oleh Ali namun seiring
meluasnya kekuasaan Islam dan mulai merosotnya integritas moral kaum Muslimin
maka diangkat Syuraih RA untuk mengambil alih peran beliau dalam menyelesaikan
perkara. Selanjutnya, penyelesaian perkara perselisihan ditangani oleh lembaga
Qadhi yang diangkat khusus oleh Khalifah.
Secara
garis besar –menurut Al Mawardi- ada 10 tugas pemimpin dalam Islam, yakni:
pertama, menjaga kemurnian agama. Kedua, membuat
keputusan hukum di antara pihak-pihak yang bersengketa. Ketiga, menjaga kemurnian
nasab. Keempat, menerapkan
hukum pidana Islam. Kelima, Menjaga
keamanan wilayah dengan kekuatan militer. Keenam, mengorganisir Jihad dalam menghadapi pihak-pihak
yang menentang dakwah Islam.Ketujuh, mengumpulkan
dan mendistribusikan harta pampasan perang dan zakat. Kedelapan, membuat anggaran
belanja negara. Kesembilan, melimpahkan
kewenangan kepada orang-orang yang amanah. Kesepuluh, melakukan pengawasan melekat kepada hirarki
dibawahnya, tidak semata mengandalkan laporan bawahannya, sekalipun dengan
alasan kesibukan beribadah. Sementara Ibnu Hazm dalam “Mihal wa an Nihal” berpendapat bahwa tugas pemimpin adalah
menegakkan hukum dan konstitusi, menyiarkan Islam, memelihara agama dan
menggalang jihad, menerapkan syari’ah, melindungi hak asasi manusia,
menyingkirkan kezaliman dan menyediakan kebutuhan bagi setiap orang.
C.
Karakter
Kepemimpinan Islam
Karakter kepemimpinan dalam Islam adalah kepemimpinan sipil. Mandat
kepemimpinan dalam Islam tidak ditentukan oleh Tuhan namun dipilih oleh umat.
Kedaulatan milik Tuhan namun sumber otoritas kekuasaan adalah umat Islam.
Pemimpin tidak memiliki kekebalan dosa (ma’shum) sehingga memungkinkan yang bersangkutan
menggabungkan semua kekuasaan baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif dalam
genggamannya. Islam tidak mengenal jenis pemerintahan seperti yang dilakukan
Eropa di abad pertengahan sebab khalifah dipilih dan dapat diberhentikan
oleh rakyat. Ibnu Hazam menyatakan bahwa para ulama bersepakat (ijma) perihal wajibnya khilafah
atau imarah (kepemimpinan) dan bahwa penentuan khalifah atau pemimpin menjadi
kewajiban kaum Muslimin dalam rangka melindungi dan mengurus kepentingan
mereka.
Oleh
karena itu, Abu Bakar Ra menolak mendapatkan panggilan khalifah Allah dan
memilih sebutan khalifah rasul karena dia mewakili Nabi dalam menjalankan tugas
kepemimpinan dan sebagai khalifah, beliau juga memahami kekuasaannya bersifat
temporal, yang dipilih dan diawasi rakyat. Dengan demikian, pemimpin bukan
wakil Tuhan dimuka bumi. Dalam kepemimpinan sipil, umat mengontrol dan
memberhentikannya. Semua mazhab Ahli
Sunnah wal Jamaah menyakini bahwa Rasulullah SAW tidak mencalonkan
seorangpun untuk memegang kendali kepemimpinan sepeninggal beliau. Abu Bakar
menjadi khalifah karena dipilih kaum Muslimin bukan karena menggantikan Nabi
SAW menjadi imam shalat. Demikian pula Umar diangkat sebagai khalifah bukan
semata karena diusulkan Abu Bakar namun karena beliau dipilih para sahabat dan
dibaiat mayoritas kaum Muslimin.
Adapun
berkaitan dengan pembagian wewenang kekuasaan eksekutif, legislatif dan
yudikatif dalam pandangan Ali Bahnasawi lebih merefleksikan kebutuhan yang
tidak terelakkan baik dalam perspektif strategis maupun teknis. Nabi SAW
sendiri telah mendelegasikan beberapa aspek legislatif kepada para sahabat dan
sepeninggal beliau, wewenang legislatif dan yudikatif dipisahkan dari tugas
kekhalifahan. Kondisi inipula yang secara alamiah menjadi titik pijak
trasformasi sistem peradilan sepanjang pemerintahan Islam pasca Nabi SAW,
seperti adanya lembaga qadhi dan hisbah, mahkamah mazhalim dan lain-lain. Dalam
konteks strategis, pembagian kekuasaan adalah sebagi upaya untuk mengurangi
kemungkinan adanya pelanggaran kekuasaan(abuse
of power) sebagai akibat terkonsentrasinya kekuasaan. Mengutip Lord
Acton, power tends to corupt,
absolute power tends to absolute corrupt. Tabiat kekuasaan tanpa kendali
moral akan cenderung korup dan menindas maka selain integritas moral dibutuhkan
sistem yang dapat menggaransi tabiat jahat kekuasaan tersebut muncul.
D.
