Karl Marx : Pemikiran Lenin, Stalin, dan Mao Tse Tung
Karl Marx
Mendengar nama-nama Pemikir berhaluan “kidal”, seperti Lenin, Stalin atau pun Mao, mungkin bisa membuat bulu kudu berdiri alias merinding. Merinding karena mereka secara berani, cadas dan mungkin kejam, menerapkan ajaran-ajaran suci Sang Nabi kaum buruh (Proletar) yaitu Karl Marx. Ketiga-nya baik Lenin, Stalin dan Mao, mencoba menafsirkan isi ajaran Marx tentang agenda pembebasan kaum miskin (buruh) dari jerat eksploitasi pemilik modal (Borjuis). Senafas dengan Marx, ketiganya se-iya dan se-kata bahwa agenda pembebasan harus dilakukan melalui revolusi tanpa kenal ampun dan belas kasihan. Perubahan melalui nir-kekerasan tampak bagi mereka adalah omong kosong. Karena pemilik modal, dengan segala tipu dayannya, tidak akan pernah menyerah.
Meski demikian, baik Lenin, Stalin dan Mao, masing- masing memiliki perbedaan dalam menafsirkan agenda perubahan. Selain itu mereka juga memiliki perbedaan dengan induk semangnya yaitu Karl Marx. Tulisan ini mencoba mencari titik kesamaan dan perbedaan ketiga pemikir komunis pasca Marx. Atau dengan kata lain, mencoba menjawab sejumlah pertanyaan untuk memetakan kesamaan dan perbedaan dari pemikiran Marx dan pasca-Marx (Lenin, Stalin dan Mao). Pertanyaan-pertanyaan itu adalah: Bagaimana para kapitalis atau pemilik tanah mengeksploitasi para buruh? Mengapa harus melakukan revolusi? Di mana revolusi harus terjadi? Siapa yang akan melakukan revolusi? Apakah revolusi harus terjadi dalam periode yang singkat? Apakah ekonomi menjadi faktor determinan dari segala sesuatu atau apakah ideologi yang menjadi penentu?
Untuk menjawab seluruh pertanyaan di atas, yang harus dilakukan adalah dengan menggambarkan pemikiran Karl Marx. Karena ketiga tokoh ini (Lenin, Stalin dan Mao) adalah anak kandung dari pemikran Marx. Pada bagian awal saya akan menjelaskan beberapa poin-poin penting dari pemikiran Marx yang pada akhirnya dikembangkan oleh Lenin, Stalin dan Mao. Sesudah itu saya akan menunjukan di mana letak persamaan dan perbedaan dari masing-masing tokoh. Sebelum melangkah ke tujuan itu semua, rambu-rambu yang harus ditaati dalam membaca tulisan ini adalah “jangan pernah berharap untuk menemukan kandungan pemikiran Marxisme secara utuh dan komprehensif dari tulisan singkat ini”. Usaha pembacaan ulang dan karya-karya asli dari pemikiran Marxisme harus dan wajib dilakukan guna menemukan penafsiran yang baru dan lebih kokoh.
Karl Marx: Empat Gagasan Dasar
Lenin
Karl Marx akan selalu dikenang dan dieluh-eluhkan oleh setiap orang yang merasakan keprihatinan akan nasib kaum miskin yang selalu tertindas dan teraniaya. Seruannya untuk pembebasan kaum buruh dari cekikan para pemuja modal membuat Karl Marx sejajar dengan (bahkan melampaui) para Nabi dan Wali. Ajarannya yang sangat egaliter mendorong seseorang untuk berfikir dan bertindak sesuai manifesto pemikiran Marx. Tidak heran, jika gaung dari Pemikiran Marx menggema di setiap belahan bumi manusia. Sebagai anak kandung pencerahan, setidaknya ada empat poin yang paling mendasar dari pemikiran Marx.
Poin yang pertama, kita bisa menemukannya di dalam sumbangsih Karl Marx pada disiplin ilmu sosiologi. Kalau kita sering diskusi (membaca) Marx dalam domain sosiologi maka kita akan menemukan adagium Marx bahwa ekonomi adalah faktor yang paling penting di dalam masyarakat apa pun. Bagi Marx, semua masyarakat terdiri dari dua bagian yang paling mendasar: fondasi (infrastruktur) dan superstruktur. Istilah yang pertama (infrastruktur) merujuk pada sumberdaya dan teknologi (sarana produksi) yang tersedia di masyarakat, yang pada akhirnya menentukan bentuk sistem ekonomi. Superstruktur terdiri dari ideologi, hukum, pemerintahan, nilai, kepercayaan, pendidikan, agama, atau seni yang diciptakan dan digunakan untuk mendukung infrastruktur (Leon P. Baradat, 1988).
Contohnya seperti ini, jika dasarnya adalah monarki absolut maka Raja atau Ratu akan menjadi kelas penguasa; jika dasarnya adalah feodalisme maka para aristokrat (pemilik tanah) akan mendominasi para budak; dan jika dasarnya adalah kapitalisme maka para borjuis (pemilik modal) akan mengatur kehidupan masyarakat. Persolan ini menjadi langkah awal bagi Marx untuk merumuskan agenda revolusi dan kebebasan.
Poin dasar yang kedua dari gagasan Marx adalah tentang teori sejarahnya yang sering dikenal dengan materialisme dialektis. Marx meyakini bahwa sejarah adalah konflik antar kelas-kelas yang berbeda. Melalui materialisme dialektis-nya, Marx meyakini bahwa manusia telah melalui empat tahapan sejarah yang pada akhirnya akan memasuki tahapan kelima dan paling akhir. Masing-masing sejarah dicirikan dengan sistem ekonomi tertentu (infrastruktur) yang mengarh pada sistem politik tertentu (suprastruktut)( Leon P. Baradat, 1988).
Sejarah yang paling awal adalah komunisme purba (primitif). Selama periode ini manusia hidup tidak terorganisir dan tidak ada pemilikan alat produksi, yaitu kebutuhan dipenuhi secara bersama-sama. Selanjutnya dengan munculnya konsep tentang pemilikan pribadi, manusia mulai membedakan barang-barang yang dimilikinya dan mengontrol barang-barangnya secara individu. Apalagi, ketika satu suku (kelompok) menjadi lebih kuat maka mereka mulai mendiskriminasikan dan mengatur suku (kelompok) yang lain. Peristiwa ini kemudian mengarah pada era (sejarah) baru. Era baru yang merupakan tahapan ke-dua sejarah manusia, yaitu masa perbudakan. Suku yang berkuasa adalah kerajaan di dalam era perbudakan. Kelompok yang menentang raja adalah barbarian.