Syarat-Syarat kepemimpinan dalam Islam
Secara umum, Alqu’ran
mensyaratkan seorang pemimpin diangkat karena factor keluasan pengetahuan(ilmi) dan
fisik (jism) seperti dijelaskan dalam:
“Nabi mereka mengatakan
kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi
rajamu." mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal
kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak
diberi kekayaan yang cukup banyak?" nabi (mereka) berkata:
"Sesungguhnya Allah Telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang
luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa
yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.(QS. Al Baqarah:247)
Rasulullah SAW
bersabda:
“Barang
siapa mengangkat seseorang untuk mengurusi perkara kaum Muslimin, lalu
mengangkat orang tersebut, sementara dia mendapatkan orang yang lebih layak dan
sesuai daripada orang yang diangkatnya maka dia telah berkhianat kepada Allah
dan Rasulnya.” (HR Hakim)
“jika suatu urusan
diserahkan kepada bukan ahlinya, tunggulah saat kehancurannya.” (HR. Muslim)
Syarat kepemimpinan
menurut Ibnu Taimiyyah mencakup dua aspek, yakni qawiy kekuatan (fisik
dan intektual) dan amin (dapat dipercaya). Sedangkan Al
Mawardi menetapkan tujuh syarat kepemimpinan yang mencakup adil, memiliki
kemampuan berijtihaj, sehat jasmani, tidak memiliki cacat fisik yang
menghalangi menjalankan tugas, memiliki visi yang kuat, pemberani dalam
mengambil keputusan, memiliki nasab Quraisy. Ibnu Khaldun sendiri mensyaratkan
empat hal yang harus dimiliki pemimpin, yakni: ilmu, keadilan, kemampuan serta
keselamatan indera dan anggota tubuh lainnya. Perihal syarat nasab Quraisy,
Ibnu Khaldun memandang bukan syarat utama dan tidak boleh menjadi ketetapan
hukum yang mengikat.
Berpijak dari pemahaman umum nash dari Al qur’an dan Sunnah, serta pandangan
ulama, setidaknya ada tiga syarat utama kepemimpinan dalam Islam, yakni
integrasi aspek keluasan ilmu, integritas moral (kesalihan individual) dan
kemampuan profesional. Yang dimaksudkan keluasan ilmu, seorang pemimpin tidak
hanya mampu menegakkan keadilan berdasarkan prinsip-prinsip dan kaidah syariah,
namun juga mampu berijtihaj dalam merespon dinamika sosial politik yang terjadi
ditengah masyarakat. Sementara kesalihan adalah kepemilikan sifat amanah,
kesucian dan kerendahan hati dan istiqomah dengan kebenaran. Adapun
professional adalah kecakapan praktis yang dibutuhkan pemimpin dalam mengelola
urusan politik dan administrasi kenegaraan.
Jika tidak dipenuhi
keseluruhan syarat-syarat tersebut maka diperintahkan mengambil yang ashlah
(lebih utama). Misalnya, jika kaum Muslimin dihadapkan kepada situasi untuk
memilih salah satu dari dua pilihan yang buruk, yakni antara seorang pemimpin
yang shalih namun tidak cakap dengan seorang pemimpin yang cakap namun kurang
shalih maka menurut Ibnu Taimiyyah hendaknya didahulukan memilih pemimpin yang
cakap sekalipun kurang salih. Karena seorang pemimpin yang salih namun
tidak cakap maka kesalihan tersebut hanya bermanfaat bagi dirinya namun ketidakcakapannya
merugikan masyarakat sebaliknya pemimpin yang cakap namun kurang shalih maka
kecakapannya membawa kemaslahatan bagi masyarakat sementara ketidaksalihannya
merugikan dirinya sendiri.
E.
Mekanisme Pengangkatan Kepemimpinan
Alqur’an dan Assunah tidak menetapkan mekanisme ataupun tata cara pemilihan
kepala negara. Adapun mekanisme ataupun tata cara penetapan kepala negara
bersandar kepada praktek yang disepakati para sahabat(ijma’) dalam
menentukan pengganti sepeninggal Rasulullah. Mereka berturut-turut memilih Abu
Bakar, Umar hingga terakhir Ali Bin Abi Thalib dengan cara yang berbeda. Abu
Bakar ditetapkan melalui musyawarah sebagian kaum Muslimin di Bani Tsaqifah
yang diikuti baiat mayoritas kaum Muslimin kepada Abu Bakar. Umar bin Khattab dipilih
melalui musyawarah Abu Bakar dengan para sahabat terkemuka. Abu Bakar
mengusulkan Umar untuk menggantikannya. Para sahabat tidak keberatan dengan
usulan tersebut dan selanjutnya Umar ditetapkan sebagai khalifah melalui baiat.
Namun Umar menempuh cara yang berbeda dengan Abu Bakar dalam pengangkatan
Khalifah. Beliau menunjuk enam orang sahabat dan meminta mereka untuk memilih
salah seorangnya menjadi khalifah. Keenam sahabat itu adalah Ustman bi Affan,
Ali Bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi
Waqqas dan Abdurrahman bin Auf. Mereka bersepakat memilih Ustman bin Affan
menggantikan Umar bin Khattab dan meminta persetejuan rakyat melalui baiat.
Setelah syahidnya Ustman bin Affan, Ali Bin Abi Thalib secara aklamasi dibaiat
menjadi khalifah oleh mayoritas kaum Muslimin Madinah dan Kufah.
Dari ijma’ para sahabat, maka dapat disimpulkan bahwa pendelegasian kekuasaan
dalam sistem politik Islam harus mengacu kepada dua hal:
1. Penetapan
kekuasaan publik harus melalui metode pemilihan. Hal ini sejalan dengan Sabda
Nabi SAW kepada Anshar,”Keluarkanlah kepadaku dua belas wakil diantara
kalian untuk mewakili urusan kaum mereka.” (HR. Bukhari). Para
wakil (Ahlul halli wal aqdi) itu dipilih oleh rakyat untuk
memilih pemimpin, mengawasinya dan memberhentikan jika pemimpin melakukan
kekufuran yang nyata. Qadhi Abu Ya’la menyatakan bahwa seorang khalifah tidak
diperkenankan mengangkat khalifah sepeninggalnya karena hal terebut
bertentangan dengan maqosid syariah (prinsip-prinsip syariah). Secara umum,
pemilihan kepala negara dilakukan dalam dua tahap, pertama, pencalonan kepala
negara yang dilakukan ahlul halli wal aqdi dan kedua,
penetapan kepala negara yang yang dilakukan oleh seluruh rakyat melalui akad
baiat(kontrak politik), yang dianggap persetujuan rakyat.
2. Pemimpin
menjalankan otoritasnya sesuai dengan kontrak politik (akad) antara
dirinya dengan rakyat. Akad ini diwujudkan dalam baiat yang diwakili antara
pemimpin dengan ahlul halli wal aqdi. Setelah itu dilakukan baiat
umum antara pemimpin dengan seluruh rakyat untuk menunjukkan bahwa legitimasi
kekuasaan berasal dari rakyat dan pemimpin yang diangkat mewakili kepentingan
rakyat. Dengan demikian, karakter kekuasaan dalam Islam adalah kepemimpinan
sipil, bukan teokrasi, kekuasaan yang didapatkan dari Tuhan. Hal ini sejalan
dengan pendapat Ibnu Hazm yang menyatakan bahwa penentuan khilafah merupakan
kewajiban kaum Muslimin dalam rangka melindungi dan mengurusi kepentingan
mereka.
F.
Ahlul Halli Wal Aqdi
(Sistem Legislatif)
Secara
bahasa, ahlul halli wal aqdi terdiri dari tiga kalimat yakni:
·
Ahli, artinya
orang yang berhak, atau yang memiliki
·
Halli, berarti melepaskan,
menyesuaikan, memecahkan
·
Aqdi, memiliki arti mengikat,
mengadakan transaksi, membentuk
Jadi jika
didefinisikan, ahlul halli wal aqdi berarti orang-orang yang
berhak mengangkat kepala negara dan membatalkan jika dipandang perlu.
Mereka juga dikenal dengan nama ahlul ijtihaj dan ahlul
ihtiyar. Pada dasarnya ahlul halli wal aqdi adalah wakil
rakyat yang menjalankan tugasnya mengontrol dan mengevaluasi kekuasaan. Anggota ahlul
halli wal aqdi terdiri atas para ulama, pejabat daerah, kepala suku,
kelompok professional dan intelektual yang dipilih dan mewakili rakyat
berdasarkan penjelasan Nabi dalam hadist yang diriwayatkan Bukhari kepada
kelompok Anshar untuk mengangkat 12 wakil yang akan mengatur urusan mereka.
Imam Asyahid Hasan al Banna menjelaskan keanggotaan Ahlul Halli Wal Aqdi
mencakup sekurangnya tiga kelompok, yakni: para fuqoha’, para pakar dalam
disiplin ilmu tertentu, dan orang-orang yang memiliki integritas kepemimpinan.
Tugas dan wewenang ahlul halli wal aqdi mencakup dua
hal:
1.
Mengikat pelaksanaan kekuasaan dengan prinsip-prinsip syariah. Ruang
lingkup wewenang ini meliputi, pertama, menetapkan hukum-hukum
baru. Kedua, menjelaskan hukum yang dituntut oleh hukum yang
ada.
2.
Menjalankan otoritas yang berkaitan dengan pengangkatan dan penghentian kepala
negara.
Al
Mawardi menetapkan tiga syarat yang harus dipenuhi anggota ahlul halli
wal aqdi, yakni adil, memiliki ilmu yang bertalian dengan aspek-aspek
kepemimpinan, dan memiliki kemampuan verifikasi calon-calon pemimpin.
Mazhab Ahlus Sunnah berpendapat bahwa ahlul halli wal aqd memiliki
kewenangan menurunkan menurunkan kepala negara. Kepala negara dapat diturunkan
jika dipandang tidak dapat menunaikan tugas. Menurut Al Mawardi menjelaskan
kepala negara dapat diturunkan karena dua hal:
1. Hancurnya
kredibilitas personal karena perbuatan fasik, baik berkaitan dengan perbuatan
amoral maupun perbuatan syubhat dalam prinsip aqidah.
2.
Hilangnya kemampuan fisik sehingga menghalangi kepala negara menjalankan
kewajibannya, seperti kehilangan akal, penglihatan dan dalam keadaan tertawan.