Stalin
Ketika barbarian mengalahkan kerajaan, maka sistem ekonomi-politik yang baru muncul. Sistem ini dikenal dengan nama feodalisme. Karena tanah para aristokrat bergantung pada sejumlah besar untuk memenuhi dirinya dan mengabaikan aspek perniagaan dan keuntungan memungkinkan untuk memunculkan kelas baru yaitu kapitalis. Munculnya kelas kapitalis merupakan tahapan ke-empat dari sejarah manusia. Era kapitalisme telah meningkatkan produktivitasnya demi memenuhi kebutuhan dasar manusia. Tetapi karena kapitalisme berwatak eksploitatif dan distribusi barang-barang secara tidak sama, maka muncul sebuah kelompok baru yaitu proletariat (buruh). Marx meyakini bahwa ketegangan antara dua kelas ini merupakan bentuk ketegangan dialektis yang pada akhirnya mengakhiri sejarah manusia. Marx mengatakan bahwa kemenangan proletariat adalah keniscayaan; kemenangan kaum yang dieksploitasi terhadap golongan yang suka mengeksploitasi. Ketika kapitalisme hancur (punah) sejarah manusia akan berakhir di ranjang komunisme. Di dalam masyarakat ini, semua orang akan menemukan tempat dan kebahagiannya.
Gagasan dasar ke-tiga dari Marx adalah tentang teori ekonominya. Teori ekonomi Marx digunakan untuk menjelaskan bagaimana para kapitalis mengeksploitasi para pekerja industri. Di dalam teori ekonominya Mark menjelaskan tentang teori kerja, alienasi, teori nilai kerja, dan teori nilai lebih (surplus). Pada seluruh bagian ini Marx mencoba melegitimasi seluruh bangunan teorinya secara ilmiah. Ada kondisi objektif bahwa pemilik modal telah menghisap keringat dan darah buruh.
Gagasan dasar yang terakhir dari Marx adalah teori revolusi. Marx memiliki pandangan yang sangat optimistik terhadap sifat manusia. Dia meyakini bahwa kaum proletar memiliki kesadaran untuk melakukan revolusi. Oleh karena itu, revolusi akan menyembul ketika mereka tidak mentolerir tindakan eksploitatif para pemilik modal. Meminjam diktum Marx “bahwa buah yang sudah matang tidak perlu kita petik karena buah itu akan jatuh oleh mereka sendiri”. Untuk membantu menigkatkan kesadaran kelas, Marx memberikan peran ini pada para pengikutnya.
Meski demikian, menarik untuk meneliti bahwa Marx tidak membolehkan mereka untuk mengorganisir dan memimpin revolusi. Dia melihat fungsinya sebagai pendidik ketimbang partisipatoris. Selanjutnya, karena agenda Marx bersifat Internasional maka dia mengungkapkan bahwa revolusi harus terjadi di negara kapitalis yang paling maju. Karena dia percaya bahwa negara yang paling maju adalah negara yang paling eksploitatif. Oleh karena itu, revolusi harus dilakukan di Inggris, Jerman, Prancis, Belgia dan Belanda (Leon P. Baradat, 1988).
Apa yang Marx anjurkan sesudah revolusi? Setelah revolusi, Marx meyakini bahwa kontrol terhadap masyarakat akan beralih dari kelompok pemilik modal ke diktator proletariat. Selain itu, beberapa ketidaksetaraan pendapatan tetap diteruskan guna mempertahankan keuntungan kerja dan membuat sistem politik baru bisa diterima. Kebaikan, menurut Marx, harus didistribusikan sejalan dengan prinsip “masing-masing memperoleh sesuai kemampuannya”. Marx juga meyakini bahwa ada beberapa pra-kondisi yang harus dipenuhi di tahapan awal sosialisme sebelum melangkah ketahapan komunisme (H. Stephen Gardner, 1998).
Pertama, masyarakat harus meningkatkan pembangunan ekonomi agar kekayaan melimpah ruah. Kedua, manusia harus menghilangkan kepentingannya. Artinya, kerja bukan hanya dilihat sebagai pemenuhan kebutuhan tetapi keutamaan hidup yang harus dikembangkan. Ketiga, semua revolusi sosialis harus disebarkan (terjadi) pada semua negara sebelum komunisme dimunculkan di setiap negara. Kelas pekerja di satu negara tidak akan sanggup mengakhiri dominasi kelas borjuis karena mereka menanamkan dominasinya di setiap negara. Setelah memenuhi semua kondisi ini komunisme baru bisa diterapkan.
Revolusi dalam kacamata Lenin, Stalin, dan Mao Tse Tung
Mao Tse Tung
Uraian di atas adalah kerangka untuk membaca palung pemikiran politik sesudah Marx. Mengapa Lenin, Stalin dan Mao? Kalau kita mencermati kandungan pemikiran Marx dan gerak sejarah konstelasi politik global, maka jawabannya mudah untuk ditemukan. Ketiga tokoh itu adalah pemikir sekaligus praktisi yang menggubah idealisasi perjuangan Marx dalam bentuk kongkrit. Meskipun banyak tokoh-tokoh lain yang menerapkan marxisme sebagai gaya hidup tetapi gaungnya tidak sebesar tiga tokoh ini. Baik Lenin, Stalin dan Mao adalah penggubah awal doktrin perjuangan politik yang membuat para Marxis tercengang. Saya akan mencoba menunjukan bagaimana ketiga tokoh ini menggubah pemikiran Marx sesuai kondisi kehidupan mereka. Saya akan memulainya dari Lenin, kemudian Stalin dan terakhir Mao.
Lenin, seorang pemimpin Russia, telah mengikuti dan mentransformasi beberapa pemikiran Marx ke dalam pemikirannya sendiri. Seperti Marx, Lenin juga memilih revolusi berdarah karena meyakini bahwa para pemilik modal tidak akan pernah menyerah melalui jalan damai. Namun, tidak seperti Marx, Lenin percaya bahwa proletar tidak memiliki kesadaran akan revolusi. Sehingga mereka harus diorganisir dan diarahkan oleh kelompok elit revolusioner yang dia sebut Bolshevick. Lenin emoh menunggu waktu jatuh buah yang sudah matang. Menurutnya, sekolompok orang harus mengambil buah yang sudah matang itu.
Sementara Marx menyerukan tentang revolusi yang harus terjadi di negara-negara yang sudah maju seperti Inggris, Jerman, Prancis, Belgia atau Belanda, Lenin lebih berkeyakinan bahwa revolusi harus terjadi di negara yang baru sedang berkembang. Keyakinan ini berdasarkan pada teorinya tentang imperialisme. Dalam teori itu, Lenin mengatakan bahwa para pekerja di negara-negara kolonial lebih menderita ketimbang di negara-negara maju. Sebabnya para kapitalis mencoba meregangkan tekanan buruh di negara maju yang sudah sampai di ubun-ubun. Caranya dengan mengambil (mengeruk) keuntungan dari negara kolonial sembari membagikannya kepada para buruh di negara maju melalui kebijakan negara. Oleh karena itu, bagi Lenin revolusi harus terjadi di Russia dan negara yang sedang berkembang lainnya (Chhay Haksym, 2005).
Kalau disawang-pinawang (dilihat-lihat) Marx lebih demokratis daripada Lenin. Karena setelah revolusi, Marx menginginkan diktator proletariat berfungsi mengatur ke tahapan berikutnya. Tetapi bagi Lenin, para proletariat harus berada di bawah kontrol Bolshevik. Aspek lain yang membedakan Lenin dengan Marx adalah tentang terjadinya revolusi. Bagi Marx revolusi harus terjadi di negara kapitalis yang paling kompetitif dan harus ditularkan ke negara-negara maju lainnya. Ini tidak berlaku untuk Lenin. Revolusi bagi Lenin harus terjadi di negara berkembang dan baru kemudian ditularkan ke seluruh dunia. Meski demikian keduanya tetap kompak dalam artian bahwa agenda revolusi adalah agenda Internasional.
Sepeninggalan Lenin, tongkat estafet revolusi Russia diteruskan oleh Stalin. Meski Stalin hidup dalam rentang waktu yang tidak terlalu jauh dengan Lenin, pandangan dia tentang doktrin Marx memiliki perbedaan penting. Sebelum membicarkan perbedaan itu,saya akan menyinggung kesamaannya denga Lenin. Stalin sependapat dengan Lenin, bahwa buruh tidak memiliki kesadaran akan revolusi. Agenda revolusi harus dikontrol dan dipandu oleh elit revolusioner. Stalin juga sependapat dengan Lenin dan Marx, bahwa pemerintah tidak akan dibutuhkan lagi jika eksistensi borjuis sudah hilang.
Stalin tidak sependapat dengan Lenin dalam dua hal. Pertama adalah mengenai fungsi diktator proletariat. Meskipun keduanya melihat bahwa peran diktator proletariat adalah mengontrol para proletar. Stalin menginginkan tidak hanya sekedar kontrol tetapi kekerasan pun diwajibkan guna menjaga stabilitas revolusi. Poin kedua adalah Stalin menganggap bahwa revolusi tidak harus ditularkan ke penjuru dunia. Karena komunisme di satu negara adalah mungkin (Steven Rosefielde, 1996).
Karena China adalah negara pertanian, Mao telah memodifikasi Marxist, teori Lenin dan beberapa teori baru diciptakan guna menyesuaikan dengan budaya Asia. Seperti Marx dan Lenin, Mao juga memilih revolusi non-cinta damai untuk mengakhiri imperialisme (kapitalis) dan kepemilikan tanah (China). Tetapi karena kebanyakan orang China adalah petani, Mao memberikan peran penting kepada para petani untuk mengendalikan revolusi yang hal ini jelas berbeda dengan Marx dan Lenin. Dari model revolusi seperti ini-lah maka ada istilah “dari desa (petani) mengepung kota”.
Aspek lain yang menarik dari pemikiran Mao adalah penentangan dia tentang determinisme ekonomi. Maksudnya Mao lebih memilih untuk meyakini bahwa ideologi sebagai dasar yang penting untuk menjaga revolusi daripada ekonomi. Dan dari sini-lah rentang waktu revolusi Mao sangat lama. Sedangkan bagi Marx dan Lenin rentang waktu revolusi berjalan secara singkat. Di China, mao mengenalkan teori tentang revolusi permanen. Contoh kecilnya adalah kebijakan dia tentang revolusi kebudayaan, gerakan seratus bunga dan sebagainya. Selain itu, Mao adalah seorang nasionalis yang jelas berbeda dengan Marx dan Lenin (Chhay Haksym, 2005).
Referensi:
Baradat, Leon P., Political Ideologies (printed in the United States of America, 1998).
Gardner, H. Stephen, Comparative Economic System (Second Edition, Printed in the United of America, 1998).
Haksym, Chhay, Communism, Fascism, and Democracy: Compare and Contrast the basic ideas of Marxism, Marxism-Leninism, and Maoism. What are the strengths and weaknesses of each of these ideologies?, December 03, 2005 lihat di www. chhayhaksym.files.wordpress.com
Rosefielde, Steven. “Stalinism in Post-Communist Perspective: New Evidence on Killings, Forced Labour and Economic Growth in the 1930’s”, Europe-Asia Studies, 48, 6, September 1996, pp. 959-987.
http://iyarsiswo.wordpress.com
ARTIKEL TERKAIT:
“Masyarakat Komunis yang Ideal, Kekuasaan Diktator Proletariat, dan Partai Revolusioner di dalam Marxisme-Leninisme”
Oleh : Reza A.A Wattimena[1]
1. Pendahuluan
Marxisme-Leninisme adalah suatu teori politik dan ekonomi yang dirumuskan Lenin dalam kerangka tafsirannya terhadap pemikiran Marx.[2] Teori politik dan ekonomi ini nantinya akan menjadi ideologi yang mendasari semua partai komunis pada abad kedua puluh. Di dalam teori ini, pada hemat saya, ada satu pandangan yang kiranya cukup menarik untuk dibahas, yakni tentang konsep masyarakat komunis yang ideal, dan upaya-upaya yang kiranya diperlukan untuk mewujudkannya. Komunisme sendiri, sebagai bagian dari Marxisme-Leninisme, adalah suatu paham yang menyatakan bahwa negara haruslah ditata berdasarkan pada kepemilikan kolektif (collective ownership) atas semua harta benda, dan pengaturan di dalam tata politik ini dilakukan oleh pemerintah yang juga bertanggungjawab pada kepentingan semua warganya.[3]
Pada tulisan ini, saya akan mengajukan argumen, bahwa konsep masyarakat komunis yang ideal hanya dapat terwujud, jika konsep kekuasaan diktator proletariat dan konsep partai revolusioner telah ada terlebih dahulu. Partai revolusioner, yang memiliki tugas untuk menciptakan kesadaran revolusioner di dalam kaum proletar, dan kekuasaan diktator proletariat, yang diperlukan untuk melawan musuh-musuh yang hendak menentang terciptanya masyarakat komunis, adalahkondisi-kondisi kemungkinan bagi terciptanya masyarakat komunis yang ideal. Argumen ini sebenarnya sudah ada di dalam tulisan-tulisan Lenin. Yang saya lakukan hanyalah mengangkatnya menjadi satu tema tulisan secara spesifik.