Para
ulama bersepakat bahwa kekufuran yang nyata (keluar dari agama) menjadi sebab
gugurnya hak kepemimpinan demikian pula kewajiban untuk mencopotnya dari
jabatannya, sekalipun dengan jalan kekerasan. Namun kita mendapati perbedaan
pendapat dikalangan ulama tentang keadaan pemimpin yang melakukan perbuatan
kemaksiyatan (dosa besar) dan perbuatan bid’ah. Arus utama yang diwakili
mayoritas Sunnah berpendapat menahan diri jauh lebih baik sekiranya perlawanan
yang dilakukan justru membawa kemadharatan yang lebih besar namun sebaliknya
aliran Syiah, pemimpin seperti itu wajib diturunkan sekalipun dengan kekuatan
bersenjata (bughot). Dalam hal ini, saya condong pendapat mazhab
Ibnu Hanifah bahwa pemimpin yang melakukan perbuatan dosa besar harus
diturunkan. Namun kontekstualisasi pencopotan pemimpin yang lancung tersebut
tidak dengan kekuatan senjata namun melalui sistem dan mekanisme konstitusional
seperti yang diadopsi negara-negara maju dewasa ini.
Dalam hemat saya, tradisi kepemimpinan dalam umat tidak menyediakan exit
strategy bagi suksesi kepemimpinan dalam kondisi tidak normal sebagai
akibat praktek amoral, penyimpangan dan korupsi yang dilakukan pemimpin.
Akibatnya, proses suksesi disepanjang sejarah berakhir dengan pertumpahan darah
dan merenggut banyak nyawa. Kaidah-kaidah politik dalam Islam memang memberikan
legitimasi politik bagi pencabutan kekuasaan politik yang menyeleweng namun
tidak banyak membahas mekanisme ataupun tata cara penggantian kepemimpinan yang
dipandang menyimpang secara damai dengan menghindari pertumpahan darah. Kajian
fiqh Islam lebih banyak menyoroti opsi kemungkinan pembangkaan ataupun
penggunaan kekuatan bersenjata (pemberontakan). Opsi ini sangat tipikal dengan
situasi historis bangsa-bangsa yang dalam situasi konflik dan peperangan. Namun
dalam konteks sekarang, opsi ini menjadi tidak relevan karena kekuatan
bersenjata tidak layak digunakan untuk kepentingan suksesi kepemimpinan.
namun seharusnya digunakan untuk menjaga kedaulatan negara. Oleh karena
itu, kita berkepentingan untuk meletakkan landasan konstitusional yang kuat
bagi mekanisme suksesi kepemimpinan secara damai, minus pertumpahan darah.
Kita
patut mengapresiasi dan belajar dari Barat tentang mekanisme dan tata cara
suksesi kepemimpinan secara damai dan elegan. Barat secara politik dan kultural
belajar dan memperbaiki kesalahan sebagai akibat pergulatan kekuasaan yang
panjang diantara mereka. Secara politik, mereka membuat sistem dan
mekanisme pergantian kekuasaan baik dalam kondisi normal maupun luar biasa
dengan memadai. Sedangkan secara kultural, terbangunnya kesiapan mundur jika
seorang pemimpin dipandang publik gagal dalam menjalankan tugas. Hal ini sangat
penting karena banyak pemimpin dengan kesadaran sendiri mundur dari jabatannya
sebelum secara konsititusional diturunkan paksa. Richard Nixon, Presiden AS
mundur setelah terbongkarnya skandal Watergate. Tony Blair, Perdana Menteri
Inggris tidak meneruskan jabatan keduanya sebagai setelah dikritik tajam dalam
skandal Irak, bahkan kini dia menghadapi investigasi parlemen atas kasus
tersebut. Mekanisme politik yang dibangun dalam suksesi kepemimpinan pada satu
sisi memberikan ruang kontrol politik yang efektif bagi rakyat dari
penyalahgunaan kekuasaan dan pada sisi lain mampu meminimalisasi instabilitas
keamanan dan politik.
Kaidah-kaidah kepemimpinan dalam Islam memberikan ruang adanya lembaga ahlul
halli wal aqdi yang dalam wewenangnya memiliki hak mengangkat dan
bahkan mencopot kepala negara, namun wewenang tersebut dengan sendiri membutuhkan
sistem dan mekanisme yang
sehingga proses suksesi tersebut berjalan dengan mulus dan tanpa goncangan
politik yang berarti. Dengan demikian ada proses kontrol, pengawasan dan
evaluasi atas kekuasaan yang dilakukan ahlul halli wal aqdi dan
rakyat. Jika dalam rentang waktu yang ditetapkan tersebut, kepala negara
melakukan pelanggaran ataupun kinerjanya mengecewakan maka pemimpin tersebut
secara konstitusional dapat diturunkan.