Untuk itu, saya akan membagi tulisan ini ke dalam lima bagian. Awalnya, saya akan menjelaskan proyek spesifik tulisan ini (1). Lalu, saya akan memberikan gambaran mengenai keterkaitan Lenin dan Marx. Dalam hal ini, saya akan fokus pada dua konsep, yakni konsep kekuasaan diktator proletariat, dan konsep partai revolusioner. Saya berpendapat bahwa di dalam pemikiran Lenin, dua konsep ini adalah kondisi kemungkinan bagi terciptanya masyarakat komunis yang ideal (2). Pada bagian berikutnya, saya akan mencoba menjabarkan masyarakat komunis yang ideal di dalam paradigma Marxisme-Leninisme (3). Setelah itu, saya akan memberikan kesimpulan singkat mengenai isi seluruh tulisan ini (4). Tulisan ini akan diakhiri dengan beberapa tanggapan saya terhadap pemikiran Lenin (5).
2. Marxisme-Leninisme
Tidaklah berlebihan jika dikatakan, bahwa Leninlah yang membawa pemikiran Marx, sedikit banyak, menjadi realitas. Di dalam tulisan-tulisannya, Marx memang sudah menuliskan bahwa kapitalisme akan hancur pada akhirnya, dan kemudian terciptalah masyarakat sosialis. Akan tetapi, Leninlah yang memikirkan, bagaimana supaya kapitalisme bisa hancur. Dialah pendiri Uni Soviet, sebuah negara yang menjadi pusat gerakan komunisme internasional, sekaligus negara adikuasa kedua di dunia selama hampir seluruh abad kedua puluh. Pada masa-masa jayanya, komunisme menjadi bentuk pemerintahan dari 18 negara di dunia.[4]
Melalui pikiran dan tindakannya yang agresif-revolusioner, Lenin membantu tegaknya komunisme di Russia pada revolusi 1917.[5] Yang pada hemat saya menarik adalah, bagaimana relasi Lenin dengan Marx? Apakah pemikiran mereka berdua sama, atau berbeda? Dan jika berbeda, dimana perbedaannya? Yang pasti, tidak lama setelah Lenin meninggal pada 1924, Stalin, penggantinya, langsung memberikan label pada pemikiran-pemikiran Lenin sebagai Leninisme. Dengan demikian, pemikiran Lenin kemudian lebih dikenal sebagai Marxisme-Leninisme. Ajaran inilah yang nantinya akan menjadi inti dari seluruh ideologi Komunisme di seluruh dunia. Ajaran ini jugalah yang menjadi inspirasi bagi perjuangan revolusioner hampir di keseluruhan abad kedua puluh. Kiranya tidaklah berlebihan apa yang ditulis Magnis-Suseno, bahwa komunisme, sebagai kekuatan politik yang paling ditakuti pada abad keduapuluh, tidak akan pernah ada tanpa Lenin.[6]
Kiranya, dalam hal relasi antara Lenin dengan Marx, ada dua konsep yang relevan untuk dibicarakan, yakni tentang konsep proletariat sebagai penguasa, dan tentang konsep partai revolusioner. Seperti sudah disinggung pada bagian pendahuluan, kedua konsep ini dapat dipandang sebagai sesuatu yang diperlukan untuk mewujudkan ideal masyarakat komunis, yang akan dibahas pada bagian selanjutnya.
Konsep partai revolusioner berangkat dari pengandaian, bahwa kaum proletariat tidak bisa secara sendirian mengembangkan kesadaran revolusioner mereka. Mereka memerlukan partai untuk menyuntikkan kesadaran tersebut. Hal ini tentunya bertentangan langsung dengan pemikiran Marx. Menurut Marx, apa yang disebut sebagai kesadaran revolusioner bukanlah suatu konsep yang dihasilkan dari refleksi para intelektual, melainkan hasil dari dialektika perjuangan proletariat itu sendiri.[7] Jadi, kesadaran revolusioner proletariat akan tumbuh dan berkembang di dalam pergulatannya. Jika kesadaran revolusioner itu dipompakan dari luar oleh partai, apakah kesadaran tersebut masih sungguh-sungguh otentik? Jika hal itu yang terjadi, maka perjuangan kaum proletariat adalah suatu tandan penindasan baru, yakni penindasan partai. Emansipasi pun tidak akan bisa berlangsung. Buruh akan tetap bergantung pada kekuatan dari luar. Dengan kata lain, konsep partai revolusioner menggambarkan apa yang secara jelas akan ditolak oleh Marx sejak awal, yakni ketertindasan dari luar.[8]
Lenin sendiri berpendapat, bahwa revolusi tidak akan secara niscaya datang. Kesadaran revolusioner kaum buruh pun tidak otomatis tumbuh. Oleh karena itu dibutuhkanlah sebuah partai yang akan mendorong terciptanya kesadaran tersebut. Ada tidaknya revolusi sangat tergantung dari kehendak revolusioner, dan kehendak revolusioner tidak dapat otomatis ada, melainkan harus ‘diadakan’. Disitulah fungsi partai revolusioner. Dalam arti ini, revolusi adalah sesuatu yang dikehendaki, sesuatu yang harus secara aktif diperjuangkan.
Setelah kekuasaan di Russia berada di tangan Kaum Bolshevik, Lenin lalu menghapus semua hak-hak demokratis masyarakat, dan secara sistematik menghancurkan semua pemberontakan. Kekuasaan yang diperlukan untuk membangun sebuah masyarakat komunis, hanya dapat diraih dan dipertahankan dengan adanya kediktatoran kaum proletariat. Jelas, Marx tidak pernah merumuskan ide semacam ini. Ia tidak memikirkan keberadaan sebuah partai yang akan melakukan represi guna menciptakan masyarakat komunis. Baginya, revolusi baru dapat terjadi, jika mayoritas masyarakat adalah kaum proletariat yang akan berhadapan langsung dengan para pemilik modal. Untuk sementara, kaum proletar memang harus menjalankan pemerintahan dengan tangan besi guna menumpas semua pemberontakan dari pemilik modal. Akan tetapi, ini pun hanya berlangsung sebentar. Jika seluruh masyarakat terdiri atas kaum proletar yang tidak lagi mempunyai musuh, maka kekuasaan tangan besi itu pun tidak lagi diperlukan.[9]
Secara historis, kondisi yang dihadapi oleh Lenin pada jamannya sangatlah berbeda dengan apa yang dipikirkan Marx. Pada masa itu, kelas yang merebut kekuasaan adalah kelas yang merupakan minoritas di Russia. Sementara, kelompok lainnya secara jelas menentang kekuasaan partai Bolshevik dan penerapan sosialisme. Dalam situasi semacam itu diperlukanlah suatu bentuk kediktatoran untuk menata keadaan. “Hanya dengan menindas segala perlawanan dan melalui tindakan diktatoris”, demikian tulis Magnis-Suseno tentang Lenin, “sosialisme akan dapat dibangun dan kelas-kelas yang berbeda lama-kelamaan dileburkan menjadi satu kelas pekerja”.[10] Dalam kasus Lenin, kediktatoran partai tersebut akan berlangsung secara permanen.
Dua konsep ini, yakni keberadaan partai revolusioner dan keberadaan partai proletar yang memiliki kekuasaan permanen, akan menjadi penyangga bagi masyarakat komunis yang dirumuskan oleh Lenin. Dengan kata lain, untuk mendirikan masyarakat komunis, seperti yang menjadi cita-cita Marxisme-Leninisme, dua konsep tersebut haruslah ada terlebih dahulu. Tanpanya, masyarakat komunis tidak akan pernah bisa diwujudkan. Lalu, masyarakat komunis macam apakah yang sungguh menjadi cita-cita Marxisme-Leninisme? Pada bab berikutnya, saya akan mencoba menjelaskan versi masyarakat komunis yang menjadi impian Lenin, yang kemudian upaya perwujudannya diteruskan oleh Partai Komunis Uni Soviet.
3. Masyarakat Komunis
Di dalam merumuskan pandangannya mengenai ideal masyarakat komunis, Lenin jelas banyak berhutang pada Marx. Pada bab ini, saya akan mencoba untuk membaca tulisan Marx, Lenin, dan Engels untuk memberikan gambaran umum tentang apa yang dimaksud dengan masyarakat komunis. Tentang masyarakat komunis, Marx pernah menulis,
“.. Setelah subordinasi yang memperbudak dari individu kepada pembagian kerja, dan dengan itu antitesis antara kerja fisik dan kerja mental telah hilang; setelah kerja tidak lagi merupakan alat untuk hidup melainkan tujuan utama dari hidup itu sendiri; setelah kekuatan-kekuatan produktif telah berkembang sejalan dengan perkembangan individu, … hanya dengan begitulah, masyarakat dapat menyatakan hal ini: Dari setiap orang sesuai dengan kemampuannya, kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhannya.”[11]
Masyarakat komunis adalah masyarakat yang ditata berdasarkan sistem masyarakat tanpa kelas(classless society). Di dalam masyarakat tersebut, semua sistem diatur berdasar kepemilikkan publik dan kesetaraan bagi semua orang. Tidak ada hak milik pribadi. Prinsip ‘dari setiap orang sesuai kemampuannya dan kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhannya’ pun akan terwujud. “Komunisme”, menurut definisi yang diberikan oleh Partai Komunis Uni Soviet pada 1962, “adalah masyarakat yang terorganisir secara rapi yang terdiri dari orang-orang bebas, yang sadar secara sosial… dan bekerja demi kebaikan bagi semua orang.”[12] Orang-orang yang hidup di dalam masyarakat komunis adalah orang-orang yang sadar betul, bahwa pekerjaan mereka bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagai keseluruhan, dan bukan kesejahteraan mereka sendiri.
Seperti yang menjadi judul tulisan ini, prinsip dasar dari masyarakat komunis adalah ‘dari setiap orang sesuai dengan kemampuannya, dan kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhannya’. Apa yang dimaksud dengan dari setiap orang sesuai dengan kemampuannya? Pertama, dengan memastikan bahwa setiap orang dapat merealisasikan bakat-bakat mereka sepenuhnya, maka setiap orang akan bekerja sesuai dengan minat dan kemampuannya, dan tingkat produktivitas pun akan meningkat dengan niscaya. Kedua, dengan adanya penghapusan pembagian kerja (division of labour), setiap orang akan bekerja tidak atas paksaan atau perintah dari orang lain, tetapi atas apa yang menjadi kecocokannya, yang membuat hidupnya bermakna. Dengan itu, kepribadian dan kemanusiaan setiap orang akan berkembang sejalan dengan pekerjaan yang mereka jalani. Ketiga-dan inilah yang membedakan komunisme dari sosialisme- jika di dalam masyarakat sosialis, penghasilan diberikan sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan, sebaliknya, di dalam masyarakat komunis, setiap orang bekerja dengan dorongan moral (moral stimuli) mereka. Dengan kata lain, setiap orang bekerja tanpa bayaran. Kepuasan bahwa mereka sudah mengabdi pada masyarakat yang lebih luas sudah menjadi bayaran yang lebih dari cukup.[13]
Jelaslah, di dalam masyarakat komunis, kegiatan bekerja bukanlah suatu kegiatan yang didasarkan pada keterpaksaan, melainkan sebuah tujuan tertinggi dari hidup. Hal ini muncul bukan hanya karena kesadaran masyarakatnya saja yang sudah berubah, melainkan juga karena hakekat dari kerja itu sendiri yang telah diubah di dalam masyarakat komunis. Kerja tidak lagi merupakan suatu bentuk eksploitasi terhadap manusia. Kerja-kerja yang dianggap eksploitatif, seperti kerja-kerja fisik, kini digantikan oleh mesin. Sementara, setiap manusia hanya diharuskan bekerja sesuai dengan apa yang menjadi kemampuan dan minatnya. Hakekat kerja yang lama, yakni yang eksploitatif dan melumpuhkan manusia, kini digantikan oleh kerja yang mengembangkan manusiasebagai keseluruhannya. Inilah hakekat kerja di dalam masyarakat komunis.[14]
Partai Komunis Uni Soviet menggarisbawahi beberapa hal operasional mengenai hakekat kerja di dalam masyarakat komunis. Pertama, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, setiap orang melakukan pekerjaan sesuai dengan minat dan kemampuannya. Kedua, setiap orang boleh berganti pekerjaan, bila ia merasa bahwa pekerjaannya yang lama telah membuatnya tidak berkembang. Ketiga, setiap orang bekerja 20-25 jam dalam seminggu. Artinya, setiap orang bekerja empat sampai lima jam sehari, bahkan kurang. Keempat, semua bakat dan kemampuan yang ada di dalam setiap orang akan dikembangkan semaksimal mungkin, baik di dalam kegiatan kerja mereka, maupun di dalam aktivitas mereka di waktu santai. Kelima, setiap orang tidak usah berpikir tentang berapa penghasilan yang mereka peroleh dari kerja-kerja mereka, karena pemerintah telah menjamin bahwa semua kebutuhan setiap orang akan dipenuhi. Keenam, setiap pekerja akan memperoleh penghormatan tertinggi di masyarakat. Apa yang dikerjakan oleh seseorang akan menjadi cermin dari kualitas orang itu sebenarnya.[15]
Di dalam kondisi semacam itu, kerja akan menjadi suatu tindakan yang bebas dan volunter. Dan seperti yang pernah ditulis oleh Engels, kerja menjadi “kenikmatan tertinggi yang diketahui oleh manusia.”[16] Kerja memberikan kebahagiaan kepada setiap orang yang melakukannya. Orang tidak memerlukan hiburan instan guna mencapai kebahagiaan, karena dengan pekerjaannya pun orang bisa merasa bahagia. “Seorang pekerja yang bebas”, demikian tulis Marx, “misalnya seorang penggubah lagu, adalah sekaligus kerja yang membahagiakan dan sekaligus kerja yang serius, yang membutuhkan ketegangan yang intensif.”[17] Jadi, setiap pekerjaan, entah itu seorang penulis, seorang komponis, atapun seorang guru, adalah sekaligus pekerjaan yang membahagiakan dan serius. Setiap pekerjaan adalah sekaligus mekanis dan sekaligus kreatif.