Hemat
saya pula, ukuran ketidakmampuan kepala negara dalam melanjutkan
kepemimpinannya tidak sebatas kepada dua prasyarat seperti yang ditetapkan oleh
Al Mawardi mapun para pakar fikih lainnya, namun juga menyangkut kepada
kecakapannya dalam melaksanakan tugas dan kewajiban yang diamanatkan rakyat
berdasarkan ukuran dan standar (kontrak politik) yang ditetapkan oleh
lembaga ahlul halli wal aqdi. Karena hakekat kepemimpinan
politik dalam Islam seperti yang dijelaskan sebelumnya adalah pendelegasian
wewenang dan kekuasaan yang diberikan rakyat melalui kontrak politik antara penguasa
dan rakyat. Penguasa menjalankan amanah yang diberikan rakyat sebagai gantinya
rakyat memberikan loyalitasnya kepada penguasa. Jika pemimpin tidak mampu
menjaga distribusi pangan, menjaga kedaulatan negara atau gagal meningkatkan
standar hidup masyarakat seperti yang dijanjikan maka pemimpin tersebut layak
diganti sekalipun tidak melakukan perbuatan dosa atau merusak prinsip-prinsip
Islam.
G.
Rotasi Kepemimpinan
Salah
satu isu yang menjadi pokok perdebatan adalah perlukah pembatasan durasi
kekuasaan. Di banyak negara maju, masa kepemimpinan
dibatasi selama dua periode. Gagasan itu pertama kali diperkenalkan dalam
amandemen ke 22 konstitusi AS, 1933 yang membatasi durasi jabatan presiden
hanya dua kali. Sejarah politik Islam sendiri tidak mengenal pembatasan durasi
kepemimpinan. Pemimpin dapat memegang jabatan seumur hidup sepanjang tidak
melanggar prinsip-prinsip syariah. Penggantian kekuasaan hanya terjadi jika
pemimpin meninggal, dikudeta ataupun dibunuh. Hampir tidak ada penggantian
kekuasaan terjadi secara sukarela dalam sejarah Islam kecuali dalam dua
peristiwa, mundurnya Husain dari jabatan khalifah dan menyerahkannya kepada
Yazid bin Muawiyah sehingga peristiwa tersebut dinamakan ‘Amul Jamaah’ (tahun
kembalinya persatuan) dan Jenderal Abdurrahman Siwarudzahab dari Sudan yang
menyerahkan kekuasaan kepada rakyat.
Sementara itu, gagasan pembatasan durasi kekuasaan dalam sistem politik Islam
dipandang sebagai perbuatan bid’ah. Padahal, selain dipandang baik dalam sistem
pemerintahan yang demokratis, rotasi kekuasaan secara obyektif dibutuhkan dalam
realitas sosio-politik yang dinamis. Kesalahpahaman ini dalam pandangan Syaikh
Yusuf Qaradhawi terjadi karena mencampuradukkan antara urusan amaliah dan
akidah, antara sunnah dan bid’ah (yang seharusnya dipahami penambahan unsur
baru dalam akidah dan ibadah), antara kedudukan sunnah dengan siroh (sejarah
nabi). Siroh hendaknya didudukkan dalam dua hal, yakni pertama, tidak
mensyaratkan sumber periwayatan yang ketat sehingga para ulama tidak memasukkan
dalam definisi Sunnah dankedua, siroh dikategorikan sebagai
perbuatan (fi’li) Nabi SAW yang secara hukum tidak mengikat.
Ada setidaknya tiga pandangan perihal pentingnya rotasi kekuasaan dalam sistem
pemerintahan Islam:
1. Rentang
waktu kepemimpinan yang lama dipandang memberikan kesempatan bagi pemimpin
mengkonsolidasikan kekuasaan demi kepentingan dirinya.
2. Pentingnya
melakukan regenerasi dan kaderisasi kepemimpinan. Regenerasi dan
kaderisasi dibutuhkan dalam mengoptimalisasikan potensi demi menjaga eksistensi
umat Islam.
3. Mengutip
Syaikh Yusuf Qaradhawi, rotasi kepemimpinan akan menjaga kedamaian dan
ketenangan umat.
Prinsip-Prinsip
Penyelenggaraan Negara dalam Islam
H.
Prinsip Syura
Syura secara harfiah
berarti menyarikan atau mengambil madu dari sarang lebah. Sedang makna
yuridisnya adalah menyarikan suatu pendapat (ra’yu) berkenaan dengan suatu
permasalahan tertentu. Ar Ragib Asfahani mendefinisikan Syura adalah
mengeluarkan pendapat dengan mengembalikan sebagiannya pada sebagian yang lain,
yakni menimbang satu pendapat dengan pendapat lain untuk mendapatkan satu
pendpat yang disepakati.
Syura adalah salah
satu prinsip penting tentang pemerintahan yang dijelaskan dalam al Qur’an.
Prinsip ini mengharuskan kepala negara dan pemimpin pemerintahan untuk
menyelesaikan semua permasalahan-permasalahan masyarakat melalui
permusyawaratan. Betapa pentingnya prinsip ini, Alqur’an bahkan mensejajarkan
syura dengan perintah menjalankan pilar-pilar Islam lainnya seperti iman,
shalat dan zakat. Artinya, syura harus diperlakukan dengan dasar serupa dan
diberi tempat yang sama pentingnya dalam pengaturan masalah-masalah
sosial-politik dalam masyarakat Islam. Allah SWT berfirman:
“Orang-orang yang
mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan
dengan jalan musyawarah diantara mereka dan menafkah sebagaian rezeki yang kami
berikan kepada mereka.” (QS. 42:38)
Uniknya, ayat ini
diturunkan di Mekkah sebelum keberadaan Islam diungkap secara terang-terangan.