Di dalam masyarakat komunis, kebahagiaan dan kepuasan hidup pun akan lebih bisa didapatkan, karena orang tidak hanya sibuk dengan urusan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup semata, yang memang sudah tidak diperlukan, tetapi mereka juga bisa terlibat dalam kegiatan-kegiatan lainnya yang bermakna, seperti seni, ilmu pengetahuan, dan literatur. Harapannya adalah, kebudayaan di dalam masyarakat komunis akan berkembang begitu pesat, dan ini nantinya akan membuat kemakmuran masyarakat tersebut bertambah.
Dengan demikian, kita dapat menemukan pengandaian-pengandaian yang bersifat humanistik di dalam konsep masyarakat komunis, tepat karena komunisme bertujuan untuk membuat hidup setiap orang menjadi lebih bebas dan lebih bermakna, terutama dengan memberikan waktu luang untuk melakukan hal-hal yang mereka sungguh sukai, demi perkembangan relasi mereka dengan orang lain, ataupun perkembangan pribadi mereka sendiri.
Prinsip dasar pembagian kekayaan di dalam masyarakat komunis adalah, ‘kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhannya’. Dengan kata lain, setiap orang, siapapun dan apapun status sosialnya, akan menerima semua kebutuhannya secara gratis dari pemerintah. Dengan pemahaman ini, yang berubah bukan hanya pemahaman tentang kerja, tetapi seluruh relasi antar manusia, seperti hilangnya konsumsi berlebihan oleh satu pihak karena daya beli yang tinggi, dan relasi antar manusia yang dihitung tidak lagi dengan menggunakan logika ekonomi dan komoditi. Pertimbangan-pertimbangan yang bersifat egoistis akan hilang. Dorongan untuk mencari kekayaan material secara berlebihan juga akan lenyap.
Kebijakan yang hendak memberikan secara gratis semua kebutuhan hidup bagi setiap orang akan mengubah cara berpikir masyarakat. Orang tidak lagi dibebani oleh tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar. Di dalam paradigma semacam ini, orang akan bebas dari keinginan untuk mengejar pendapatan ataupun hak milik pribadi, sesuatu yang seolah menjadi ‘makna’ bagi orang-orang yang hidup di dalam masyarakat kapitalis. Dan pada akhirnya, setiap orang akan menyibukkan diri mereka dengan hal-hal yang sungguh bermakna dan memiliki budaya yang tinggi. Inilah yang sungguh dihargai di dalam masyarakat komunis.[18]
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, distribusi kekayaan di dalam masyarakat komunis akan dibagi seadil-adilnya. Di dalamnya termasuk juga kebutuhan ekonomi material maupun kebutuhan yang bersifat spiritual. Proses ini akan menguntungkan kedua belah pihak, baik masyarakat sebagai keseluruhan, maupun individu-individu partikular yang hidup di dalam masyarakat tersebut. “Distribusi”, demikian tulis Engels, “sejauh itu diatur dengan pertimbangan yang murni ekonomis, akan ditata dengan kepentingan yang mengacu pada produksi, dan produksi itu akan mendorong modus distribusi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan, mempertahankan, dan melatih kemampuan mereka dengan universalitas yang maksimal.”[19]
Pada titik ini, kita bisa mengajukan pertanyaan kritis. Jika setiap kebutuhan dipenuhi oleh pemerintah, lalu bukankah setiap orang akan menuntut dipenuhi keinginan-keinginannya, seperti keinginan akan rumah yang besar, ataupun kendaraan yang mewah? Lalu, bagaimana jika ada orang yang ingin menjadi kolektor perhiasan ataupun benda-benda seni yang memiliki nilai tinggi? Apakah mereka juga bisa menuntutnya dari pemerintah?
Pertanyaan itu memang tepat untuk diajukan, tetapi persis menggambarkan kesalahpahaman terhadap konsepsi masyarakat komunis. Sistem pengaturan masyarakat komunis memang berusaha memenuhi kebutuhan hidup setiap anggota masyarakatnya. Akan tetapi, kebutuhan yang dipenuhi adalah kebutuhan yang bersifat mendasar, dan bukan kebutuhan akan barang-barang mewah. Tujuan dari proses pengaturan ini adalah “untuk menjamin kepuasan dari kebutuhan-kebutuhan yang masuk akal..”[20] Memang, ada pengandaian yang cukup problematis disini. Siapakah yang punya otoritas untuk menentukan, kebutuhan mana yang masuk akal, dan kebutuhan mana yang tidak? Jawabannya, tidak ada! Setiap orang yang hidup di dalam masyarakat komunis sudah memiliki kesadaran penuh untuk tidak menuntut sesuatu yang tidak masuk akal dari pemerintahnya. “Komunisme”, demikian tulis Lenin, “mengandaikan produktivitas tenaga kerja..dan bukan… orang-orang yang memiliki kemampuan untuk merusak kekayaan publik untuk bersenang-senang dan dengan menuntut yang tidak mungkin.”[21]
Di dalam masyarakat komunis, pola konsumsi masyarakat juga akan berubah. Konsumsi akan berada di level yang lebih tinggi. Selera masyarakat akan berubah, dan akan menjadi semakin tidak individual. Pemerintah akan menciptakan alat transportasi publik yang nyaman, sambil secara perlahan menghilangkan alat transportasi pribadi. Rumah mewah personal akan digantikan dengan rumah peristirahatan publik. Klub-klub eksklusif akan dibongkar, dan digantikan oleh arena publik yang terbuka untuk setiap orang. Semua hal ini, menurut Lenin, akan membawa keuntungan bagi masyarakat sebagai keseluruhan. Dan yang terutama, masyarakat akan dijauhkan dari hasrat untuk memperoleh hak milik pribadi yang hanya boleh digunakan untuk dirinya sendiri.[22]
Sekolah di dalam masyarakat komunis akan mendidik setiap orang untuk tidak menjadikan konsumsi sebagai tolok ukur. Bukanlah kemewahan dan tingkat kemampuan konsumsi yang menjadi nilai dari seseorang, tetapi kemampuannya untuk mengapresiasi keindahan di dalam segala bentuknya, mulai dari seni sampai ilmu pengetahuan. Keindahan tersebut tidak hanya berguna bagi orang itu sendiri, tetapi juga bisa berguna untuk masyarakat sebagai keseluruhan. Pola pendidikan di dalam masyarakat komunis adalah pola pendidikan yang mengedepankankeindahan dan kesadaran orang untuk mengabdi pada kepentingan publik.