Belakangan, setelah pemerintahan Islam terbentuk di Madinah, perintah syura
semakin dipertegas kedudukannya dalam Alqur’an sehingga menjadi landasan
tektual pemerintahan Islam.
“Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (masyarakat) itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan keputusan, maka bertawakkallah kepada Allah.” (QS.
3:159)
At Thabari menyebut syura sebagai salah satu dari ‘azaim al ahkam,
yakni prinsip fundamental syariat yang esensial bagi substansi dan identitas
pemerintahan Islam. Dengan memperhatikan bahwa Allah SWT memerintahkan Nabi SAW
bermusyawarah dengan sahabat meskipun dibimbing langsung wahyu, maka Ibnu
Taimiyah berpendapat konteks perintah Alqur’an lebih tegas lagi kepada generasi
Muslim selanjutnya yang tidak lagi berjumpa dengan Nabi dan tidak memiliki
akses langsung dengan wahyu. Dengan demikian, menurut Muhammad Abduh, Abdul
Karim Zaidan, Maududi, Abdul Qadir Awdah, Syura adalah kewajiban yang ditujukan
terutama kepada kepala negara untuk menjamin kewajiban tersebut dijalankan
semestinya dalam urusan pemerintahan dan untuk menjalankan kewajiban tersebut,
maka para partisipan Syura harus memiliki kebebasan berpendapat dan
berekspresi. Menurut Abdul Karim Zaidan, tidak mungkin terjadi jika pemerintah
diwajibkan menjalankan Syura sementara menghambat kebebasan berpendapat.
Adapun
persoalan apakah hasil syura mengikat penguasa? Pendapat yang paling kuat
adalah hasil Syura bersifat mengikat (mulzimah). Salim Ali
Bahnasawi menjelaskan adanya kontradiksi jika Allah memerintahkan penguasa
untuk menjalankan syura namun penguasa senditi tidak terikat dengan
hasil-hasilnya. Ibnu Hajar dalamFathul Baari menegaskan bahwa
penguasa yang tidak meminta nasehat kepada ulama wajib dipecat. Pendapat ini
didukung oleh Imam Bukhari, “Alqur’an memerintahkan bermusyawarah
sebagaimana pula memerintahkan bertwakkal untuk melaksanakan hasil Syura.”
Dalam pandangan Syaikh Abdul Qadir Audah, ada dua yang berkaitan dengan sifat
mengikat hasil Syura bagi penguasa dan umat Islam:
1. Membersihkan
praktek diktatorisme dalam pemerintahan Islam,
2. Pendapat
mayoritas akan membentuk tanggung jawab umat secara kolektif dan sebagai bagian
pendidikan politik untuk bersikap ilmiah, kritis namun memiliki komitmen.
Secara
umum ketetapan Syura dalam Alqur’an mencakup semua urusan kaum Muslimin baik
yang bersifat individual maupun kolektif. Namun Alqur’an hanya memberikan
ketetapan-ketetapan yang bersifat umum tentang Syura dan tidak menyebut
rincian-rincian mengenai cara pelaksanaannya dan persoalan dimana Syura
dilaksanakan. Alqur’an juga tidak memberikan instruksi mengenai apakah semua
permasalahan masyarakat harus diselesaikan dengan jalan Syura atau hanya dalam
konteks pemerintahan saja. Ketiadaan rincian khusus ini tidak pelak menjadikan
pelaksanaan Syura sebenarnya menjadi fleksibel, tidak dibatasi waktu dan dapat
diterapkan dalam semua keadaan dalam masyarakat.
I.
Prinsip Keadilan
Alqur’an setidaknya
mengunakan tiga terma untuk menyebut keadilan, yakni al-’dl, al-qisth dan al-mizan.
Terma adil beserta turunannya tidak kurang disebutkan 30 kali dalam Al
qur’an.
- Al-‘dl berarti “sama”, memberi
kesan adanya dua pihak atau lebih karena jika hanya ada satu pihak berarti
tidak akan terjadi persamaan,
- Al-qisth
lebih umum dari adl yang berarti “bagian” (yang
wajar dan cukup).
- Sedangkan mizan berasal
dari akar kata wazan (timbangan) yang dapat berarti keadilan.
Alqur’an menegaskan alam semesta ditegakkan atas dasar keadilan. Allah SWT berfirman,”Dan
langit ditegakkan dan Dia menetapkan al-Mizan (neraa kesetimbangan)” (QS
55:7)
Jadi
ada tiga konteks makna keadilan yang dimaksudkan, yakni pertama, keadilan
adalah sama dengan tidak membedakan seseorang dengan yang lainnya, kedua,
keadilan berarti seimbang antara berbagai unsur yang ada dan ketiga, keadilan
berarti perhatian terhadap hakhak individu dan memberikan hak-hak itu kepada
setiap pemiliknya.
Keadilan
menjadi prinsip dan tema utama dalam Al Qur’an. Perintah berbuat adil banyak
dijumpai dalam Alqur’an, diantaranya:
“Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS.
Al Maidah:3)
“Wahai
orang-orang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan
(qisth).” (QS.An Nisa:135)
Alqur’an
memerintahkan orang beriman untuk berbuat adil dan menjadikan keadilan sebagai
tujuan Islam setelah kewajiban beriman kepada Allah SWT sebaliknya mencela
kezaliman dan orang-orang yang berbuat zalim serta menjadikan kezaliman sebagai
sebab kehancuran umat. Oleh karena itu, kezaliman dianggap kejahatan dan dosa
besar.
Dalam
hadist Nabi disebutkan bahwa keadilan menjadi ibadah yang paling mulia.“Sehari
bersama imam yang adil lebih baik dari ibadah seorang lelaki selama 60 tahun.
Dan hukum hudud yang ditegakkan di muka bumi dengan benar lebih bersih dari
hujan yang turun selama 40 tahun” (HR At-Tabarani dan Al-Baihaqi. Dalam
hadist riwayat Bukhari, Allah menetapkan Imam yang adil pada urutan pertama
dari 7 golongan yang mendapatkan naungan Allah pada hari Kiamat. “Ada
tujuh kalangan yang Allah menaunginya dibawah naungan-Nya pada hari dimana
tidak ada naungan selain naungan dari Allah, Imam yang adil …“
Keadilan
dalam pandangan Islam adalah hak bagi setiap umat manusia dan sekaligus
kewajiban yang harus dilakukan pemerintah. Sementara hukum (syariah) ditegakkan
untuk menjamin dan mewujudkan keadilan tersebut. Menurut Muhammad al Mubarak,
ruang lingkup keadilan dalam Islam mencakup dua isu penting:
1. Tindakan
mencegah dan menyingkirkan kezaliman, seperti mencegah pelanggaran hak manusia
yang berkaitan dengan jiwa, harta dan kehormatan serta menyingkirkan segala
bentuk pelanggaran hukum, mengembalikan hak-hak yang dirampas dan menghukum yang
bersalah. Konteks keadilan ini terdapat dalam hukum harta benda (muamalah
maliyah) dan hukum pidana.
2. Keadilan
yang berkaitan dengan kewajiban pemerintah terhadap rakyatnya dalam menjamin
kebebasan dan kehidupan mata pencaharian mereka sehingga tidak ada orang lemah
maupun fakir miskin yang terabaikan.
J.
Prinsip Kebebasan
Kebebasan adalah pilar
utama pemerintahan Islam. Jika umat menjadi sumber legitimasi kekuasaan maka
kedaulatan kekuasaan tersebut dapat diwujudkan tanpa adanya pilar-pilar
kedaulatan dalam diri setiap umat. Kedaulatan itu mencakup juga adanya media
untuk mengaktualisasi kedaulatan tersebut. Adapun pilar pertama kedaulatan
tersebut adalah adanya kebebasan yang harus dijamin negara. Imam Asyahid Hasan
Al Banna menyebutkan kebebasan sebagai salah satu tuntutan Islam. Kebebasan
itu mencakup kebebasan berideologi, kebebasan menyampaikan pendapat,
kebebasan mendapatkan ilmu, dan kebebasan kepemilikan. Syaikh Muhammad Gazali
menambahkan kebebasan dari kemiskinan, rasa takut dan kebebasan untuk memerangi
kezaliman.
Menurut Syaikh Abdul
Qadir Audah, kebebasan dengan maknanya yang seluas-luasnya telah menjadi asas
bagi kehidupan umat Islam. Kebebasan dalam konteks keyakinan tidak hanya
mencakup pemberian kebebasan kepada setiap orang untuk meyakini ideologi
tertentu namun juga kewajiban untuk melindungi kebebasan tersebut dengan cara:
1. Mengharuskan
umat manusia menghormati hak orang lain dalam meyakini, mengingkari dan
menjalankan prinsip ideologinya,
2. Mengharuskan
pemilik ideologi melindungi keyakinannya.
Adapun berkaitan
dengan kebebasan mengemukakan pendapat, Islam melindungi kebebasan tersebut.
Setiap orang bebas mengatakan apa saja yang dikehendaki tanpa melanggar hak-hak
orang lain. Oleh karena itu, kebebasan berbicara tidak boleh berupa celaan,
tuduhan dan fitnah. Kebebasan berbicara harus menjaga etika tersebut.
Salah satu isu krusial
kebebasan adalah kebebasan berpolitik. Menurut Muhammad Mubarak, ada dua hal
yang menjadi hak kebebasan berpolitik kaum Muslimin: Pertama, kebebasan
untuk memilih ahlul halli wal aqdiyang akan mewakili mereka dalam
mengangkat kepala negara atau pemimpin serta memberikan baiatnya. Kedua,kebebasan
untuk menyampaikan nasehat, kritik dan teguran kepada penguasa.
Dalam konteks
memformulasi kebebasan berpolitik tersebut, maka kaum Muslimin juga memiliki
kebebasan untuk berserikat dan mengorganisir dirinya untuk mengontrol
pemerintah dan mewujudkan kemaslahatan secara umum. Kebebasan berserikat itu
dapat diwujudkan kedalam bentuk pendirian organisasi, perserikatan dan bahkan
partai politik. Pelbagai bentuk organisasi, perserikatan dan partai politik
dapat disejajarkan dengan keragaman mazhab pemikiran dan fiqh dalam
sejarah Islam. Mengutip pendapat Muhammad Imarah dalam ‘Ma’rakatul
Musthalahat baina al Gharbi wal Islam’, kebebasan berserikat secara
terminologis telah terjadi dan dipraktekkan pada masa pertama Islam.