4. Kesimpulan
Argumen yang saya ajukan di dalam tulisan ini adalah, bahwa masyarakat komunis yang ideal tidak akan pernah terwujud, selama partai revolusioner belum terbentuk, ataupun tidak melakukan apa yang menjadi tugas mereka secara baik. Masyarakat komunis yang ideal juga tidak akan terbentuk, jika proletariat tidak meraih kekuasaan dan menerapkannya dengan gaya diktatoruntuk menekan pihak-pihak yang tidak ingin diciptakannya masyarakat komunis.
Partai revolusioner sendiri adalah suatu konsep yang dirumuskan Lenin untuk menanggapi minimnya kesadaran revolusioner di dalam kaum proletariat. Di dalam sejarahnya, kesadaran revolusioner memang tidak tumbuh secara otomatis. Oleh karena itu diperlukanlah partai revolusioner, yang secara aktif membangun kesadaran revolusioner tersebut di kalangan kaum proletariat, sehingga revolusi pada akhirnya bisa berlangsung. Pada akhirnya dapatlah dikatakan, bahwa partai revolusioner, menurut Lenin, mewakili kesadaran revolusioner kaum proletariat yang sesungguhnya.
Setelah revolusi berhasil dilaksanakan, kekuasaan yang diperlukan untuk menciptakan masyarakat komunis yang ideal belumlah stabil. Maka dari itu diperlukan suatu jaminan tersendiri. Jaminan itu hanya dapat diberikan, jika kaum proletar memegang kekuasaan secara diktatorial, dan menerapkannya untuk menghancurkan musuh-musuh yang menentang keberadaan masyarakat komunis. Di dalam pemikiran Lenin, yang memang nantinya diterapkan di Russia, kekuasaan kaum proletar tersebut diwakilkan pada partai komunis. Partai komunislah yang nantinya akan secara permanen menjaga kesadaran revolusioner seluruh negara, dan memastikan bahwa tidak ada lagi musuh-musuh yang menentang berdirinya masyarakat komunis.
Lenin sendiri berpendapat, dalam hal ini agak searah dengan Marx, bahwa masyarakat komunis adalah masyarakat yang paling ideal di dalam sejarah manusia. Di dalam masyarakat komunis, seluruh kebijakan politis diciptakan dengan berpegang pada satu prinsip, yakni dari setiap orang sesuai dengan kemampuannya, dan kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhannya. Artinya, setiap orang bekerja sesuai dengan minat dan kemampuannya. Kerja adalah sesuatu yang mengembangkan keseluruhan diri manusia, dan bukan lagi suatu keterpaksaan demi mempertahankan keberadaan. Kerja juga merupakan suatu bentuk pengabdian nyata pada kepentingan publik, dan tidak lalu berorientasi melulu pada kepentingan pribadi. Mekanisme kerja akan dibuat sedemikian membebaskan, sehingga orang dapat mengembangkan suatu budaya tinggi (high culture). Budaya tinggi inilah yang mencegah berbagai kecurangan dan pelanggaran hukum di dalam masyarakat komunis.
Semua pelanggaran hukum juga akan hilang, karena setiap orang tidak lagi perlu memikirkan bagaimana cara memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarga mereka. Pemerintahlah yang akan memenuhi semua kebutuhan hidup. Tentu saja, di dalam masyarakat komunis, setiap orang akan sadar, bahwa mereka tidak akan menuntut pemerintah untuk memenuhi kebutuhan yang mengada-ada, seperti rumah ataupun mobil mewah. Pola konsumsi dan selera masyarakat akan sepenuhnya berubah. Selera masyarakat tidak lagi hanya akan berfokus pada kepentingan pribadi ataupun kelompok partikular semata, melainkan berorientasi sepenuhnya pada kepentingan publik. Tidak hanya kerja, selera dan pola konsumsi pun kini ditujukan sebagai suatu bentuk pengabdian pada kepentingan publik sebagai keseluruhan.
Masyarakat komunis yang ideal semacam itu, menurut Lenin, hanya dapat terwujud, jika kesadaran revolusioner kaum proletar di dalam alam kapitalisme bisa ditumbuhkan. Proses menciptakan kesadaran revolusioner tersebut hanya dapat dijamin dengan keberadaan suatu partai revolusioner. Partai revolusioner inilah yang mewakili kesadaran revolusioner yang otentik. Masyarakat komunis yang ideal juga hanya dapat terwujud, jika pihak-pihak yang menentang keberadaannya bisa ditumpas. Memang, segala sesuatu ada harganya, dan, menurut Lenin, harga yang harus dibayar demi terciptanya masyarakat komunis adalah adanya semacam kekuasaan diktatorial dari partai komunis. Partai inilah yang memastikan, bahwa masyarakat komunis yang ideal nantinya bisa terwujud di dalam realitas.
5. Tanggapan Kritis
Tanggapan saya diajukan dari suatu pengandaian, bahwa kekuasaan pada hakekatnya memiliki kecenderungan untuk bersifat koruptif. Dan seperti yang apa yang menjadi isi dari hukum Marshall, “what can go wrong will go wrong“, demikian pulalah kekuasaan diktatorial yang diberikan kepada kaum proletariat, yang kemudian diwakilkan pada partai, akan berjalan tidak sesuai dengan tujuan awalnya. Siapa yang bisa menjamin, bahwa setelah memperoleh kekuasaan, partai revolusioner akan tetap konsisten menciptakan masyarakat komunis, seperti yang dicita-citakan oleh Lenin? Bukankah kemungkinan sebaliknya juga bisa terjadi, bahwa yang tercipta bukanlah masyarakat komunis, melainkan masyarakat yang ditata dengan suatu gaya totalitarianisme diktatorial tertentu, yang mengatasnamakan komunisme?
Sejarah sendiri sudah membuktikan, bahwa yang terakhirlah yang terjadi. Alih-alih menjadi suatu masyarakat komunis yang diimpikan oleh Lenin dan Marx, Russia justru menjadi suatu negara totaliter yang menjadikan komunisme sebagai legitimasi bagi penindasannya. Hal ini tepat terjadi, karena tidak adanya kontrol kritis langsung dari masyarakat terhadap pemerintahnya. Dan juga, karena setiap orang yang bersikap kritis terhadap pemerintah akan dianggap sebagai musuh komunisme, dan haruslah ditumpas, juga atas nama komunisme.
Dengan kata lain dapatlah dikatakan, bahwa masyarakat komunis yang sesunguhnya belumlah pernah tercipta di dalam sejarah manusia. Apa yang menjadi cita-cita Lenin dan Marx masihlah berada di tataran mimpi dan cita-cita semata. Suatu masyarakat yang menghargai manusia bukan karena uangnya, tetapi karena kemanusiaannya. Suatu masyarakat yang membuat orang bekerja bukan karena terpaksa, tetapi karena orang itu merasa perlu untuk mengembangkan dirinya sendiri. Pertanyaan penutup kiranya dapatlah diajukan; apakah kita dapat belajar sesuatu dari konsep masyarakat komunis ideal yang dirumuskan Lenin dan Marx? Jika ya, apakah kita punyacita-cita dan keberanian yang mencukupi untuk mewujudkan idealitas tersebut ke dalam realitas?***
Daftar Pustaka
K. Marx and F. Engels, Selected Works, F.L.P.H (Foreign Language Publishing House), 1962, Vol. II.
——————–, On Britain, F.L.P.H, 1962.
Lenin, V.L, Selected Works, F.L.P.H, 1952, Vol. II.
————-, The State and The Revolution, F.L.P.H, 1961.
Lukacs, Georg, History and Class Consciousness, America, Merlin Press, 1971.
Magnis-Suseno, Franz, Dalam Bayangan Lenin, Jakarta, Gramedia, 2003
O. V. Kuusinen, Y. A. Arbatov, A. S. Belyakov, S. L. Vygodsku, A. G. Mileikovsky, dan
L. M. Sheidin, Fundamentals of Maxism-Leninism, Moscow, Progress Publishers, 1964
Dari Internet:
http://www.thefreedictionary.com/Marxism-Leninism
http://www.thefreedictionary.com/communism
________________________________________
[1] Pengajar di Fakultas Psikologi dan Fakultas Teknik Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta. Menulis dua buku dan beberapa artikel di surat kabar, jurnal filsafat, dan jurnal ilmu-ilmu sosial. Beberapa karyanya antara lain: Melampaui Negara Hukum Klasik (Kanisius, 2007) danFilsafat Sains (Grasindo, 2008).
[2] http://www.thefreedictionary.com/Marxism-Leninism
[3] http://www.thefreedictionary.com/communism
[4] Lihat, Franz Magnis-Suseno, Dalam Bayangan Lenin, Jakarta, Gramedia, 2003, hal. 2. Bab ini banyak terinspirasi dari paparan Magnis-Suseno di dalam buku ini.
[5] Paparan lebih lengkap bisa dilihat pada ibid, hal. 2-9.
[6] Lihat, ibid, hal. 44.
[7] Lihat, ibid, hal. 45.
[8] Lukacs memiliki argumen yang kurang lebih serupa. Lihat Georg Lukacs, History and Class Consciousness, America, Merlin Press, 1971. Ada beberapa catatan, bahwa Marx akan mengubah pandangannya di kemudian hari.
[9] Lihat, ibid, hal. 50.
[10] Ibid, hal. 51.
[11] Karl Marx and F. Engels, Selected Works, F.L.P.H, 1962, Vol. II, hal. 25, dalam O. V. Kuusinen, Y. A. Arbatov, A. S. Belyakov, S. L. Vygodsku, A. G. Mileikovsky, dan L. M. Sheidin, Fundamentals of Maxism-Leninism, Moscow, Progress Publishers, 1964, hal. 698, selanjutnya akan disingkan Kuusinen, 1964. Bab ini banyak diinspirasikan dari tulisan Kuusinen ini.
[12] Program of the Communist Pary of the Soviet Union, F.L.P.H., 1962, hal. 509, dalam Kuusinen, 1964, hal. 699.
[13] Lihat, N. S. Khruschov, Educate Active and Politically Conscious Buliders of Communist Society, Moscow, 1958, hal. 11-13, dalam Kuusinen, 1964, hal. 702.
[14] Lihat V.L. Lenin, Selected Works, F.L.P.H, 1952, Vol. II, Part 2, hal. 339.
[15] Lihat, Kuusinen, 1964, hal. 703-704.
[16] K. Marx, F. Engels, On Britain, F.L.P.H, 1962, hal. 152.
[17] Seperti dikutip oleh Kuusinen, 1964, hal. 704.
[18] Lihat, ibid, hal. 705.
[19] F. Engels, Anti-Duehring, F.L.P.H, 1962, hal. 276, dalam Kuusinen, 1964, hal. 705.
[20] K. Marx dan F. Engels, Selected Works, F.L.P.H, 1958, Vol. II, hal. 165.
[21] Lenin, The State and The Revolution, F.L.P.H, 1961, hal. 166.
[22] Lihat, Kuusinen, 1964, hal. 707.
About these ads
Share this:
Beranda
» karl marx
» lenin
» moa zedong
» pemikiran
» Politik
» teori
» Karl Marx : Pemikiran Lenin, Stalin, dan Mao Tse Tung
Popular Posts
-
BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkembangan dunia diikuti juga oleh perkembangan pemikiran disemua bidang keh...
-
HAM DAN ISLAM SAYED AZNAN Dengan rahmat allah yang mahakuasa semoga kita dalam lindungan allah yang maha besar, dan semoga rahmat d...
-
NAMA : SAYED AZNAN NIM : 1210103010015 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Munculnya isu-isu politis mengenai fundamen...
-
NAMA : SAYED AZNAN M.K. : POLITIK ASIA TENGARA Politik Luar Negeri Malaysia terhadap Indonesia, 1957-1976: Dari Konfrontasi...
-
Tepat pada tahun ini bangsa kita Indonesia genap memasuki umurnya yang ke-63, seiring dengan semakin menuanya bangsa kita ini di impit deng...
-
Teori Neoliberalism Disusun oleh : Sayed aznan Neoliberalisme, liberalisme sendiri adalah sebuah teori dan ...
-
Birokrasi merupakan alat pemerintah untuk menyediakan pelayananan publik dan perencana, pelaksana, dan pengawas k...
-
Ada empat poin pemikiran karl marx 1. Marx bahwa ekonomi adalah faktor yang paling penting di dalam masyarakat apa pun. Bagi Marx, semua ...
-
oleh : SAYEDAZNAN Afghanistan termasuk di antara negara yang menghadapi serangan luas budaya dikarenakan berbagai krisis politik, sosial,...
-
Teori Pemisahan kekuasaan dan Penerapannya dalam Sistem Pemerintahan Modern A. Wacana pembahasan Dalam sebuah praktek ketatanegar...
0 Komentar untuk "Karl Marx : Pemikiran Lenin, Stalin, dan Mao Tse Tung"