Dalam Hadist Bukhari diriwayatkan bahwa Aisyah Ra mengatakan isteri-isteri Nabi
terbagi dalam dua kelompok (Hizb), satu hizb terdapat Aisyah, Hafsah dan
Shafiyah sedang hizb lainnya ialah Ummu Salamah beserta isteri-isteri
Rasulullah lainnya. Sementara secara institusional, golongan Muhajirin pertama
diantaranya, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib
dan Abdurahman bin Auf adalah organisasi yang memiliki kedudukan khusus yang
dominant dalam khilafah, negara dan masyarakat.
Memperkuat pandangan
ini, Syaikh Yusuf Qaradhawi menegaskan tidak ada larangan syariat dalam
kebebasan berorganisasi dan berserikat. Bahkan dalam realitas kontemporer
eksistensi perserikatan ataupun partai politik menjadi hal penting karena dapat
berperan sebagai katub pengaman dari kemungkinan bangkitnya kediktatoran dan
meminimalisasi hilangnya kekuatan amar ma’ruf nahi munkar. Namun
beliau menetapkan dua syarat:
1. Mereka harus
menerima Islam sebagai prinsip Aqidah dan Syari’ah.
2. Tidak
dalam rangka memusuhi atau bekerja untuk pihak-pihak yang memusuhi Islam.
K.
Persamaan (Musawwah)
Persamaan derajat
adalah bagian hak-hak individu dalam negara. Sayyid Qutb menyebutnya sebagai
asas keadilan dalam Islam. Jika umat manusia adalah anak keturunan Adam dan
Islam memandang kesatuan asal usul ini memberikan implikasi adanya hak,
kewajiban dan tanggung jawab yang sama. Allah SWT berfirman:
“Dan sesungguhnya
telah kami muliakan anak-anak Adam” (QS. Al Isra:70)
Rasulullah SAW
bersabda
“Manusia itu sama bagaikan gigi-gigi sisir.” (al Hadist)
“Tidak
ada kelebihan antara Arab dan bukan Arab kecuali karena takwa. Tidak ada kelebihan
juga antara yang berkulit putih dengan yang berkulit hitam kecuali karena
takwa.” (HR. Bukhari)
Prinsip-prinsip persamaan derajat dalam Islam mencakup:
1.
Persamaan secara umum
Semua manusia sama dan
sederajat dalam hak, kewajiban dan tanggung jawab mereka. Tidak ada
keistimewaan yang diberikan atas satu orang dengan yang lainnya tanpa
pengecualiaan. Artinya, setiap individu dalam negara memiliki semua hak,
kebebasan dan kewajiban yang juga dimiliki yang lain tanpa dikriminasi apapun,
baik ras, golongan, etnik maupun agama. Di
dalam konteks ini pula, kesetaraan ini mencakup pula persamaan hak dan
kewajiban antara perempuan dan pria. Perempuan berhak atas hal-hal yang menjadi
hak-hak lelaki sebagaimana perempuan juga berkewajiban atas hal-hal yang
menjadi kewajiban lelaki. Adapun dalam konteks qawwamah (kepemimpinan)
yang disebutkan dalam Alqur’an, maka praktek kepemimpinan harus dijalankan
dengan tanggung jawab. Diluar itu, kaum pria tidak berhak ikut campur dalam
perbuatan dan hak-hak yang ditunaikan perempuan, termasuk didalamnya hak-hak
politik, tentunya dengan memperhatikan aspek keseimbangan. Muhammad Thahhan
berpendapat bahwa pembangunan masyarakat Islam tidak dapat dilakukan dengan
cara menganggurkan sebagian hak dan potensi warga negaranya (kaum perempuan).
2. Persamaan
didepan Hukum
Kepala negara dan
rakyat pada umumnya memiliki kesederajatan didepan hukum. Kepala negara dalam
Islam tidak memiliki kekebalan atau legitimasi kesucian teologis seperti halnya
doktrin Kristiani. Jika seorang kepala negara melakukan tindak pidana, maka
kepala negara dapat dihukum sebagaimana pelaku pidana lainnya didalam peradilan
biasa.
3. Persamaan
Hak-Hak Sosial
Islam mengakui prinsip
perbedaan dalam potensi dan kemampuan. Oleh
karena itu, semua potensi dan kemampuan diberi hak yang sama. Konsekuensi dari
pemberian hak-hak sosial yang sama, negara harus menjamin kesejahteraan kepada
setiap keluarga baik dalam kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup dan kesempatan
mendapatkan pendidikan yang sama sesuai dengan bakat dan kemampuan. Adapun
dalam konteks kesetaraan hak-hak ahlul dzimmi (non Muslim),
tidak ada perbedaan antara ahlul dzimmi dengan kaum Muslimin dalam hak-hak
sosial mereka kecuali perbedaan dalam hal Aqidah. Kesetaraan dalam perspektif ini
adalah memperlakukan kaum Muslimin sesuai dengan aqidah mereka dan
memperlakukan ahlul dzimmi tidak sesuai dengan aqidah mereka. Namun diluar itu,
ahlul dzimmi memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum Muslimin dalam
segala hal.
0 Komentar untuk "ISLAM,NEGARA DAN PANDANGAN TEORI REALIS"